WARTAWAN? Itulah sebuah profesi yang sudah tak asing lagi dalam kehidupan manusia. Meski ada segelintir orang memandang sebelah mata terhadap profesi ini, namun kiprahnya sebagai pemasok informasi yang handal dan profesional sudah diakui banyak orang. Sehingga, buah karya jurnalistik sang wartawan berupa berita senantiasa dinanti khalayaknya.
Wartawan atau jurnalis tiada lain adalah sosok manusia yang berprofesi sebagai pencari dan penyampai kebenaran dari sebuah peristiwa dengan ilmu jurnalistik sebagai alat verifikasinya. Dengan demikian wartawan atau jurnalis dapat juga disebut verifikator kebenaran sebuah peristiwa, isu dan persoalan lainnya yang berkembang di masyarakat. Verifikasi kebenaran yang dianut wartawan tiada lain melalui jurnalistik dengan berlandasan pada proses news hunting, news writing, news editing dan news publishing.
Istilah wartawan (jurnalis) dan ilmu kewartawanan (ilmu jurnalistik) tiada lain sebuah ilmu yang turut diabadikan dalam Al-Qur`an. Sebagai Kitab Suci Umat Islam sekaligus sebagai sumber segala ilmu pengetahuan, Al-Qur`an telah mengisyaratkan tentang dunia kewartawanan atau dunia jurnalistik. Salah satu ayat yang mengisyaratkan mengenai jurnalistik tercantum pada (QS 12:87) sebagai berikut:
“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan jangan kamu berputus asa dari rahnat Allah.”
Dari makna yang terkandung dalam QS Yusuf ayat 87, penulis menginterpretasikan bahwa ayat tersebut sangat sarat nilai kejurnalistikannya. Subhanalloh!. Merenungi makna ayat tersebut penulis berpendapat bahwa Al-Qur`an memberikan sebuah gambaran mengenai perintah Nabi Ya’qub kepada anak-anaknya untuk mencari berita tentang Yusuf yang hilang lantaran dicemplungkan saudaranya ke dalam sumur.
Setidaknya penulis mencatat pesan kuat dalam ayat itu yang berkait dengan dunia kewartawanan di antaranya yakni pada kata cari dan kata berita (news). Dalam perspektif jurnalistik cari atau mencari merupakan pekerjaan seorang jurnalis yang kemudian dalam dunia wartawan atau jurnalistik disebut liputan atau hunting. Apa yang diliput atau dihunting adalah berita sehingga lahirlah istilah news hunting.
Kemudian, Al-Qur’an mengatakan istilah berita tidak informasi. Perspektif jurnalistik berita merupakan produk jadi dari hasil pencarian, liputan, wawancara, investigasi yang kemudian fakta hasil liputannya ditulis melalui news processing dan setelah diedit baru dikirim ke redaksi untuk segera dipublikasikan melalui proses news publishing.
Dengan demikian kata berita dalam ayat itu memberikan suatu gambaran mengenai sebuah kebenaran yang diperoleh melalui tahapan-tahapan yang dilakukan secara obyektif, akurat sehingga memiliki kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Pasalnya anak-anak Nabi Ya’qub bekerja mencari kebenaran melalui verifikasi dengan proses news hunting. Sedangkan, Al-Qur’an tidak menyebutkan informasi, sebab dalam dunia jurnalistik informasi hanyalah sebuah info atau kabar angin yang belum jelas kebenarannya. Oleh karenanya, kebenaran sebuah informasi harus diuji terlebih dahulu melalui jurnalistik sebagai instrumen verifikasinya.
Aspek lain yang cukup menarik dari ayat tersebut berdasarkan jurnalistik adalah perintah Nabi Ya’qub untuk melakukan liputan kepada anak anaknya. Penulis menginterpretasikan, Nabi Ya’qub dalam konteks jurnalistik dapat dianalogikan sebagai Pemred, Redpel atau Redaktur yang memiliki kewenangan untuk memproyeksikan proses lahirnya sebuah berita.
Merujuk dari makna yang terkandung dalam (QS, 12:87) penulis berpendapat bahwa aktivitas dunia wartawan atau jurnalis dalam menjalankan kegiatan jurnalistiknya yang kemudian disimbolisasikan pada kutub idealis atau keredaksian dalam dunia pers. Oleh karenanya, pers khususnya kutub idealis harus betul betul menyatakan kebenaran yang obyektif dan bukan kebenaran yang subyektif. Kebenaran berita dalam ayat ini adalah kebenaran yang sifatnya telanjang bulat (apa adanya) dan bukan kebenaran subyektif yang sifatnya keberpihakan kepada individu, penguasa atau orang orang yang fasik.
Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 87, merupakan sebuah ayat yang sangat berarti bagi kehidupan pers termasuk wartawannya. Pers sebagai kekuatan keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki tanggungjawab sebagai penyuara kebenaran yang obyektif. Pers sebagai instrumen dakwah harus berani mengatakan kebenaran secara lurus sekalipun pahit. Kebenaran yang disuarakan pers secara filosofis merupakan kebenaran yang didapat secara profesional dan selalu dinanti khlayaknya. Itulah salah satu ciri pers yang rahmatan lil`alamin dan bukan Pers yang laknatan lilalamin. Wallohu’alam bisowaf.
H.Dono Darsono
Penulis adalah pemerhati, praktisi Pers sekaligus pengajar di Prodi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung.
Komentar