POSKOTA.CO – Dialektika diperkenalkan oleh GWF Hegel (1770-1831) sebagai sebuah teori filsafat yang menyatakan bahwa setiap proposisi memiliki keterkaitan atau hubungan dalam gerak negasi atau penyangkalan.
Secara konkret, sebuah proposisi memiliki sebuah tesis sekaligus antitesis yang saling melakukan penyangkalan satu sama lainnya untuk menghasilkan sebuah sintesis atau proposisi baru (Encyclopedia of the Philosophical Sciences, 1817).
Di mata Hegel, dialektika atau gerak penyangkalan ini menggambarkan kemajuan dari seluruh peradaban manusia dalam hal memahami realitas. Pendek kata, kemajuan dimulai dari sebuah gerak penyangkalan.
Sekilas dialektika mirip dengan dekonstruksi menurut pemikiran Derrida. Dalam hal ini Derrida melalui dekonstruksinya menyatakan bahwa setiap proposisi tidak dapat menjelaskan halnya secara utuh, sehingga niscaya setiap proposisi memiliki potensi untuk menghancurkan dirinya sendiri demi mendorong kemunculan proposisi yang-lain.
Namun kali ini kita akan menemukan perbedaan mendasar dari kedua pemikiran filosofis tersebut. Hegel menjelaskan gerak penyangkalan ini dengan menggunakan sebuah kata dalam bahasa Jerman “aufheben” yang mengandung tiga arti sekaligus, yaitu: “menyangkal,” “menyimpan” dan “mengangkat” (Frans Magnis-Suseno, 1999).
Maka jelas dengan sendirinya bahwa gerak penyangkalan ini tidak sekadar melakukan penyangkalan secara membabi buta untuk menghancurkan dan menghapuskan sebuah proposisi. Karena yang disangkal tidak lain hanyalah unsur yang dianggap salah, sedangkan unsur yang dianggap benar disimpan untuk diangkat menjadi sebuah proposisi atau kebenaran baru.
Ide mengenai gerak penyangkalan ini dapat ditemukan juga pada pemikiran Martin Heidegger (1889-1976) ketika ia menjelaskan sebuah penghancuran secara positif (Jerman: destruktion) terhadap ontologi filsafat Barat dengan cara mempertanyakan kebenarannya (Being and Time, 1972).
Meskipun Derrida merangkai dekonstruksinya dalam inspirasi “destruktion” menurut pemikiran Heidegger, tapi tetap saja terdapat sebuah perbedaan mendasar di antara dekonstruksi dan destruktion atau aufheben.
Derrida menyinggung “aufheben” menurut pemikiran Hegel dan “destruktion” menurut pemikiran Heidegger dalam karyanya berjudul The Ends of Man (Margins of Philosophy, 1972).
Di sana Derrida menggunakan kata dalam bahasa Prancis “relève” yang sepadan dengan aufheben dan destruktion. Sedangkan konteks yang sedang dibahas oleh Derrida ketika itu adalah: humanisme Barat.
Di sana Derrida menyatakan bahwa Hegel-Heidegger sama sekali tidak menghancurkan proposisi humanisme Barat, tapi justru keduanya telah melakukan gerak penyangkalan terhadapnya dengan ciri: menghancurkan unsur yang dianggap salah, menyimpan unsur yang dianggap benar untuk mengangkatnya menjadi sebuah proposisi baru atau kebenaran baru mengenai pemikiran tentang “siapakah manusia?”.
Pendek kata, di mata Derrida, Fenomenologi Roh dalam pemikiran Hegel dan Dasein dalam pemikiran Heidegger tidak lain adalah sebuah humanisme dalam arti sebuah proposisi baru dari humanisme Barat.
Perbedaan antara Derrida dan Hegel-Heidegger tampak dalam konteks pemikiran tentang “siapakah manusia?” ini.
Ketika berbicara tentang konteks yang sama, yaitu: humanisme Barat, Derrida hanya melakukan penyingkapan atau dekonstruksi terhadap proposisi-proposisinya tanpa menawarkan sebuah proposisi baru dalam arti sebuah kebenaran baru mengenai pemikiran tentang “siapakah manusia?”.
Pendek kata, Derrida hanya melakukan penyingkapan bahwa proposisi humanisme Barat tidak dapat menjelaskan “siapakah manusia?” secara utuh, sehingga masih terdapat jarak antara proposisi tentang “siapakah manusia?” dan manusia konkret.
Dengan begitu, proposisi humanisme Barat tidak lebih adalah sebuah teks atau literatur tentang “siapakah manusia?” yang tidak pernah final, karena selalu menghancurkan dirinya sendiri demi mendorong munculnya proposisi yang-lain.
Itulah mengapa kita tidak menemukan sebuah proposisi baru tentang “siapakah manusia?” yang ditawarkan oleh Derrida.
Maka jelas dengan sendirinya bahwa dekonstruksi tidak lebih dari sekadar sebuah penyingkapan bahwa setiap proposisi niscaya memiliki potensi untuk menghancurkan dirinya sendiri (oto-dekonstruksi) demi membangun sebuah proposisi yang-lain.
Namun, “yang-lain” di sini tidak akan pernah hadir secara utuh dalam bentuk ucapan atau tulisan, karena selalu mengalami dislokasi. Dalam hal ini dekonstruksi tetap mempertahankan jarak antara realitas pada dirinya sendiri dan realitas yang diucapkan atau dituliskan.
Perbedaan mendasar antara dialektika menurut pemikiran Hegel dan dekonstruksi menurut pemikiran Derrida dapat dinyatakan sebagai berikut: jikalau dialektika berusaha untuk melampaui jarak antara realitas pada dirinya sendiri dan realitas yang diucapkan atau dituliskan dalam bentuk proposisi melalui gerak penyangkalan, maka Derrida tetap mempertahankan jarak tersebut.
Dengan perkataan lain, Hegel telah menjadikan filsafat sebagai sebuah jalan untuk menemukan jawaban final dari seluruh permasalahan yang ada di dalam kehidupan ini.
Sedangkan Derrida berusaha untuk membebaskan filsafat dari beban tersebut dengan mengembalikan tugas filsafat untuk mempertanyakan segala sesuatu tanpa memberikan sebuah jawaban final.
Sehingga dalam kerangka dekonstruksi, filsafat adalah sebuah jalan untuk menemukan kenyataan bahwa kehidupan ini tetaplah sebuah misteri yang tidak terpecahkan melalui proposisi dalam bentuk apapun.
Dengan demikian, perbedaan mendasar antara dekonstruksi dan dialektika terdapat pada cara masing-masing dalam mempertahankan misteri hidup ini.
Dialektika berusaha untuk memecahkan misteri hidup ini melalui gerak penyangkalan, sedangkan dekonstruksi justru menyingkapkan kenyataan bahwa hidup ini adalah misteri yang tidak terpecahkan.
Karena bagi dekonstruksi, realitas pada dirinya sendiri selalu mengalami dislokasi ketika diucapkan atau dituliskan sebagai sebuah proposisi.
Komentar