oleh

Ketakwaan Diantara Hakikat Syukur

ALLAH Subhanahu Wata’ala telah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.” (QS. Ali Imran, 3: 102). Dalam firman-Nya yang lain dikatakan, “Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS. Al-Baqarah, 2: 197).

Takwa adalah pokok akhlak. Takwa ialah keadaan yang diliputi rasa takut kepada Allah Swt. Takwa ialah keadaan yang mendorong seseorang menjauhi dosa dan kesalahan. Jika pengertian takwa demikian, dan jika ada diantara kita tidak merasa takut kepada Allah Swt, maka tidak ada yang dapat diharapkan darinya selain penyimpangan social, tindak kejahatan, dan pergaulan yang buruk dengan sesamanya. Dengan kata lain, dia akan melakukan apa saja yang dikehendakinya tanpa ada rasa malu, dan perhatian terhadap rambu-rambu akal, agama, kebenaran, dan hati nurani.

Sesungguhnya manusia harus hanya takut kepada Allah Swt, karena Dia-lah Zat yang Maha Pencipta, Maha Mulia dan Maha Perkasa. Manusia tidak boleh takut kepada manusia. Ada sekelompok manusia yang berpegang teguh kepada hukum Ilahi disebabkan rasa takutnya kepada hal-hal yang akan menimpanya di dalam kehidupan dunia jika mereka membangkang terhadap hukum tersebut. Pada dasarnya ini adalah sesuatu yang baik. Namun, rasa takut yang hakiki harus hanya kepada Allah Swt. saja, baik itu yang berkaitan dengan urusan dunia maupun yang berkaitan dengan urusan akhirat.

Takwa tidak hanya terbatas pada masalah-masalah ibadah saja. Takwa adalah bekal atau muatan semangat ruhani dan pengontrolan diri. Takwa merupakan dasar berdirinya semua kegiatan ibadah, muamalah, dan segala macam aktivitas manusia dalam hidup ini. Takwa merupakan pintu masuk kepada sikap syukur. Khulafaur Rasidun mengatakan bahwa dalam beribadah ada tiga kelompok manusia: “sesungguhnya sekelompok orang beribadah kepada Allah karena mengharapkan surga-Nya, dan ibadah macam ini disebut ibadahnya para pedagang; sekelompok orang lagi yang beribadahnya kepada Allah karena takut dari api Neraka-Nya, dan ibadah macam ini disebut ibadahnya para budak; dan kelompok berikutnya beribadah kepada Allah karena rasa syukur kepada-Nya, dan inilah ibadah orang-orang yang merdeka.”

Allah Subhanahu Wata’ala telah berfirman, “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams, 91: 8-10).

Sebagaimana sifat-sifat yang menjadi bagian dari rangkaian anak tangga penyucian diri (tazkiyatun nafs) lainnya, syukur juga tersusun dari tiga komponen, yaitu ilmu, hal (keadaan), dan amal (perbuatan). Ilmu merupakan komponen dasar yang melahirkan keadaan, sementara keadaan (hal) adalah yang melahirkan aksi (perbuatan). Adapun yang dimaksud dengan ilmu dalam kaitannya dengan rasa syukur yaitu pengetahuan seseorang bahwa setiap kenikmatan bersumber dari Yang Mahakuasa. Sementara itu, yang dimaksud dengan “hal” adalah perasaan bahagia yang lahir dari nikmat yang dianugerahkan-Nya. Sedangkan makna “perbuatan” di sini adalah tindakan nyata orang tersebut untuk menjalankan berbagai hal yang dicintai oleh Sang Pemberi Nikmat. Aksi dimaksud baik yang terkait dengan hati, lisan, maupun anggota tubuh lainnya. Kesinergisan tiga komponen aksi ini sangat dituntut agar hakikat syukur dapat terwujud secara utuh.

Salah satu perwujudan sikap takwa adalah menunaikan kewajiban-kewajiban yang muncul sebagai konsekuensi keimanan. Dengan demikian, cara terpenting dalam meraih ketakwaan adalah ibadah, khususnya yang ditunaikan dalam kerangka ikhsan. Adapun perwujudan sikap ikhsan pada diri seorang muslim dapat dilihat dari perilakunya yang selalu mengarah pada amal saleh serta di sisi lain menjauhkan diri dari segala maksiat. Prinsip hidup yang seperti inilah yang akan membawanya kepada inti keimanan yang diidam-idamkan setiap hamba Allah Swt. Maka melihat urgensi takwa dalam kehidupan inilah, Rasulullah Saw. terlihat banyak mewasiatkan hal tersebut kepada manusia.

Allah Subhanahu Wata’ala telah berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat, 49: 13). Kelebihan antara umat manusia hanya dengan ketakwaan, bukan dengan keturunan dan darah. Barangsiapa ingin kemuliaan di dunia dan kedudukan tinggi di akhirat, maka hendaknya manusia bertakwa kepada Allah. Allah telah menjanjikan kemuliaan di sisi-Nya dengan takwa, bukan oleh sebab keturunan, bukan harta kekayaan, dan bukan dengan sebab-sebab yang lain. Bukankah dengan takwa itu, Allah dan Rasul-Nya telah menjanjikan berbagai kebaikan dan kebahagiaan, derajat dan kebajikan, kesempurnaan dan kemenangan, harta kekayaan dan keuntungan. Semua itu terlalu panjang untuk diungkapkan, dan terlampau sulit untuk dihitung.

Sebagaimana dalam sabda Nabi Saw., “Kemuliaan dunia adalah kekayaan dan kemuliaan akhirat adalah ketakwaan. Kamu, baik laki-laki maupun perempuan, kemuliaanmu adalah kekayaanmu, keutamaanmu adalah ketakwaanmu, kedudukanmu adalah akhlakmu dan (kebanggaan) keturunanmu adalah amal perbuatan.” (HR. Adailami). “Manusia yang paling mulia adalah orang yang paling bertakwa.” (HR. Bukhari dan Muslim).”Takwa merupakan kemuliaan”. (HR. Hakim). Takwa itu akan mendatangkan kemuliaan bagi orang yang menyandangnya.

Dalam hal ini Rasulullah Saw. telah bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt. tidaklah melihat kepada bentuk-bentuk kalian, dan tidak kepada kedudukan kalian, serta tidak pula kepada harta benda kalian, akan tetapi Dia melihat kepada kalbu dan amal perbuatan kalian.” (HR. Thabrani). Juga dalam hadis lain disebutkan, bahwa Rasulullah Saw telah bersabda, “Ingatlah, sesungguhnya di dalam diri manusia terdapat segumpal daging. Jika daging itu sehat maka seluruh tubuh juga akan ikut sehat. Sebaliknya jika ia sakit (rusak) maka seluruh tubuh juga akan menjadi sakit. Ketahuilah bahwa ia (segumpal daging itu) adalah hati (kalbu).” (HR. Ahmad). Dan dalam hadis yang lainnya disebutkan bahwa Rasul Saw. pernah bersabda seraya mengisyaratkan kearah dadanya, “Takwa itu terletak di sini”, yang dimaksud ialah di dalam hati. Memang dalam ujung ayat ini memberi penjelasan bagi manusia bahwasanya kemuliaan sejati yang dianggap bernilai oleh Allah lain tidak adalah kemuliaan hati, kemuliaan budi, kemuliaan perangai, ketaatan kepada Allah Swt.

Takwa juga merupakan wasiat Allah yang paling utama untuk orang-orang terdahulu dan yang datang kemudian, sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu agar bertakwa kepada Allah.” (QS. An-Nisa, 4: 131).

Karena itu tidak ada suatu kebaikan pun di dunia atupun di akhirat, kebaikan lahir maupun batin, melainkan hanya takwa yang menjadi perintis dan penyebab yang mengantarkan kita kepada-Nya. Demikian pula sebaliknya, tiada suatu kejahatan pun di dunia ataupun di akhirat, kejahatan lahir maupun batin, melainkan hanya takwa yang bakal menjadi dinding yang kokoh dan benteng yang teguh untuk menyelamatkan kita daripadanya dan melepaskan kita dari bencananya.

Khalifahur Rasidun mengatakan, “Sesungguhnya takwa adalah bangunan agama dan bangunan keyakinan. Sesungguhnya takwa adalah kunci kebajikan dan pelita kemenangan. Barangsiapa yang hatinya memberitahukan ketakwaan maka sukses amalnya. Berlindunglah kepada takwa, karena takwa adalah perisai. Barang siapa berlindung kepada takwa maka takwa akan melindunginya, dan barang siapa berpegang kepada takwa maka takwa akan menjaganya.” Wallahu A’lam bish Shawab.

Drs.H. Karsidi Diningrat. M.Ag

* Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Bandung.
* Anggota PB Al Washliyah Jakarta.
* Mantan Ketua PW Al Washliyah Jawa Barat.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *