oleh

Memanfaatkan Dunia untuk Mendapatkan Kemenangan Akhirat

Oleh : H. Nurshobah Abdul Fattah, S.Ag., M.Si

DALAM sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab Ar-Riqaq tentang penyucian jiwa, adalah seorang Sahabat Nabi Muhammad saw yang bernama Abdullah Bin Umar atau lebih sering disebut Ibnu Umar ra, pernah menceritakan bahwa Rasulullah saw pernah memegang pundaknya sambil berkata: ”Jadilah engkau di dunia ini seperti seorang asing atau seorang yang sedang bepergian.”

Kemudian Ibnu Umar pun berkata, “Jika kalian berada pada sore hari, janganlah menanti pagi (untuk melakukan suatu amalan). Sebaliknya, jika kalian pada pagi hari jangan menanti sore hari.

Manfaatkanlah masa sehatmu sebelum masa sakitmu dan manfaatkanlah masa hidupmu untuk kebahagiaanmu setelah mati kelak.

Dr. Musthafa Dieb al-Bugha dan Dr. Muhyiddin Mistu dalam Kitab Al Wafi Fi Syarhil Arba’in an-Nawawiyah, Ada beberapa hal yang kita petik dalam hadits ini, antara lain:

Pertama, bahwa hadits di atas tinggi kedudukannya, besar manfaatnya, menghimpun segala bentuk kebaikan. Hadits ini adalah landasan manusia agar tidak panjang berangan-angan di dunia. karena seorang mukmin tidak boleh menjadikan dunia sebagai tempat tinggal yang abadi.

Tetapi, ia harus merasa bahwa di dunia ini seperti musafir. Ia menyiapkan segala perbekalan untuk menjemput kematian dan bersiap-siap menghadapi hari yang dijanjikan, yaitu hari dimana harta  dan anak-anak tak lagi berguna, dan Allah swt hanya menerima orang yang datang dengan hati yang bersih. (qalbun salim).

Kedua, dalam hadits tersebut Rasulullah saw memegang pundak Abdullah Bin Umar yang berarti bahwa pesan ini sedemikian penting bagi dirinya dan agar diamalkan. Pada saat yang lain juga pernah dilakukan Nabi saw kepada sahabat yang lain seperti Abdullah Bin Mas’ud ra, yang diajarkan syahadat oleh Nabi saw dengan meletakkan telapak tangannya di kedua telapak tangan beliau, dan juga sahabat Mu’adz Bin Jabal ra yang diajarkan sebuah doa “Allahumma a’inní ‘ala dzikrika wasyukrika wa husni ibadatik”, dengan menyatukan lututnya dengan lutut beliau saw.

Ketiga, bahwa dunia itu fana dan akhirat itu kekal. Karena itu tidak ada artinya sama sekali jika kita mengumpulkan perbendaharaan dunia hanya semata-mata untuk hidup di dunia dengan bersenang-senang, bermegah-megahan, prestise, menjadi terkenal, memiliki semua dan berkuasa, yang pada akhirnya akan mati  karena memang dunia itu fana. Dunia itu fana (tidak kekal) meskipun manusia diberi umur panjang selama hidup. Orang yang beriman dan cerdas adalah orang yang tidak akan tertipu oleh kehidupan dunia. sebab ia menganggap dunia sebagai kebun untuk menanam amal saleh yang akan dipanen buahnya di akhirat kelak. Dunia tak lain hanyalah kendaraan yang digunakan untuk menyelamatkan diri ketika menyelamatkan diri ketika menyebrangi  jembatan as-shirath yang terbentang di atas panggung neraka.

Hakikat Hidup di Dunia

Pada prinsipnya seluruh kehidupan orang yang beriman hanya diarahkan untuk kehidupan di akhirat meskipun harus melewati kehidupan di dunia. Jika Allah swt menakdirkan seorang beriman itu kaya, memiliki harta-benda yang berlimpah dan berkuasa, namun semuanya yang dimiliki itu disyukuri dengan menjadikan sarana untuk menambah semangat beribadah dan beramal saleh sebagai bekal untuk kehidupan selanjutnya di akhirat.

Dengan banyak harta benda dapat menunaikan ibadah haji dan umroh, beramal saleh dengan berzakat, infaq dan shodaqoh yang bermanfaat bagi umat dan lain sebagainya. Begitu pula jika Allah swt menakdirkan seorang beriman itu miskin, hidupnya susah dan serba kekurangan, namun semua akan disikapi dengan sabar karena merasa kehidupan dunia itu sementara dan mengharap pahala sabarnya menjadi bekal perjalanan menuju akhirat. Bukankah, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw, bahwa keimanan orang mukmin itu menakjubkan. Di saat memperoleh kelapangan hidup dengan banyak rejeki, sukses dst, dia bersyukur dapat beribadah dan beramal saleh, sedangkan ketika dapat kesempitan dalam hidup, dengan kemiskinan, kesusahan dan musibah, dia bersabar karena akan mendapat pahala tanpa batas untuk kekal di akhirat.

Allah swt menjelaskan bagaimana kita menyikapi antara alam dunia atau akhirat dalam firman-Nya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”(QS Al-Qashash:

77). Pada ayat ini Allah swt menerangkan empat macam nasihat dan petunjuk untuk memperoleh kesejahteraan dunia dan akhirat, yaitu:

Pertama, orang yang dianugerahkan oleh Allah swt  kekayaan yang berlimpah ruah, perbendaharaan harta yang bertumpuk, serta nikmat yang banyak, hendaklah ia memanfaatkan di jalan Allah, patuh dan taat pada perintah-Nya, mendekatkan diri kepada-Nya untuk memperoleh pahala sebanyak-banyaknya di dunia dan akhirat. Sabda Nabi saw: ”Manfaatkan yang lima sebelum datang (lawannya) yang lima; masa mudamu sebelum tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu senggangmu sebelum sibukmu dan hidupmu sebelum matimu. (HR.Baihaqi).

Kedua, setiap orang dipersilahkan untuk tidak meninggalkan sama sekali kesenangan di dunia baik berupa makanan, minuman, pakaian, serta kesenangan-kesenangan  yang lain sepanjang tidak bertentangan  dengan ajaran yang telah digariskan oleh Allah. baik Allah, diri sendiri maupun keluarga, mempunyai hak atas seseorang yang harus dilaksanakannya. Sabda Nabi Muhammad saw: “Kerjakanlah seperti kerjanya orang yang mengira akan hidup selamanya, dan waspadalah seperti akan mati besok. (HR.Baihaqi).

Ketiga, setiap orang harus berbuat baik sebagaimana Allah berbuat baik kepadanya, misalnya membantu orang-orang yang memerlukan, menyambung tali silaturahmi, dan lain sebagainya.

Keempat, setiap orang dilarang berbuat kerusakan di atas bumi, dan berbuat jahat kepada sesama makhluk, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Akhirat adalah kampung asalnya manusia Ibnu Rajab berkata,”Ketika Allah swt menciptakan Adam, Allah menempatkannya di surga bersama istrinya. Kemudian ia turun ke bumi. Adam dan keturunannya yang saleh dijanjikan akan kembali ke surga. Maka seorang mukmin adalah orang yang selalu rindu pada tanah airnya yang pertama, dan cinta tanah air adalah sebagian dari iman.

Namun pulang kampung tidaklah mudah, harus membawa perbekalan yang cukup untuk dinikmati di kampung asal bersama keluarga. Bekal itulah ibadah dan amal saleh. Seorang musafir tidak akan membuat sebuah tempat tinggal permanen tetapi cukup untuk mencari tempat peristirahatan sementara, sekedar untuk melepaskan lelah. Juga bertujuan sebagai sarana untuk segera sampai di tempat tujuan.

Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat melihat bagaimana di saat hari Raya Idul Fitri banyak orang-orang yang pulang ke kampung halaman dan tempat kelahiran dan masa kecilnya yang selalu dirindukan dalam setiap saat kehidupan di tempat tinggalnya di kota besar seperti Jakarta.

Tentu mereka pulang kampung dengan terlebih dahulu membawa bekal yang sebanyak-banyaknya untuk memperoleh kegembiraan dan kebahagiaan bersama sanak keluarga di sana.

Demikianlah kehidupan di dunia kita manfaatkan untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya untuk pulang ke kampung asal tercinta, yaitu surga.

Sukses di Dunia Menang di Akhirat

Tidak ada yang dapat dilakukan oleh orang mukmin  di dunia kecuali mempersiapkan dirinya dengan sebaik-baiknya untuk sukses di dunia dengan berusaha dan berkarya untuk mencari kehidupan yang layak dan keberhasilan di berbagai bidang kehidupan, yang semuanya itu dimaksudkan untuk kemaslahatan hidup di dunia dengan berbuat baik kepada sesama manusia, memakmurkan bumi dan tidak membuat kerusakan di muka bumi.

Islam tidak menghendaki kita hanya memikirkan bagaimana nasib di akhirat, sehingga hidupnya hanya dicurahkan untuk tirakat, mengasingkan diri untuk beribadah dan menutup diri dari pergaulan bahkan kepada keluarganya sekalipun. Di zaman Nabi kita saw beliau pernah memarahi ada seorang sahabat yang kerjanya setiap hari hanya beribadah. Siang hari dia berpuasa, dan malam hari dia mendirikan sholat dan tidak sama sekali memperhatikan keluarganya.

Demikian pula Islam juga sangat melarang seorang Islam yang kaya dengan harta benda namun lalai dalam beribadah. Lihatlah bagaimana sahabat Nabi yang bernama Tsa’labah yang sebelumnya selalu sholat berjamaah dengan Nabi saw. namun karena kemiskinannya dia mohon doa Rasulullah agar diberi kekayaan. Meskipun Rasulullah sudah melarangnya  tekadnya sudah bulat dan merasa yakin kelak meskipun sukses usahanya tidak akan meninggalkan kewajiban kepada Allah swt. Namun apa yang terjadi? Ternyata kekayaan dan usahanya yang sukses benar-benar telah melalaikannya dari Ibadah kepada Allah Swt.

Islam, mengajarkan kehidupanyang seimbang. Seseorang tidak hanya hanya sibuk mengurusi dunia saja, tapi urusan akhirat ia lupakan. Pun sebaliknya, terlalu sibuk beribadah, hingga urusan duniawi dan hak-hak dirinya sebagai manusia ia abaikan.

Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang baik di dunia dan juga baik di akhirat, sebagaimana doa yang diajarkan Al-Qur-an “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka,” (QS. Al-Baqarah [2]: 201).

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud kebaikan dunia di sini adalah capaian-capaian duniawi seperti kesehatan, rezeki yang lancar, ilmu yang manfaat, dan sebagainya. Sementara kebaikan akhirat adalah segala kenikmatan yang ada di akhirat, termasuk yang tertinggi adalah surga. Wallaahu A’lam. (ta)

*Rois Syuriyyah PRNU Sukabumi Utara Kebon Jeruk Jakarta Barat.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *