SAHABAT ialah orang yang pernah bertemu dengan Nabi Saw. dalam keadaan beriman kepadanya dan meninggal di atas keimanan itu. Para sahabat Nabi Saw. adalah sahabat terbaik di antara sahabat-sahabat para Nabi, sebagaimana yang disabdakan Nabi Saw, “Sebaik-baik generasi ialah generasiku, kemudian orang-orang sesudahnya, dan orang-orang sesudahnya lagi. Lalu akan datang orang-orang yang kesaksiannya mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya.” (HR. Bukhari).
Prinsip utama yang menjadi ciri khas para sahabat ini, sepanjang masa, ialah sikap komitmen mereka terhadap Kitab Rabb, Sunnah Nabi, dan ijma ulama Salaf dari para sahabat, tabi’in, dan Imam-imam dari tiga generasi yang diberkati. Mereka terpelihara dari perpecahan, perselisihan, serta silang sengketa pemikiran dan hawa nafsu. Maka siapakah gerangan jika bukan sahabat Rasulullah Saw. yang lebih mengerti tentang Kitab Rabb dan lebih mengetahui tentang Sunnah Nabi mereka?
Tidak ada umat Nabi Muhammad Saw. yang diunggulkan (karena keutamaannya) atas umat-umat lainnya, kecuali sahabat yang mulia. Mereka beruntung karena menjadi sahabat manusia terbaik, yakni Rasulullah Saw. Pendapat yang bisa dipertanggungjawabkan datangnya dari Imam-imam Sunnah yang menyebutkan bahwa semua sahabat berperilaku adil.
Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka …” (QS. Al-Fath, 48:29).
Seorang muslim mengimani akan wajibnya mencintai para sahabat Rasulullah Saw, serta keutamaan mereka atas kaum muslimin dan mukminin yang lain. Juga mengimani bahwa para sahabat memiliki keutamaan dan ketinggian derajat yang berbeda-beda berdasarkan siapa yang lebih dahulu masuk Islam.
Orang terbaik di antara umat beliau adalah Abu Bakar ash-Shiddiq ra, kemudian Umar al-Faruq ra., kemudian Utsman Dzun Nurain ra, kemudian Ali al-Murtadha ra. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar ra, dia berkata, “Dulu kami mengatakan, saat Nabi Saw. masih hidup, yang paling utama dari umat ini setelah Nabinya adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman kemudian Ali. Ketika hal ini sampai kepada Nabi Saw, beliau tidak mengingkarinya.”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda, “Orang terbaik dari umat ini sesudah Nabinya adalah Abu Bakar, kemudian Umar. Seandainya aku mau, niscaya aku sebutkan nama orang yang ketiga.” (HR. Imam Ahmad melalui Ali ra.). Dalam hadits yang lain disebutkan, “Matahari tidak terbit dan tidak terbenam sesudah para Nabi dan Rasul pada orang yang lebih utama daripada Abu Bakar.” (HR. Imam Ahmad melalui Abu ad-Darda ra.).
Dialah orang yang paling berhak memangku kekhalifahan sesudah Nabi Saw. karena keutamaannya, karena kepeloporan dalam masuk Islam, karena Nabi Saw. mendahulukannya sebagai imam shalat (ketika beliau berhalangan) dibandingkan semua sahabat lainnya, dan juga karena para sahabat bersepakat mendahulukannya serta membaiatnya; dan Allah tidak akan menyatukan mereka dalam kesesatan.
Kemudian sesudah Abu Bakar ra., adalah Umar ra., karena keutamaannya dan Abu Bakar mengangkatnya sebagai penggantinya. Kemudian Utsman ra., karena peserta syura mendahulukannya. Kemudian Ali ra., karena keutamaannya dan orang-orang pada zamannya bersepakat memilihnya.
Mereka adalah Khulafa’ Rasyidin (khalifah-khalifah yang lurus) dan para pemimpin yang mendapat petunjuk, orang-orang yang disinyalir Nabi Saw. dalam sabdanya, “Berpeganglah kepada Sunnahku dan sunnah Khulafa’ Rasyidin sepeninggalku; gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham (peganglah erat-erat).” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadits yang lainnya Beliau bersabda, “Kekhalifahan sepeninggalku berlangsung tigapuluh tahun.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Ihwal keutamaan sahabat dibandingkan dengan umat Nabi Muhammad Saw lainnya, ada beberapa hadits shahih yang dijadikan alasan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Janganlah kamu mencaci maki sahabat-sahabatku. Demi Allah yang diriku ada di tangan-Nya, seandainya salah seorang di antara kamu menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, nilainya tidak mencapai satu mud yang diinfakkan mereka (para sahabat), bahkan setengahnya pun tidak.” (HR. Abi Sa’id al-Khudri ra). Dan dalam hadits yang lainnya dinyatakan, “Hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. Takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah mengenai sahabat-sahabatku. Janganlah kamu menjadikan mereka sebagai sasaran sepeninggalku nanti. Barangsiapa mencintai mereka, karena mencintai aku maka aku mencintai mereka. Barangsiapa membenci mereka, karena membenci aku maka aku membenci mereka. Barangsiapa menyakiti mereka, ia menyakitiku; barangsiapa menyakitiku, ia menyakiti Allah. Barangsiapa menyakiti Allah, ia akan mendapat hukuman Allah. Dan barangsiapa dihukum Allah, ia tak akan lolos.” (HR. Imam Turmudzi dari Ibnu Mughaffal Ra.).
Dalam hal ketaatan terhadap hukum Allah dan Sunnah Nabi, tidak ada umat yang menyamai para sahabat. Merekalah yang paling konsekuen dalam mengamalkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Kebenaran ini ditegaskan dalam suatu hadits, “Barangsiapa yang hendak menjadikan teladan, teladanilah para sahabat Rasulullah Saw. Sebab, mereka itu paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit takaluffnya (tidak suka mengada-ada), paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Mereka adalah kaum yang dipilih Allah untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan Din-Nya. Karena itu, hendaklah kalian mengenali keutamaan jasa-jasa mereka dan ikutlah jejak mereka, sebab mereka senantiasa berada di atas jalan (Allah) yang lurus.” (HR. Imam Ahmad dari Ibnu Mas’ud Ra).
Ibnu Qayyim, mengatakan, “Para sahabat adalah orang yang paling baik hatinya, dalam ilmunya, paling sedikit takallufnya. Di banding dengan yang lain, mereka paling dekat dengan kebenaran. Sebab, Allah telah memberi keutamaan bagi mereka hingga mereka memiliki kecerdasan luar biasa, kefasihan berbicara, keluasan ilmu, serta mudah dan cepat dalam memahami persoalan. Bagi mereka hanya sedikit musuh atau bahkan tak ada sama sekali. Mereka senantiasa punya maksud baik dan bertaqwa kepada Allah.”
Syaikh Muhammad bin Salun yang dikutip oleh Muhammad Abdul Hadi Al-Misri mengatakan bahwa, “Mereka telah menyaksikan dan menemani Nabi pilihan serta mengetahui berbagai rahasia turunnya al-Qur’an dari hadlirat Nabi Saw. Mereka mengetahui turunnya wahyu, sebab-sebab turunnya, ta’wil, dan tata caranya. Mereka menyaksikan cahaya-cahaya Al-Qur’an dan kenabian. Maka mereka inilah umat yang paling berbahagia karena telah bertindak benar dan paling tahu mengenai Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw.”
Rasulullah shallallahui alaihi wa sallam telah bersabda, “Abu Bakar masuk surga, Umar masuk surga, Utsman masuk surga, Ali masuk surga, Thalhah masuk surga, az-Zubair masuk surga, Abdur Rahman bin Auf masuk surga, Sa’ad bin Abi Waqqash masuk surga, Sa’id bin Zaid masuk surga, dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah masuk surga.”
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairy mengatakan, “Kemudian dilanjutkan para sahabat yang ikut serta dalam perang Badar. Kemudian para sahabat yang dijamin masuk surga selain sepuluh orang yang telah disebutkan, yaitu Fathimah Az-Zahra’ dan kedua anaknya Hasan dan Husain, Tsabit bin Qais, Bilal bin Rabbah, dan yang lainnya. Kemudian para sahabat yang turut serta dalam peristiwa Baiatur Ridwan. Jumlahnya mencapai seribu empat ratus sahabat.”
Seorang muslim mengimani tentang wajibnya memuliakan para sahabat, karena sebagai imam kaum muslimin, menghormati, mentaati mereka, dan menjaga adab saat menyebut nama-nama mereka. Oleh karena itu, diharuskan melazimi adab-adab yang khusus kepada para sahabat Nabi Muhammad Saw.
Sementara Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairy menggunakan istilah adab-adab, sedangkan Imam Ibnu Qudamah menggunakan istilah hak-hak kepada para sahabat Nabi Saw. dan keluarganya sbb:
_Pertama_ , Mencintai mereka, karena Allah dan Rasul-Nya juga mencintai. Allah Swt. telah memberitahukan bahwa Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya. Allah Swt. berfirman, “… Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.” (QS. Al-Maidah, 5: 54).
_Kedua_ , Mengimani keutamaan mereka atas kaum mukminin dan muslimin yang lain. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah, 9:100).
_Ketiga_ , Mengakui kelebihan dan keunggulan para sahabat. Seperti keunggulan Abu Bakar, Umar dan Utsman yang disebutkan di dalam sabda Rasulullah Saw. yang ditujukkan kepada gunung Uhud yang saat iru bergetar sedangkan mereka berada di atas gunung itu, “Tenanglah wahai gunung Uhud! Karena di atasmu ada seorang Nabi, seorang yang jujur (Abu Bakar), dan dua orang yang syahid (Umar dan Utsman).”
Rasulullah Saw. bersabda kepada Ali bin Abi Thalib Ra, “Apakah kamu ridha jika kedudukanmu dari diriku seperti kedudukan Harun as dari Musa as.” Sabdanya lagi, “Fathimah adalah tuannya para wanita penghuni surga.” Sabda beliau kepada Zubair bin Awwam, “Setiap Nabi memiliki hawari (pembela), dan pembelaku adalah Zubair bin Awwam.” Sabda beliau Saw. mengenai Hasan dan Husain, “Ya Allah, cintailah keduanya, karena aku benar-benar mencintai keduanya.”
_Keempat_ , Menjauhkan diri dari mengungkit kesalahan-kesalahan mereka dan mengambi sikap diam terhadap perselisihan yang terjadi di antara mereka. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Janganlah kalian mencela para sahabatku.” “Janganlah kalian jadikan mereka sebagai sasaran (cacian dan cercaan) sepeninggalku.”
_Kelima_ , Mengimani kehormatan para istri Rasulullah Saw, dan bahwa mereka adalah para wanita yang suci dan disucikan; ridha kepada mereka dan memiliki pandangan bahwa yang paling utama di antara mereka adalah Khadijah binti Khuwailid dan Aisyah binti Abu Bakar. Sebagaimana Allah berfirman, “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka … “. (QS. Al-Ahzab, 33: 6).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Qudamah dari Abu Barzah berkata, “Seorang lelaki berkata kasar kepada Abu Bakar Ash-Shidiq sehingga aku berkata, “Bolehkah aku membunuhnya?” Abu Bakar membentakku dan berkata, “Hal ini tidak diperkenankan sepeninggal Rasulullah Saw.” (HR. Nasa’i dari hadits Syu’bah dari Taubah Al-Anbari dari Abdullah).
Sedang pada riwayat Abu Bakar Abdulaziz bin Ja’far Al-Faqih bahwa Abu Barzah berkata, “Seorang lelaki mencela Abu Bakar sehingga aku berkata, “Wahai khalifah Rasulullah, bolehkah aku memenggal lehernya?” Abu Bakar pun menjawab, “Celakalah kamu! Hal itu tidak boleh dilakukan untuk seorang pun sepeninggal Rasulullah Saw.” Dalam hadits yang lain disebutkan, “Abu Barzah berkata, “Aku berada di samping Abu Bakar sedangkan ia memarahi seorang lelaki sehingga lelaki itu berkata kasar kepadanya. Aku pun berkata, “Wahai Khalifah Rasulullah, bolehkah aku memenggal lehernya?” Ucapanku membuat emosinya reda, ia pun berdiri dan masuk lalu memanggilku dan bertanya, “Apa yang kamu ucapkan Barusan?” Aku menjawab, ‘Izinkan aku memenggal lehernya’. Ia berkata, ‘Apakah kamu akan melakukannya jika aku perintahkan? Aku menjawab, ‘Ya’. Ia berkata, ‘Tidak, demi Allah, hal itu tidak boleh dilakukan atas seorang sepeninggal Rasulullah Saw.”
Rasululah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Siapa yang menghina Nabi dihukum mati dan siapa yang mencela para sahabatnya dihukum cambuk.” (HR. Abu Muhammad Al-Khalal dari Ali bin Abi Thalib). Dalam hadits yang lain disebutkan, “Siapa yang mencela nabi maka bunuhlah dan siapa yang mencela sahabat-sahabatku maka cambuklah.” (HR. Thabrani melalui Abu Dzar Al-Harawi).
Berdasarkan hadits-hadits di atas maka Imam Ibnu Qudamah mengatakan bahwa hukum Mencaci Maki Para Sahabat itu ada tiga macam: Pertama, Mencaci mereka dengan sesuatu yang berkonsekuensi mengkafirkan mayoritas mereka atau mereka secara umum telah fasik, maka ini adalah kekafiran, karena ini berarti mendustakan Allah dan Rasul-Nya yang telah memuji mereka dan meridhai mereka. Bahkan, siapa yang ragu-ragu tentang kekafiran semisal ini, maka kekafirannya sudah pasti; karena isi perkataan ini bahwa orang-orang yang meriwayatkan (menukil) Al-Qur’an dan as-Sunnah adalah orang-orang kafir atau orang-orang fasik.
_Kedua_ , Mencaci maki dengan laknat dan menjelek-jelekkan sahabat. Terkait kekafiran orang tersebut ada dua pendapat ulama. Menurut pendapat yang menyatakan bahwa dia tidak kafir, maka dia wajib dicambuk dan dipenjara hingga mati atau menarik pendapatnya. _Ketiga_ , Mencaci mereka dengan perkara yang tidak menista agama mereka, seperti pengecut dan bakhil (kikir atau pelit), maka tidak dikafirkan, tapi diberi hukuman ta’zir (hukuman yang dijatuhkan atas dasar kebijaksanaan hakim karena tidak terdapat dalam al-Qur’an dan hadits) yang dapat membuatnya jera dari hal itu.
Lebih lanjut Syaikh Islam Ibnu Taimiyah menukil dari perkataan Imam Ahmad bahwa, “Seseorang tidak boleh menyebut sedikit pun keburukan para sahabat, atau mencaci seorang pun dari mereka dengan aib dan kekurangan. Barangsiapa melakukan hal itu, maka ia diberi hukuman. Jika dia mau bertaubat (maka itulah yang wajib), dan jika tidak mau, maka dicambuk dan dipenjara hingga mati atau menarik perkataannya”. Wallahu A’lam bish-shawwab.
Drs.H.Karsidi Diningrat, M.Ag
* Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung.
* Wakil Ketua Majelis Pendidikan PB Al Washliyah.
* Mantan Ketua PW Al Washliyah Jawa Barat.
Komentar