SALAT merupakan kewajiban dari Allah kepada setiap mukmin, karena Allah telah memerintahkan shalat tidak hanya dalam satu ayat saja di dalam kitab-Nya. Maka orang yang meninggalkan salat dihukum mati secara syar’i. sedangkan orang yang menggampangkannya shalat dihukum fasik secara pasti.
Ketahuilah bahwa salat adalah tiang agama, dan asas Islam yang terpenting dari yang lima sesudah syahadat. Kedudukannya pada sisi agama seperti pada sisi tubuh. Jika orang tidak bisa hidup tanpa kepala, begitu pula agama tidak bisa kokoh tanpa shalat. Demikian maksud sebuah hadits.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda, “Salatlah kalian sebagaimana engkau melihatku shalat, jika waktu shalat telah tiba hendaknya salah seorang di antara kalian mengumandangkan adzan untuk kalian, dan hendaknya orang yang paling tua di antara kalian mengimami.” (HR. Muttafaqun ‘aalaaih).
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan bahwa hadits ini mengandung tiga kalimat, yaitu kalimat pertama, “Salatlah sebagaimana engkau melihatku sedang salat”.
“Kalimat ini mencakup segala yang diperbuat, diucapkan, dan diperintahkan Nabi Saw. dalam shalat, yaitu seorang hamba hendaknya menyempurnakan seluruh syarat-syarat shalat, kemudian berdiri menghadap kiblat di tempat shalatnya, dengan menghadirkan niat di dalam hatinya seraya mengucapkan takbir “Allaahu Akbar, selanjutnya membaca doa istiftah dan memohon perlindungan dengan bacaan istiftah dan ta’awwuz yang telah ditetapkan Nabi saw, setelah itu membaca basmalah, surat Al-Fatihah, surat panjang dalam shalat subuh, surat pendek dalam shalat maghrib, dan yang sedang dalam shalat lainnya. Selanjutnya rukuk seraya bertakbir dan mengangkat kedua tangan sejajar dengan kedua bahunya, demikian pula ketika berdiri dari rukuk dalam setiap rakaat, ketika takbiratul ihram, ketika berdiri dari tasyahhud pertama dalam shalat yang berjumlah empat rakaat atau tiga rakaat, menurut pendapat yang benar.
Dalam rukuk ini beliau membaca, “Subhaana rabbiy aal-adzim” yang wajib hanya sekali dan yang sempurna adalah tiga kali, dan ini berlaku pula dalam bacaan tasbih ketika sujud “Subhaana rabbiy al-a’la”, selanjutnya dia berdiri seraya mengucapkan, “Sami’a Allaahu liman hamidah, rabbana wa laka al-hamdu, Hamadaan katsiiran mubaarakaan fih” bagi imam dan orang yang shalat sendirian, demikian pula bagi makmum, hanya saja dia tidak membaca “Sami’a Allaahu liman hamidah”. Kemudian dia sujud di atas tujuh anggota sujud, yaitu dua ujung telapak kaki, dua lutut, dua telapak tangan, dahi, dan hidung. Semuanya ditempelkan ke lantai, dan tidak menempelkan kedua tangannya di atas lantai seperti anjing yang meletakkan kedua tangannya, selanjutnya dia berdiri dari sujud seraya bertakbir dan duduk iftirasy di atas kaki kiri dan menancapkan kaki kanannya seraya menghadapkan jari-jari kakinya ke kiblat.”
Rasulullah Saw. bersabda, “Luruslah dalam bersujud, dan janganlah salah seorang dari kamu membentangkan kedua hastanya seperti anjing membentangkan kaki mukanya.” (HR. Bukhari). Luruskanlah tangan kalian searah dengan tubuh sewaktu kalian sedang sujud, dan janganlah kalian merentangkan kedua tangan seperti anjing merentangkan kedua kaki depannya. Hadist ini menerangkan cara bersujud yang benar dan yang keliru.
“Duduk dalam shalat semuanya iftirasy kecuali dalam tasyahud akhir karena duduknya dengan tawaruk, yaitu duduk di atas lantai dan kaki kirinya dikeluarkan ke arah bagian kanannya. Di antara dua sujud ini dia membaca, “Rabbiighfirli warhamni wahdini warzuqni wajburni”. Kemudian beliau sujud kedua sebagaimana dalam sujud pertama. Demikianlah beliau mengerjakan setiap rakaat shalat. Dan hendaknya mengerjakan dengan tenang (thuma’ninah) dalam setiap turun dan bangun, rukuk dan sujud, dan berdiri dan duduk. Kemudian dia bertasyahud seraya membaca: Attahiyatul lillah wash shalawatu waththayyibat Assalamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh assalaamu’ ‘alaina wa ‘ala ibadillahish shaalihin asyhadu alla ilahaa illallah wa asyhadu anna muhammaadaan ‘abduhu wa rusuluh (Penghormatan, shalawat, dan kebaikan hanya menjadi milik Allah. Semoga keselamatan, rahmat Allah, dan berkah-Nya Atasmu wahai Nabi Saw, semoga keselamatan atas kami dan para hamba Allah yang shaleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah, dan akui bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan dan hamba-Nya.)”.
_Kalimat_ _kedua_ , “Jika salat telah tiba hendaknya salah seorang di antara kalian mengumandangkan adzan untuk kalian.” Ini adalah kalimat terbesar, dan di dalamnya terdapat syariat adzan. Hukumnya wajib, sebab ia ditetapkan oleh perintah. Pelaksanaannya setelah memasuki waktunya, kecuali dalam shalat fajar, Nabi Saw. bersabda, “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada waktu malam, maka tetaplah makan dan minum hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan, karena dia tidak beradzan melainkan setelah dikatakan kepadanya, “Sudah subuh, sudah subuh.”
Adzan memiliki hukum fardhu kifayah, dan bukan fardhu ain, karena fardhu ain adalah perintah dari Allah dan Rasul-Nya bila ditujukan kepada setiap mukallaf dan mereka dituntut untuk melaksanakannya. Sementara bila hanya menuntut pelaksanaan saja dan tidak menuntut dari setiap mukallaf maka ia menjadi fardhu kifayah. Dan di sini Nabi Saw bersabda, “Hendaknya seseorang mengumandangkan untukmu.”
Orang yang menjadi muadzin hendaknya orang yang dapat bersuara, dapat dipercaya, mengetahui waktu, dan berhati-hati. Karena hal itu lebih dekat kepada hasil yang dimaksud.
Hadits ini menunjukkan kewajiban adzan baik saat mukim atau safar. Sedangkan iqomat berstatus sebagai penyempurna adzan, karena adzan adalah pengumuman waktu shalat telah masuk, sementara iqomat sebagai pengumuman shalat akan segera dilaksanakan.
Banyak nash yang menyebutkan keutamaan dan pahalanya, anjuran untuk menjawabnya, yaitu dengan mengucapkan sebagaimana apa yang diucapkan oleh muadzin kecuali pada lafadz, “hayaa ‘alash-shalaah dan hayya alal falaah”. Pada lafal ini hendaknya orang yang menjawab adzan mengucapkan kalimat permohonan segala kebaikan kepada Allah atas seruan shalat dan keberuntungannya seraya mengucapkan, “Laa haula wa laa quwwata illaa billah”, setelah itu dia bershalawat atas Nabi saw dan membaca doa, “Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini, dan shalat yang ditegakkan, datangkanlah kepada Muhammad wasilah dan keutamaan, dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji yang telah Engkau janjikan.” Dan selanjutnya dia berdoa memohon kebaikan dirinya sendiri, sebab ia termasuk waktu yang mustajab yang semestinya dipelihara oleh orang yang berdoa.
Kalimat_ _yang_ _ketiga_ , “Hendaknya orang yang paling tua di antara kalian mengimami.” Kalimat ini menegaskan wajibnya shalat berjamaah, jumlah minimalnya adalah adanya imam dan makmum. Orang yang paling berhak menjadi imam adalah orang yang paling mengetahui maksud dan tujuan imam. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, “Orang yang patut mengimami kaum adalah di antara mereka yang paling banyak membaca Kitabullah atau hafalan Al-Qur’an; apabila mereka sama dalam hal hafalan Al-Qur’an, maka orang yang paling mengetahui sunnah; apabila dalam pengetahuan sunnah sama, maka orang yang paling pertama berhijrah dan apabila hal hijrah sama, maka yang menjadi imam adalah mereka orang yang paling tua.” (HR. Muslim). Jika mereka sama atau seimbang—sebagaimana yang disebutkan dalam hadits—yang lebih berhak adalah yang lebih tua dari keduanya, karena mendahulukan orang yang lebih tua disyariatkan dalam setiap perkara yang menuntut adanya urutan, hal ini bila yang lebih muda tidak memiliki kelebihan. Ini berdasarkan sabda Nabi Saw, “Dahulukan yang tua, dahulukan yang tua.” (HR. Bukhari).
Orang yang paling berhak menjadi imam salat pada suatu kaum ialah orang yang paling ahli dalam membaca al-Qur’an, lalu yang paling ahli mengenai sunnah, kemudian yang paling dahulu dalam hal hijrah. Dan apabila semuanya sama, maka yang dipilih ialah orang yang paling tua umurnya di antara mereka.
Apabila shalat telah ditegakkan dan imam berdiri di hadapan makmum, maka imam hendaknya diikuti, bila dia bertakbir makmum yang dibelakangnya ikut bertakbir, bila dia rukuk, sujud, dan berdiri makmum mengikutinya. Makmum dilarang mengikuti gerakan imam secara bebarengan. Sementara mendahului imam, baik dalam rukuk, sujud, turun, maupun bangkit, maka itu merupakan perbuatan haram, dan membatalkan shalat. Makmum diperintah mengikuti imam, dan dilarang membarengi, mendahului, atau tertinggal jauh dari imam.
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairy mengatakan, “setiap makmum wajib mengikuti imamnya. Diharamkan baginya mendahului imam dan dimakruhkan baginya bersamaan dengan imamnya. Apabila ia mendahului takbiratul ihram imam, maka ia harus mengulanginya. Apabila tidak diulangi, maka shalatnya batal. Demikian pula jika ia mengucapkan salam sebelum imam. Apabila ia mendahului imam ketika rukuk, sujud, dan bangkit dari keduanya, maka ia harus kembali lagi agar melakukan rukuk dan sujud sesudah imamnya.”
Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya dijadikan imam itu untuk diikuti. Oleh karena itu, janganlah kalian berbeda dengan imam. Apabila ia bertakbir, maka bertakbirlah. Apabila ia rukuk maka rukuklah. Apabila ia mengucap ‘Sami’allaahu lima hamidah’, maka ucapkanlah ‘Allaahumma rabbanaa lakal hamdu’. Apabila ia bersujud, maka bersujudlah. Apabila ia melakukan shalat sambil duduk, maka shalatlah kalian semua dengan duduk.” (HR. At-Tirmidzi).
Bila makmum berjumlah dua orang atau lebih, maka yang lebih utama mereka berbaris di belakang imam. Boleh juga berdiri di samping kanan imam, atau samping kanan dan kiri imam. Sedangkan perempuan berdiri di belakang laki-laki dan dia berdiri sendirian, kecuali jika berjumlah banyak, maka mereka berbaris seperti berbarisnya kaum laki-laki. Apabila ada seorang laki-laki berdiri di belakang imam sendirian, atau dibelakang shaff sendirian tanpa ada uzur, maka shalatnya batal.
Rasulullah Saw. bersabda, “Sebaik-baik shaf (barisan) laki-laki adalah yang paling depan dan yang terburuk ialah barisan paling akhir. Namun seburuk-buruk barisan wanita adalah yang paling depan dan yang terbaik ialah yang paling belakang.’ (HR. Muslim). Dalam hadits yang lain disebutkan, “Luruskanlah shaf (barisan shalat) kalian, karena sesungguhnya menyamakan shaf termasuk kesempurnaan menegakkan shalat.” (HR. Syaikhan melalui Anas r.a.). Dalam shalat berjemaah dianjurkan bagi para makmum meluruskan shaf barisan shalatnya secara rapih dan teratur karena kerapihan shaf dalam shalat berjemaah termasuk kesempurnaan shalat.
Dalam Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairy disebutkan, “dan berdasarkan perbuatan Nabi Saw, “Suatu ketika dalam suatu peperangan Nabi Saw. sedang berdiri untuk melakukan shalat, lalu Jabir datang dan berdiri di sebelah kiri beliau, lalu beliau pun menggeser Jabir sehingga ia berdiri di sebelah kanannya. Kemudian Jabbar bin Sakhr datang. Ia berdiri di sebelah kiri Nabi. Lantas Nabi Saw. memegang keduanya dengan kedua tangan beliau dan memposisikan keduanya berdiri di belakang beliau.”
Dan perkataan Anas r.a. ketika Nabi Saw. melakukan shalat bersama Anas dan ibunya, “Beliau menposisikan berdiri di sebelah kanan beliau dan memposisikan wanita di belakang kami.” “…Saya dan anak yatim membuat barisan di belakang Rasulullah Saw. sedangkan para nenek berdiri di belakang kami.”
Seorang imam hendaknya mewujudkan tujuan sebagai imam, mengeraskan suara takbir dan tasmi’ ketika melakukan perpindahan dari rukun ke rukun lain, mengeraskan bacaan pada shalat jahr, memelihara kondisi makmum yang di depan dan di belakang, serta meringankan shalat dengan tetap menjaga kesempurnaan.
Rasuluillah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda, “Hai manusia, sesungguhnya kalian membuat orang-orang tidak senang, barang siapa shalat (menjadi imam) dengan orang banyak, hendaknya ia meringankan shalatnya, karena sesungguhnya di antara mereka (orang-orang yang makmum) terdapat orang sakit, orang yang lemah, orang yang sudah tua, dan orang yang mempunyai keperluan penting.” (HR. Bukhari).
Latar belakang hadits ini ialah bermula dari laporan salah seorang penduduk kampung yang melaporkan kepada Nabi Saw. tentang salah seorang sahabatnya, yang apabila sahabat tersebut menjadi imam di kalangan kabilahnya, ia selalu membaca surat yang panjang-panjang sehingga mereka merasa kepayahan karenanya. Kemudian salah seorang di antara mereka melaporkan hal tersebut kepada Nabi Saw. Ketika sahabat yang dimaksud datang kepada Nabi Saw., lalu Nabi Saw, mengemukakan hadits ini yang isinya menyindir dia secara tidak langsung karena beliau Saw, mengungkapkannya dalam bentuk jamak (umum). Demikianlah sifat beliau Saw. yang bijaksana lagi pemalu itu, hingga apabila beliau menegur salah seorang dari sahabatnya, beliau kemukakan dengan ungkapan yang tidak terang-terangan memojokkannya sehingga yang mendengarkannya pun menerima dengan penuh kesadaran.
Makna hadits ini, apabila seseorang dipercaya untuk menjadi imam shalat, hendaklah ia melakukan shalatnya secara pertengahan, atau dengan cara yang ringan, jangan terlalu lama, karena di antara orang yang bermakmum kepadanya mungkin saja terdapat orang yang sakit, orang yang lemah, orang yang sudah lanjut usia, dan orang yang mempunyai keperluan penting. Apabila seorang imam mengerjakan shalatnya terlalu lama niscaya makmumnya akan terganggu, dan pada akhirnya mereka akan bubar, tidak mau lagi bermakmum kepadanya.
Akan tetapi, apabila makmumnya dari kalangan keluarga sendiri atau orang-orang tertentu lebih baik agak panjang, sama halnya dengan shalat sendirian. Berdasarkan hadits Nabi Saw, “Nabi Saw. ditanya tentang shalat, “Bagaimana shalat yang paling afdhal?” Beliau menjawab, “Berdiri yang lama.” (HR. Muslim). Di dalam hadits yang lain disebutkan bahwa ketika Nabi Saw, sedang shalat, tiba-tiba ia mendengar tangisan seorang bayi, maka beliau segera meringankan shalatnya karena merasa khawatir terhadap ibu si bayi, kalau-kalau shalatnya terganggu karena tangisan bayinya. Allah Swt. telah berfirman, “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj: 78).
Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa mengimami suatu kaum lalu mengkhususkan do’a untuk dirinya, maka dia telah mengkhianati mereka.” (HR. Aththusi). Wallahu A’lam bish-shawwab.
Drs.H.Karsidi Diningrat, M,Ag
* Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung.
* Wakil Ketua Majelis Pendidikan PB Al Washliyah.
* Mantan Ketua PW Al Washliyah Jawa Barat.
Komentar