POSKOTA.CO – Kementerian Pendidikan Kebudayaaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah menerbitkan Permendikbudrisitek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Permendikbudristek yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Satuan Petugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual tersebut menurut Ketua bidang Pendidikan dan Sosial Budaya Pengurus Pusat Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (FKPPI) Dr Susetya Herawati menjadi payung hukum bagi siapa saja korban kekerasan seksual di kampus untuk mendapatkan keadilan.
“Harus diakui bahwa meski di lingkungan pendidikan, tetapi kasus kekerasan seksual di kampus memang, mulai dari hal-hal yang sederhana hingga tingkatanya serius. Bentuknya mulai dari pelecehan seksual secara verbal, pelecehan seksual secara fisik, hingga pengiriman gambar porno atau cabul melalui jaringan pribadi. Banyak mahasiswa atau dosen perempuan yang mengalaminya tetapi mereka takut untuk melapor,” kata Herawati dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (10/3/2022).
Tak hanya kekerasan seksual, kampus juga ‘menyimpan’ banyak kasus-kasus pelanggaran etik dan etika, termasuk hak azasi manusia. Mulai dari tekanan pimpinan terhadap bawahan dalam hal ini dosen atau mahasiswa, pemberian hak terhadap dosen maupun tenaga kependidikan yang tidak sesuai SK, upaya menghambat karier bawahan, pemberian tugas di luar SOP dan lainnya.
Karena itu, lanjut Herawati, selain dibentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, kampus perlu juga memiliki Komisi Etik. Atau bisa juga Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual ditambah lagi SOP-nya agar dapat menyentuh kasus-kasus pelanggaran etika yang terjadi di lingkungan kampus.
“Jadi tidak hanya persoalan pelanggaran seksual saja yang bisa diselesaikan. Pelanggaran etik dan etika juga ditangani. Karena kasus pelanggaran seksual dan pelanggaran etika merupakan dua persoalan yang berbeda,” tambah Herawati.
Dengan adanya Komisi Etik di lingkungan perguruan tinggi, maka para korban jelas Herawati dapat melaporkan pada komisi tersebut untuk mendapatkan keadilan. “Dan jika terbukti harusnya perguruan tinggi dapat memberhentikan pelaku dengan tidak hormat,” tegas Herawati.
Ia menyebut meski sudah ada Permendikbud tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Sesual di Lingkungan Perguruan Tinggi sejak akhir 2021 lalu, hingga kini belum semua perguruan tinggi menindaklanjuti dengan pembentukan Satgas tanpa alasan yang jelas. Karena itu, Herawati mendesak agar Kemendikbudristek melakukan pengawasan kampus mana yang sudah membentuk Satgas dan mana yang belum. “Tentu harus ada tindaklanjutnya supaya Permendikbudristek ini dapat memberikan efek optimal bagi perlindungan korban kekerasan sekksual maupun korban pelanggaran etika lainnya,” jelasnya.
Menurut Herawati kampus sebagai kumpulan para ilmuwan dan akademisi, sudah sepatutnya menjadi lembaga yang mampu menegakkan peraturan dengan menjunjung tinggi etik dan etika bersama. Dengan demikian, kehidupan yang harmoni bisa tercipta di tengah segala perbedaan yang ada.
Bagi Herawati transformasi sosial melalui pendidikan dan pengetahuan dengan merevitalisasi khususnya pada pendidikan etik dan etika itu hal yang sangat penting dilakukan setiap kampus. Mengingat kampus adalah sebuah lingkungan bersatunya pikiran, perasaan, dan tekad kemauan manusia terdidik, guna melahirkan penciptaan dan perbuatan yang baik, benar dan indah. Dengan adanya komisi etik di perguruan tinggi diharapkan dapat memberikan keamanan dan kenyamanan bagi semua warga kampus untuk melakukan pekerjaan. Selain itu, dengan adanya komisi etik, kemerdekaan dalam penciptaan kreasi-kreasi baru sebagai pendidik dalam melahirkan generasi baru Indonesia yang berkarakter dan kreatif dengan jiwa merdeka juga bisa lebih terjamin. (fs)
Komentar