oleh

Hukuman Berat bagi Pelaku Zina

ALLAH subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’, 17: 32).

Bukti lain dari keji zina adalah sejumlah hukuman berat yang diberlakukan di dunia dan di akhirat terhadap pelaku zina, baik hukuman fisik maupun moral juga neraka, yang tidak hanya menimpa diri pelakunya saja, tetapi juga masyarakat di sekitarnya.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Dua perkara yang (adzabnya) disegerakan oleh Allah di dunia yaitu, zina dan menyakiti kedua orang tua.” (HR. Thabrani melalui Ibnu Abu Bakrah). Dalam hadits serupa disebutkan, “Ada dua perbuatan (dosa) yang hukumannya disegerakan di dunia, yaitu, zina dan menyakiti kedua orang tua.” (HR. Hakim).

Dapat disimpulkan dari dua hadits ini bahwa ada dua jenis dosa yang azabnya disegerakan oleh Allah Swt di dunia, disamping azab yang pedih kelak di akhirat. Kedua perbuatan dosa tersebut ialah zina dan menyakiti kedua orang tua. Hadits menjelaskan bahwa kedua perbuatan dosa tersebut, yaitu zina dan menyakiti kedua orang tua merupakan dosa besar yang harus benar-benar dijauhi. Barangsiapa yang mengerjakan perbuatan zina dan menyakiti kedua orang tua, niscaya ia akan menerima sebagian dari hukumannya di dunia ini.

Hukuman zina tidak hanya menimpa pelakunya saja, tetapi juga berimbas ke masyarakat sekitarnya, karena murka Allah swt., akan turun kepada kaum yang membiarkan perzinaan hingga mereka semua binasa. Rasulullah saw bersabda, “Apabila perzinaan dan riba telah merebak di suatu negeri, maka sungguh mereka (penghuninya) telah membiarkan diri mereka ditimpa adzab Allah.” (HR. al-Hakim dari Ibnu Abbas r.a.).

Dalam hadits lain disebutkan, bahwa Rasulullah saw telah bersabda, “Umatku senantiasa ada dalam kebaikan selama tidak terdapat anak zina di antara mereka, namun jika terdapat anak zina, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan menimpakan adzab kepada mereka.” (HR. Ahmad bin Hanbal melalui Maimunah r.a.). Dalam hadits yang lain disebutkan, “Ketika di suatu kaum tumbuh pengkhianatan maka akan ditimpakan ketakutan ke dalam hati mereka, dan ketika di suatu kaum merebak perzinaan maka akan banyak kematian.”

Ibnu Qayyim mengatakan bahwa zina adalah salah satu penyebab kematian massal dan penyakit tha’un. Tatkala perzinaan dan kemungkaran merebak di kalangan pengikut Nabi Musa a.s. Allah swt menurunkan wabah tha’un sehingga setiap hari 71.000 orang mati.”

Hukuman yang menimpa individu akibat perzinaan yaitu ada Hukuman yang bersifat fisik dan yang bersifat moral juga adzab Allah.

Laki-laki maupun perempuan yang telah menikah akan kehilangan hak hidup karena berzina, sebagaimana Rasulullah saw bersabda, “Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah dan aku adalah utusan Allah kecuali karena salah satu dari tiga perkara berikut: orang yang sudah menikah berzina, membunuh orang lain, meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari jama’ah.” (HR. Muslim melalui Abdullah bin Mas’ud r.a.).

Keduanya dirajam dengan batu hingga merasakan sakit di sekujur tubuhnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits Aisyah r.a. Rasulullah bersabda, “Anak adalah didasarkan pada tempat tidur (dinasabkan kepada bapaknya yang sah) dan pezina dirajam dengan batu.” Namun jika keduanya belum menikah, maka cukup dicambuk 100 kali. Firman Allah Swt, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali deraan, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama hukum Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhirat.” (QS. An-Nur, 24: 2).

Ada seorang ulama salaf mengatakan, bahwa, “Perbuatan zina dapat menyebabkan seorang pezina muhshan dihukum rajam. Pezina muhshan ialah seseorang yang sudah nikah secara syah lalu melakukan zina. Meskipun dia sudah cerai, bila melakukan zina, tetaplah dihukum rajam. Orang yang dihukum rajam setengah tubuhnya ditanam dipersimpangan jalan. Setiap orang yang melewati jalan itu wajib melemparinya sampai mati. Tapi, bila orang yang melewati jalan tersebut tidak mau melemparinya karena kasihan, maka orang itu malah berdosa.”

Syaikh Abu Bakar Al-Jazairy berkata bahwa, “Pelaku zina dibuatkan lubang di tanah dengan kedalaman sedada. Setelah itu ia dimasukkan ke dalam lubang tersebut dan dirajam dengan batu hingga meninggal dunia dengan disaksikan oleh imam atau wakilnya dan sekelompok dari kaum muslimin yang berjumlah minimal empat orang. Wanita pezina juga diperlakukan sama, hanya saja pakaiannya diikat agar auratnya tidak tersingkap. Ketentuan tersebut untuk had rajam. Adapun had cambuk bagi pelaku zina ghairu muhshan, maka seperti had qadzaf (menuduh orang lain berzina) dan had meminum khamar.”

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda, “(Pada Hari Pengadilan) seorang penguasa yang telah mengurangi satu cambukan dari hukuman yang telah ditetapkan Tuhan akan dijemput (menuju ke tempat berkumpul). Mereka akan ditanya, mengapa mereka melakukan hal itu. Dan mereka akan menjawab, ‘Karena kasihan pada hamba-hamba-Mu!’ Allah Swt akan mengatakan, “Apakah kau lebih berbelas kasihan kepada mereka daripada Aku?’, Maka, dikeluarkanlah perintah agar dia dilemparkan ke dalam neraka. Seorang penguasa lain yang telah menambahkan satu cambukan kepada hukuman yang telah ditetapkan Tuhan, juga akan dibawa (ke tempat berkumpul). Dia akan ditanya mengapa melakukan itu. Dan dia akan menjawab, ‘Karena aku ingin mencegah mereka dari membangkang terhadap-Mu.’ Allah Swt akan mengatakan, ‘Apakah kamu lebih bijaksana dan lebih tahu daripada Aku?’ Maka, keluarkanlah perintah untuk melemparkannya ke dalam neraka.”

Demikianlah, syariat Islam menjatuhkan hukuman berat bagi pelaku zina, baik yang telah menikah maupun yang masih lajang. Ini mengindikasikan betapa kejinya zina itu. Ibnu Qayyim menjelaskan hikmah hukuman rajam bagi muhshan (yang telah menikah), bahwa tatkala zina menjadi induk kejahatan dan kemaksiatan—karena mengakibatkan ketidakjelasan garis keturunan, menghambat terwujudnya hubungan saling membantu dalam menghidupkan ajaran agama, di samping akan menghancurkan kesucian pernikahan dan keturunan—maka harus dicegah dengan memberlakukan qishash, di samping untuk mencegah niat orang lain untuk melakukan yang seperti itu. Adapun hukuman dera bagi gadis (juga perjaka) yang dilakukan dengan sekeras mungkin diseluruh tubuhnya, diharapkan akan membuatnya jera, dan membangkitkan rasa qana’ah (menerima) terhadap rezqi Allah Swt yang halal.”

Hukuman moral di sini berupa diumumkannya aib, diasingkan (taghrib), tidak boleh dinikahi dan ditolak persaksiannya. Pada dasarnya hukuman moral lebih berat daripada hukuman fisik. Allah Swt telah memerintahkan agar pelaksanaan hukuman fisik dilakukan secara terbuka, sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan, hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekelompok orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nur, 24: 2).

Qadhi Abu Su’ud menafsirkan ayat ini, “Tujuannya untuk menambah beban siksaan, karena dengan diumumkannya suatu aib akan terasa lebih berat dibanding dengan siksaan fisik, dan yang dimaksud dengan ‘kelompok’ adalah orang-orang di sekitarnya yang mengetahui aibnya.”

Sementara Allamah Kamal Faqih Imani mengatakan bahwa, “Perintah agar sekelompok orang beriman hadir ditempat hukuman tersebut dilaksanakan. Tujuannya bukan hanya untuk memberi pelajaran kepada orang-orang yang melakukan dosa, tapi juga untuk memberikan peringatan kepada orang-orang lain. Dengan perkataan lain, mengingat tekstur kehidupan sosial manusia, kekotoran akhlak seseorang tidak hanya berakhlak pada dirinya sendiri, melainkan mempengaruhi seluruh masyarakat. Dan untuk membersihkannya, hukumannya harus dilakukan di depan umum, karena perbuatan dosa telah muncul di tengah-tengah mereka.”

Hukuman bagi ghair muhshan (yang belum menikah) yang berzina adalah diasingkan atau dijauhkan dari tempat tinggalnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Belajarlah dariku, belajarlah dariku. Allah telah memberi jalan keluar bagi mereka. Perjaka yang berzina dengan gadis didera seratus kali dan diasingkan. Laki-laki yang sudah menikah berzina dengan perempuan yang sudah menikah, didera seratus kali dan dirajam.” (HR. Muslim melalui Ubadah bin Shamit r.a.).

Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin.” (QS. An-Nur, 24: 3).

Dengan demikian hubungan antara mereka dan masyarakat muslim terputus. Syaikh as-Sa’di berkomentar tentang ayat ini, “Ayat ini menegaskan betapa kejinya zina itu, bahwa zina menodai kehormatan pelakunya, kehormatan orang yang berhubungan dengannya dan orang yang bersenda gurau bersamanya, walaupun ia tidak melakukan perbuatan dosa yang lain.

Sayyid Qutb menambahkan, “Zina merupakan perbuatan yang dapat memisahkan pelakunya dari komunitas Muslim dan memutuskan ikatan antara keduanya. Yang demikian adalah hukuman sosial yang amat menyakitkan seperti hukuman rajam, atau bahkan lebih sakit lagi.”

Oleh karena itu, Ahmad bin Hanbal mengharamkan seorang laki-laki penzina menikahi wanita yang ‘iffah, dan laki-laki yang ‘iffah menikahi wanita pezina kecuali jika sudah bertaubat. Asy-Sya’bi mengatakan bahwa siapa saja yang menikahkan wanita mulia dengan laki-laki fasik, maka ia telah memutuskan tali silaturahmi dengannya (wanita yang dinikahkan itu).”

Syaikh Nashiruddin al-Maliki menafsirkan ayat tersebut dalam Al-Kasysyaf, 3:49 (catatan kaki), bahwa tujuan dari ayat ini (QS. An-Nur, 24: 3) adalah untuk memberi warning kepada orang-orang mukmin agar tidak menikahi orang yang berzina, dengan maksud supaya terhindar dari perbuatan keji tersebut. Itulah sebabnya, zina disetarakan dengan syirik. Al-Maliki juga menghukumi makruh untuk menikahkan anak gadisnya kepada orang yang dikenal karena kebejatannya. Para pengikut Syaikh ini juga sepakat (Ijma’) bahwa bagi mempelai perempuan maupun walinya dibolehkan membatalkan pernikahannya dengan orang fasik.”

Islam telah menetapkan bahwa pelaku zina kehilangan hak persaksiannya sebagai akibat dari perbuatannya, sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Tidak sah persaksian laki-laki dan perempuan yang berkhianat, yang berzina, dan yang dengki kepada saudaranya.” (HR. Abu Dawud melalui Amru bin Syuaib). Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa persaksian anak haram tidak sah, berdasarkan penuturan al-Khaththabi, “Malik tidak menerima persaksian anak haram dalam kasus perzinaan karena posisinya sebagai tertuduh, tapi untuk kasus selain itu sah.”

Kalaupun pelaku zina terhindar dari hukuman di dunia dan tidak juga bertaubat maka baginya adzab yang pedih di akhirat nanti. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Pada suatu malam aku bermimpi melihat dua orang laki-laki menghampiriku … seraya berkata, ‘Pergilah’. Lalu kami pergi ke sebuah lubang seperti tungku yang atasnya sempit dan bagian bawahnya luas, dan api menyala-nyala dari bawah tungku itu. Setelah mendekat, tiba-tiba isi tungku terangkat hingga hampir keluar. Ketika api dingin mereka kembali masuk ke dalam tungku, yang ternyata di dalamnya sekelompok laki-laki dan perempuan yang telanjang. Lalu aku bertanya, ‘Siapa mereka ini?’Dua orang itu menjelaskan, ‘… dan yang engkau lihat dari lubang itu adalah para pezina …”. (HR. Bukhari melalui Samurah bin Jundub r.a.).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Janganlah kalian berbuat zina, karena sesungguhnya perbuatan zina itu mengandung empat perkara, yaitu: dapat melenyapkan wibawa dari penampilan, dapat memutuskan rezeki, dapat membuat murka Tuhan Yang Maha Pemurah, dan mengharuskan tinggal abadi di neraka (bila orang yang melakukannya menganggap halal perbuatan zina).” (HR. Thabrani melalui Ibnu Abbas r.a.). Dalam suatu riwayat, hadits senada, Rasulullah saw bersabda, “Perzinaan menimbulkan kerusakan di dunia dan di akhirat. Kerusakan di dunia berupa rusaknya kecemerlangan dan kebagusan laki-laki, yang terakhir dengan kematian serta terputusnya sebagian rezeki. Sedangkan di akhirat tidak adanya pertolongan pada saat Perhitungan (hisab) dan timbulnya murka Allah Swt dan neraka yang kekal.”

Pengertian kalimat, “Dan memastikan pelakunya masuk neraka untuk selama-lamanya” dengan suatu ketentuan, yaitu bila orang yang bersangkutan menghalalkan perbuatan zinanya itu. Akan tetapi, jika ia tidak menghalalkannya, maka ia tidak menghuni neraka untuk selama-lamanya, melainkan ada batasannya sesuai dengan kadar dosa-dosanya.

Rasulullah saw bersabda, “Orang yang berzina dengan istri tetangganya kelak di hari kiamat ia tidak akan dilihat oleh Allah (dijauhkan dari rahmat-Nya), dan tidak disucikan (dari dosa-dosanya), kemudian Allah berfirman kepadanya, “Masuklah engkau ke dalam neraka bersama dengan orang-orang yang memasukinya.” (HR. ad-Dailami).

Zina memang termasuk salah satu dosa besar yang membinasakan. Akan tetapi, lebih besar lagi jika berzina dengan istri tetangga karena seorang tetangga seharusnya dihormati dan dijaga kehormatannya. Jika ia berzina dengan istri tetangganya, maka sama saja dengan suatu peribahasa yang mengatakan “pagar makan tanaman”. Dan kelak di hari kiamat pelakunya tidak mendapat rahmat dan maaf dari Allah, bahkan dikatakan kepadanya oleh malaikat penjaga neraka, “Masuklah kamu ke dalam neraka bersama dengan orang-orang yang masuk ke dalamnya”.

Hukuman di akhirat, yaitu adzab di dalam neraka, terjadi bila yang bersangkutan tidak tobat. Bila yang bersangkutan tobat dan bersedia menjalankan hukuman di dunia, maka ia terlepas dari hukuman akhirat. Maka adzab pedih yang diancamkan pada hari Kiamat kelak tak lain adalah bukti dari betapa kejinya zina itu. Wallahu a’lam bish-shawwab.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *