oleh

Pembunuhan Disiksa di Neraka Jahanam Selamanya

JINAYAT (Pidana) terhadap jiwa ialah pelanggaran terhadap seseorang dengan melenyapkan nyawanya, atau merusak salah satu organ tubuhnya, atau melukai salah satu anggota badannya. Jiwa harus dipelihara dengan baik serta tidak boleh dibunuh atau dirusak dalam kondisi atau situasi apa pun. Tingginya perhatian Islam tentang jiwa dalam makna ini dapat dilihat dari benyaknya dalil-dalil yang berbicara tentangnya.

Seseorang haram menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan syar’i, atau merusak salah satu organ tubuhnya, dan menimpakan gangguan apa pun pada tubuhnya. Sebab, setelah kekafiran tidak ada dosa yang lebih besar daripada membunuh orang mukmin. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini:

Allah subhanahu wata’ala telah berfirman, “Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, dia kekal di dalamnya. Dan Allah murka kepadanya, mengutuknya, serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. Annisa, 4: 93).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Membunuh orang islam itu perbuatan kekafiran dan memakinya adalah perbuatan kefasikan.” (HR. Bukhari melalui Abdullah bin Mas’ud r.a.). Dalam hadits yang lain disebutkan, “Perkara yang pertama kali akan divonis pada hari Kiamat di tengah-tengah manusia ialah pertumpahan darah.” (HR. Bukhari melalui Abdullah bin Mas’ud r.a.). Juga dalam hadits lain disebutkan, “Seorang muslim selalu dalam kelapangan agamanya, selama tidak terlibat dalam perkara hukum pertumpahan darah yang haram.” (HR. Bukhari melalui Abdullah bin Umar r.a.).

Dosa pembunuhan itu bertingkat-tingkat menurut kedudukan orang yang dibunuh. Membunuh kedua orang tua itu lebih keji daripada membunuh orang lain. Membunuh orang lain, dosanya lebih besar daripada membunuh orang bodoh.

Oleh karena itu, orang yang paling pedih azabnya di hari kiamat nanti, adalah orang yang membunuh Nabi atau yang dibunuh Nabi. Kemudian orang yang membunuh pemimpin yang adil yang senantiasa menganjurkan keadilan, membunuh seorang alim yang mengajak mereka beribadah kepada Allah Swt. dan selalu memberikan nasihat tentang agama. Allah Swt. memberikan ancaman masuk neraka selama-lamanya bagi orang yang membunuh orang Islam dengan sengaja. Allah memurkainya, melaknat dan mengancam dengan berbagai siksaan yang berat kepadanya. Inilah balasan orang yang membunuh orang mukmin dengan sengaja. Tidak ada perbedaan pendapat sama sekali di kalangan para ulama, bahwa jika si pembunuh itu masuk islam dengan penuh kesadaran dan tanpa ada paksaan, maka hal itu menjadi penghalang bagi terlaksananya hukuman tersebut.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan bahwa “ulama yang mengatakan tobat pembunuh tidak dapat menghalangi azab, karena pembunuhan tersebut ada hubungannya dengan hak Adam (hak seorang manusia). Maka hak tersebut harus dibayar di dunia. Kalau tidak dibayar di dunia, maka hak orang yang dibunuh tersebut harus dibayar di akhirat.” Juga Prof. Dr. Syaikh Mahmoud Syaltout mengatakan “dari kenyataan ini maka sementara ulama berkesimpulan bahwa taubatnya pembunuh tidak diterima seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit dan sahabat-sahabat yang lain. Mereka dalam masalah ini mempunyai alasan-alasan yang banyak.”

Dalam pandangan Ibnu Rusydi di kitab Bidayatul Mujtahid bab Al-Qishash disebutkan bahwa “segolongan fuqaha berpendapat bahwa kedua orang itu (orang yang menyuruh dan yang disuruh) sama-sama dikenai hukuman mati”.

Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairy tentang pembunuhan dengan sengaja (Al-‘Amd), yaitu seorang penjahat yang sengaja ingin membunuh seorang Muslim, atau menyakitinya, lalu ia pergi kepada orang Muslim tersebut kemudian memukulnya dengan besi, tongkat atau dengan batu, atau menjatuhkannya dari tempat yang tinggi, atau menenggelamkannya ke dalam air, atau membakarnya dengan api, atau mencekiknya, atau memberinya makanan yang telah dicampur racun kemudian orang Mukmin tersebut meninggal dunia, atau merusak salah satu organ tubuhnya, atau melukainya, maka hukum jinayat dengan sengaja semacam ini wajib diqishas”.

Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishasnya.” (QS. Al-Maidah, 5: 45).

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa “Ada serombongan orang pernah mendatangi Nabi Saw seraya berkata. Sesungguhnya kami merasa tidak sehat dan betah bermukim di tempat ini.” Rasulullah Saw lalu bersabda, “Binatang-binatang ternak kami ini akan digembalakan di suatu tempat. Oleh karena itu, ikutlah dengannya ke tempat itu dan minumlah air susunya.”

Lalu mereka mengiringi binatang-binatang itu dan selanjutnya meminum air susunya sehingga akhirnya sehat. Akan tetapi, orang-orang itu kemudian membunuh penggembalanya serta mengusir hewan-hewan itu dari tempat tersebut. Ketika mengetahui perilaku tersebut. Rasulullah Saw langsung memerangi mereka. Hal ini disebabkan mereka telah membunuh jiwa orang lain (penggembala), memerangi Allah Swt, dan Rasul-Nya serta menakut-nakuti Rasulullah Saw.” (HR. Bukhari).

Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa salah satu dari orangnya dibunuh, maka ia mempunyai dua pilihan, ia diberi diyat, atau diberi qishas.” (HR. Bukhari). Dan dalam hadits yang lain disebutkan, “Barang siapa ditumpahkan darahnya atau dilukai, maka ia bisa memilih salah satu dari tiga hal: ia meminta qishash, atau mengambil diyat, atau memaafkan (pelakunya). Dan jika ia mengambil pilihan keempat, maka halanginya keinginannya.” (HR. Imam Ahmad).

Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa yang membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.” (QS. Al-Ma’idah, 5:32).

Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan orang-orang mukmin itu saling mencintai, saling menyayangi, dan hubungan mereka bagaikan satu jasad. Manakala salah satu anggota tubuhnya ada yang sakit, maka seluruh tubuhnya merasakan panas dan lelah. Jika si pembunuh mencederai salah satu anggota badan seseorang, maka seakan-akan ia telah mencederai seluruh tubuhnya dan seluruh tubuhnya akan merasa sakit.

Oleh karena itu, barang siapa menyakiti seorang mukmin saja, maka seakan-akan menyakiti semua orang mukmin. Menyakiti semua orang mukmin sama halnya dengan menyakiti semua orang, karena Allah Swt. membela semua manusia dengan adanya orang-orang mukmin yang hidup diantara mereka.

Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak ada orang yang lebih mulia di sisi Allah dari seorang mukmin.” (HR. Athabrani). Dalam hadits yang lain disebutkan, “Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sesungguhnya jasad, akidah dan jiwa orang mukmin itu tidak najis. Lain halnya dengan orang kafir, jiwa orang kafir itu najis. Sebagaimana dalam firman-Nya. “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS. At-Taubah, 9:28).

Pengutukan terhadap dosa pembunuhan yang ditentukan oleh Allah diikuti pula oleh segala hukum, baik yang bersifat agama atau yang diciptakan manusia, semuanya menguatkan penilaian fitrah manusia tentang keharusan melindungi jiwa seseorang, dan bahwa pembunuhan yang terbesar yang tidak dapat diterima oleh syari’at ataupun oleh manusia sebagai makhluk, dan juga tidak dikehendaki oleh masyarakat.

Kemudian datang Islam yang sangat memperhatikan dosa pembunuhan, di ulang-ulang ia melarang tindakan tersebut, dan digambarkan sebagai hal yang keji yang harus dicegah; dengan secara terperinci dijelaskan hukumnya di dunia dengan segala macam-macamnya juga dijelaskan akan siksa yang bakal diterima di akhirat kelak. Dan termasuk larangan membunuh apa yang difirmankan Allah dalam wasiat sepuluh yang menjadi kunci surat Al-An’am dan yang selalu disebut oleh semua syari’at agama.

Allah Swt. berfirman, “Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepada ibu bapak, jangan membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar.” (QS. Al-An’am, 6: 151).

Suatu ancaman yang mengerikan bagi hati yang beriman, suatu ancaman yang tidak diberikan kecuali terhadap tindakan pembunuhan, yakni: Jahannam, abadi di dalamnya, murka dan laknat Allah, serta siksa yang besar yang telah disediakan bagi pembunuh, semuanya itu tidak adanya kata-kata yang menunjukkan akan diterimanya taubat dari pelakunya, sebagaimana kita lihat pada dalil-dalil yang membicarakan dosa-dosa lain.

Maka cukuplah diketahui besarnya dosa pembunuh menurut Allah tergambar dalam cara mengemukakan ancaman yang terkandung dalam firman-Nya (QS. An-Nisa, 4:93), dengan tidak adanya petunjuk akan diterimanya taubat pembunuhan.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Membunuh orang mukmin lebih besar dosanya di sisi Allah daripada melenyapkan dunia.” (HR. Nasai r.a.). Dosa membunuh orang mukmin itu lebih besar di sisi Allah daripada melenyapkan dunia dan seisinya. Makna hadits ini mengandung ancaman yang amat besar bagi pelakunya, dan bahkan perbuatan ini termasuk salah satu dari dosa-dosa besar yang urutannya sesudah mempersekutukan Allah Swt.

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa, “Setiap dosa ada harapan mendapat ampunan Allah kecuali (dosa) orang yang mati dalam keadaan musyrik, dan (dosa) orang yang membunuh orang mukmin secara sengaja.” (HR. Hakim melalui Muawiyah). Dalam hadits lain disebutkan, “Masalah pertama yang diputuskan di antara manusia di hari kiamat nanti adalah tentang darah.” (HR. Syaikhan).

Peradilan yang akan dilakukan oleh Allah Swt kelak di hari kiamat di antara sesama manusia ialah dosa yang paling besar dan paling berat. Hal ini tiada lain ialah menyangkut masalah jiwa, yakni masalah pembunuhan; mula-mula peradilan yang dijalankan oleh Allah terhadap manusia masalah tersebut, kemudian menyusul masalah utang-utang lainnya.

Rasulullah Saw. bersabda, “Dosa yang paling besar adalah menyekutukan Allah, membunuh jiwa, menyakiti ibu bapak, dan perkataan dusta.” (HR. Bukhari). Dan dalam hadits lain disebutkan, “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara (dosa besar) yang membinasakan, yakni: menyekutukan Allah, mengerjakan sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh berzina wanita-wanita yang terpelihara kehormatannya yang dalam keadaan lalai lagi beriman.” (HR. Syaikhan). Juga dalam hadits yang lain disebutkan, “Dosa-dosa besar itu adalah menyekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, membunuh jiwa, dan sumpah palsu. Maukah kalian aku akan ceritakan tentang dosa yang paling besar? Mereka menjawab, “Tentu saja mau wahai Rasulullah.” Rasulullah Saw bersabda, “Perkataan dusta (sumpah palsu).” (HR. Anas r.a.).

Hal-hal yang membinasakan pelakunya. Makna yang dimaksud ialah dosa-dosa besar. Dikatakan demikian karena dosa besar dapat membinasakan pelakunya. Hadits ini menyebutkan tujuh macam dosa besar yang harus dijauhi karena berakibat membinasakan pelakunya. Tiada sekali-kali Allah melarang hamba-hamba-Nya mengerjakan sesuatu melainkan bila di dalamnya terkandung bahaya yang besar bagi pelakunya. Wallahu A’lam bish-shawwab.

Drs.H.Karsidi Diningrat, M.Ag

* Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung.
* Wakil Ketua Majelis Dakwah PB Al Washliyah.
* Mantan Ketua PW Al Washliyah Jabar.

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *