AGAMA mewajibkan kita untuk menjaga kehormatan (kemaluan) dengan menjauhi perbuatan zina. Sebab, perbuatan itu dapat menghancurkan kehormatan seseorang. Bahkan dapat pula menghilangkan harta dan jiwanya. Perbuatan zina dapat menyebabkan seorang penzina muhshan dihukum rajam. Pezina muhshan ialah seseorang yang sudah nikah secara syah lalu melakukan zina. Meskipun dia sudah cerai, bila melakukan zina, tetaplah dihukum rajam. Orang yang dihukum rajam setengah tubuhnya ditanam dipersimpangan jalan.
Setiap orang yang melewati jalan itu wajib melemparinya sampai mati. Tapi, bila orang yang melewati jalan tersebut tidak mau melemparinya karena kasihan, maka orang itu malah berdosa. Hukum semacam itu, bagi orang yang melakukan zina sudah pas. Sebab perbuatan zina dapat digolongkan perbuatan yang merugikan banyak orang. Perbuatan zina yang dilakukan oleh seseorang, dapat menyebabkan anaknya tidak berhak memperoleh harta warisan. Sebagaimana ketentuan dalam ilmu faraidh. Sebagian ulama mengatakan, “Pelaku kemaksiatan adalah pengantar kekafiran.”
Mengapa demikian? Sebab, orang yang berfoya-foya di taman kemaksiatan yang subur, dikhawatirkan punya anggapan bahwa perbuatan maksiat itu halal. Karena hal itu dapat menyebabkan hilang imannya, sedangkan dirinya tidak merasa. Rasulullah Saw bersabda, “Bila seorang hamba melakukan zina, maka keluarlah iman dari dalam dirinya dengan berbentuk bayangan di atas kepalanya. Setelah orang itu lepas dari perbuatannya, maka kembalilah imannya.” (HR. Dawud dan Hakim melalui Abu Hurairah r.a.).
Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. An-Nur, 24: 30-31).
Islam menetapkan bahwa zina, menurut akal, adalah perbuatan kotor. Allah Swt berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’, 17: 32).
Dalam ayat ini, Allah Swt., menyifati zina dengan kata ‘keji’ tanpa ada batasan sebelum atau sesudah diturunkannya larangan. Abu Bakar al-Jashash dalam Fadhel Ilahi mengomentari, “Pada ayat ini terdapat dalil, bahwa zina adalah kotor menurut akal sebelum turunnya larangan tersebut, karena Allah Swt., menyifatinya dengan ‘keji’ tanpa membatasi setelah atau sebelum larangan ini turun.
Dan, Ibnu Qayyim menjelaskan, “Firman Allah swt yang berbunyi ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi’. (QS. Al-A’raf, 7: 33), menjadi dalil bahwa inti perbuatan zina adalah keji dan tidak bisa diterima oleh akal. Dan, hukuman zina dikaitkan dengan sifat kekejiannya itu.” Kemudian ia menambahkan, “Oleh karena itu, Allah Swt berfirman, ‘Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk’.”
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di juga berkomentar, “Allah Swt telah mengategorikan zina sebagai perbuatan keji dan kotor. Artinya, zina dianggap keji menurut syara’, akal dan fitrah karena merupakan pelanggaran terhadap hak Allah, hak isteri, hak keluarganya atau suaminya, merusak kesucian pernikahan, mengacaukan garis keturunan, dan melanggar tatanan lainnya.
Islam melarang sejumlah kemungkaran secara bertahap, larangan khamar, misalnya, sebanyak tiga tahapan. Tapi larangan terhadap zina turun sekaligus. Ini menunjukan betapa kejinya zina itu dalam padangan Islam. Sedangkan alasan mengapa ketentuan hukuman khamar diturunkan secara bertahap, itu lebih berkaitan dengan jenis hukuman itu sendiri, bukan larangan terhadap zina. Dengan jenis hukuman yang cukup berat mengindikasikan bahwa zina haram sampai kapan pun.
Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Dan para perempuan yang melakukan perbuatan keji di antara perempuan-perempuan kamu, hendaklah terhadap mereka ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Apabila mereka telah memberi kesaksian, maka kurunglah mereka (perempuan itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan (yang lain) kepadanya. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya. Jika keduanya tobat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sungguh, Allah Maha Penerima taubat. Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa, 4: 15-16).
Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni menafsirkan ayat yang ke-15 dari surat di atas, “Para ulama salaf sepakat bahwa ayat ini mengandung ketentuan hukuman zina pada awal masa Islam.” Kemudian menambahkan, “Pendapat Ibnu Katsir berkata, “Dahulu, pada masa permulaan Islam, hukuman bagi perempuan yang berzina setelah terbukti melalui sebuah persaksian yang adil adalah kurungan di dalam rumah. Dia tidak diperbolehkan keluar darinya hingga ajal menjemput. Lalu Allah menurunkan surat An-Nur, Allah menasakh aturan itu (dikurung di rumah hingga ajal menjemput) dengan diganti hukuman cambuk rajam.”
Pendapat Ibnu Abbas r.a. dalam Fadhel Ilahi tentang firman Allah swt., ‘Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya’, ‘Jika seorang wanita berbuat zina, maka ia harus ditahan di rumah hingga mati. Tapi jika laki-laki, maka harus dicemooh dan dilempari dengan sendal.” Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, dengan cara mengecam, mencela, dan memukul dengan sandal.”
Selanjutnya Fadhel Ilahi mengatakan bahwa Ibnu Jarir ath-Thabari menukil perkataan Atha’, “Kalimat ‘fa aadzuuhuma’ mengacu kepada pihak yang laki-laki dan perempuan.’ Menurut ath-Thabari, pada awalnya, hukuman kurungan diberlakukan untuk para janda yang berzina, dan hukuman fisik untuk laki-laki dan perempuan bujang yang berzina. Itu artinya, zina, sejak pertama kali dilarang, langsung haram, dan pelakunya dihukum dengan jenis hukuman tertentu. Ini berbeda dengan kemungkaran lainnya yang diharamkan secara bertahap.
Dalam Islam zina termasuk dosa besar. Hal ini dapat dilihat dari urutan penyebutannya setelah dosa musyrik dan membunuh tanpa alasan yang haq, dalam firman Allah swt., “Dan, orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina.” (QS. Al-Furqan, 25: 68). Imam Qurthubi menanggapi, “Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada dosa yang lebih besar setelah kufur selain membunuh tanpa alasan yang dibenarkan dan zina.”
Namun pada ayat yang lain, Allah swt mendahulukan penyebutan larangan zina daripada membunuh. Firman-Nya, “Dan, janganlah kamu mendekati perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.” (QS. Al-Isra’, 17: 32-33).
Ar-Razi dalam tafsirnya yang dikutip dalam Fadhel Ilahi mengatakan, “Dosa yang paling besar setelah kufur kepada Allah adalah membunuh, tapi mengapa Allah menyebutkan larangan berzina terlebih dahulu daripada larangan membunuh? Jawabnya adalah: Membuka pintu perzinaan sama dengan menghalangi manusia untuk memasuki alam kehidupan, sedangkan membunuh berarti meniadakan manusia setelah manusia itu berada di alam kehidupan. Sehingga, menghalangi untuk masuk ke alam kehidupan lebih didahulukan daripada meniadakannya setelah berada di alam kehidupan itu. Inilah alasan mengapa Allah Swt menyebutkan larangan berzina lebih dahulu, baru kemudian menyebutkan larangan membunuh.”
Prof. Dr. Fadhel Ilahi mengatakan bahwa, dalam berzina terdapat unsur membunuh. Berzina berarti membunuh proses awal kehidupan, karena ia “memancarkan unsur kehidupan” secara tidak benar, yang biasanya setelah itu disertai keinginan untuk menghapus perbuatan tersebut dengan membunuh janin. Jika janin dibiarkan hidup, maka ia akan hidup dalam kenistaan, dihinakan dan terlantar. Berzina juga merupakan bentuk lain dari membunuh masyarakat, yakni dengan menghilangkan garis keturunan, mencampurbaurkan hubungan darah, menghilangkan kehormatan dan harga diri anak, dan mengoyak bangunan dan norma masyarakat, yang ujungnya kepunahan sebuah garis keturunan.
Bentuk lain dari “membunuh masyarakat” ini adalah kemudahan yang diberikan untuk menyalurkan nafsu seksual, sehingga pernikahan pun tak lebih dari sekedar pelengkap saja dan bukan sebuah keharusan yang wajib dilaksanakan. Akibat berikutnya, rumah tangga hanya dianggap sebagai beban dan bukan kebutuhan, padahal keluarga adalah tempat mengasuh yang cocok bagi pertumbuhan dan pembentukan anak, untuk membina fitrah dan pendidikan yang sehat.
Zina berdampak negatif terhadap diri pelakunya. Ketika ia melakukannya, di hatinya tak ada iman dan doanya tidak terkabulkan, sebagaimana Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah akan berbuat zina, orang yang imannya sempurna; tidaklah akan mencuri, orang yang imannya sempurna, tidak akan minum minuman keras, orang yang imanya sempurna; dan tidak akan merampas barang terhormat yang menjadi pusat perhatian orang mukmin, orang yang imannya sempurna.” (HR. Bukhari dan Muslim melalui Abu Hurairah r.a.).
Pengertian yang dimaksud dalam hadits ini, bukanlah berarti pelaku perbuatan keji tersebut imannya dicabut hingga dasarnya. Tapi menurut mayoritas ulama, hanya imannya itu tidak sempurna. Sebab, setiap mukmin tidak akan menjadi kafir karena perbuatan maksiat yang dilakukannya, kecuali bila dia menghalalkannya. Hadits yang menunjukan, bahwa pelaku maksiat itu tidak kafir ialah:
“Dari Abu Dzarr r.a., dia berkata, “Saya pernah mendatangi Nabi, tapi ketika itu beliau tidur dan memakai kain putih. Kemudian saya mendatangi beliau lagi, dan beliau sudah bangun. Lalu beliau bersabda, “Seorang hamba Allah yang mengucapkan kalimat, “Laa ilaaha illallaah” tidak ada Tuhan kecuali Allah, kemudian dia mati dengan membawa kalimat itu, maka dia masuk surga.” Saya bertanya, “Walaupun dia melakukan zina dan mencuri?” Beliau menjawab, “Ya! Walaupun dia melakukan zina dan mencuri.” Saya tanyakan sampai tiga kali, dan beliaupun menjawabnya sampai tiga kali pula. Akhirnya beliau bersabda, “Suka atau tidak suka Abu Dzarr menerima ucapan ini!” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain disebutkan, “Dari Ubadah bin Shamit r.a., dari Nabi saw., beliau bersabda, “Berbaiatlah kamu kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, tidak mencuri, tidak berbuat zina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak berbohong tentang sesuatu yang dibuat-buat sebelum dan sesudah kamu, dan tidak berdurhaka dalam kebaikan. Barangsiapa telah memenuhinya di antara kamu, maka pahalanya di sisi Allah. Barangsiapa yang terlanjur melakukan perbuatan itu, maka dia akan mendapatkan hukuman di dunia. Hukuman tersebut sebagai penebus baginya. Barangsiapa terlanjur melakukan sebagian dari perbuatan itu, lalu dirahasiakannya, maka ketentuan hukumannya di tangan Allah. Kalau Dia suka memaafkannya, maka dimaafkanlah orang itu. Kalau Dia suka menghukumnya, maka dihukumlah orang itu.” (HR. Bukhari & Muslim).
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Ikrimah berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Abbas r.a., ‘Bagaimana iman itu bisa dicabut dari dirinya?’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Seperti ini—dia merapatkan jemarinya kemudian merenggangkannya–, jika dia taubat akan kembali seperti ini—dan ia merapatkan kembali jemarinya’. Hadits lain yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari Abu Hurairah r.a., “Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa berzina atau meminum khamar, maka Allah swt. akan mencabut keimanan dari dirinya, sebagaimana seseorang melepaskan baju dari kepalanya.”
Adapun hadits yang menyatakan doanya tidak dikabulkan adalah hadits Ustman bin Abu al-‘Ash r.a., Rasulullah saw bersabda, “Pintu-pintu langit akan dibuka pada pertengahan malam, lalu berserulah malaikat, ‘Siapa saja yang berdoa pasti akan dikabulkan. Siapa saja yang meminta pasti akan diberi. Siapa saja yang dalam kesulitan, akan diringankan.’ Tak henti-hentinya seorang muslim berdoa melainkan telah dikabulkan oleh Allah Swt. Kecuali wanita pezina yang berkeliaran menjajakan kemaluannya atau pencatut (uang orang).” Wallahu a’lam bish-shawwab.
Drs.H.Karsidi Diningrat, M.Ag
* Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung.
* Wakil Ketua Majelis Pendidikan PB Al Washliyah.
* Mantan Ketua PW Al Washliyah Jawa Barat.
Komentar