oleh

Komnas PA Desak Presiden Selamatkan Anak Indonesia dari Bahaya BPA Galon Air Kemasan

POSKOTA.CO – Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mendesak Presiden Joko Widodo turun tangan menyelamatkan anak-anak Indonesia dari bahaya Bisfenol A atau BPA—bahan kimia yang bisa menyebabkan kanker dan kemandulan—pada galon berbahan polikarbonat (bahan plastik keras).

“Kami sudah bersurat melalui Sekretariat Negara, meminta kesempatan untuk menjelaskan hal ini langsung ke Presiden,” kata Arist dalam diskusi publik “FMCG Talk” dengan tema “Risiko BPA bagi Kesehatan Publik dan Pengaturannya pada Industri Air Minum Dalam Kemasan”, pada Senin (28/3/2022).

Intinya kata Arist, negara tidak boleh kalah oleh industri. Karena itu, rancangan peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan tentang pelabelan risiko BPA perlu segera disahkan.

Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia, organisasi induk industri air kemasan, termasuk yang gencar menolak lahirnya peraturan pelabelan risiko BPA. Asosiasi menganggap rancangan tersebut, kini tengah memasuki fase pengesahan di Sekretariat Kabinet, tak ubahnya “vonis mati” karena konsumen bakal beralih ke air galon dengan kemasan yang dianggap lebih sehat.

Dalam draft peraturan BPOM, dipublikasikan ke khalayak luas sejak November 2021, produsen galon yang menggunakan kemasan plastik keras polikarbonat wajib mulai mencantumkan label “Berpotensi Mengandung BPA” kurun tiga tahun tiga tahun sejak peraturan disahkan. Sementara itu, produsen yang menggunakan kemasan selain plastik polikarbonat diizinkan memasang label “Bebas BPA”.

Sekaitan itu, Kepala BPOM, Penny K. Lukito, pada 21 Maret,  meyakinkan rencana pelabelan risiko BPA sama sekali tidak bertujuan merugikan pelaku usaha. Justru, katanya, kebijakan itu untuk melindungi industri air kemasan dari tanggung jawab (liability) di masa datang, senyampang memberikan perlindungan kesehatan ke khalayak luas.

“Aspek keamanan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) terkait dengan potensi resiko kesehatan konsumen harus menjadi prioritas” kata Penny.

Bagi Arist, penegasan BPOM tersebut seharusnya mendorong semua kalangan untuk bersama-sama memikirkan potensi bahaya BPA pada kesehatan masyarakat luas pada jangka panjang.

“Kalau industri AMDK tidak terjaga dengan baik, dampaknya bakal terasa pada anak-anak dan orang dewasa,” katanya. “Dalam perspektif itu lah, saya katakan industri harus patuh dan negara harus betul-betul menyelamatkan anak-anak dari bahaya BPA.”

Dalam diskusi yang sama, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, melihat pelabelan risiko BPA sebagai wujud tanggung jawab pemerintah dalam memastikan terpenuhinya hak masyarakat atas produk yang aman untuk dikonsumsi.

“Rancangan peraturan pelabelan itu sifatnya memperkuat regulasi yang sudah ada,” katanya.

Menurut Tulus, industri keliru bila sampai menganggap BPOM tak perlu lagi merevisi regulasi terkait risiko BPA pada kemasan galon guna ulang.

“Ambang batas migrasi BPA pada galon guna ulang yang ditetapkan BPOM selama ini bukan harga mati, bisa diperbaharui untuk peningkatan perlindungan konsumen dan agar sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi,” katanya. “Jangankan peraturan BPOM, undang-undang sekalipun masih bisa direvisi. Jadi kenapa industri mesti takut?”

Apalagi, menurut Tulus, pelabelan risiko BPA pada galon polikarbonat tidak dimaksudkan untuk menakut-nakuti publik namun semata agar konsumen punya hak pilih atas produk yang mereka konsumsi. “Undang-undang perlindungan konsumen jelas mengatur hal tersebut, termasuk soal label dan informasi produk yang terperinci,” katanya.

YLKI, lanjutnya, telah melayangkan surat ke BPOM, mendesak lembaga untuk tidak ragu dalam mengambil keputusan terkait pelabelan risiko BPA.

“Harus diakui, yang punya kompetensi dalam soal risiko BPA hanya BPOM,” katanya menepis berbagai tudingan miring industri terhadap inisiatif BPOM. “Kalau BPOM ciut, bagaimana nasib konsumen?”

Tulus juga menyesalkan industri yang masih gagal menangkap niat baik pemerintah, khususnya BPOM, terkait rancangan peraturan pelabelan risiko BPA.

“Industri memang selalu begitu perilakunya setiap ada regulasi baru, selalu menentang,” katanya. “Mereka masih melihat regulasi baru sebagai cost center, dianggap sebagai beban usaha.”

Sementara itu, ahli polimer dari Balai Teknologi Polimer, Dr. Chandra Liza, menilai ada risiko tersendiri bila level migrasi BPA yang telah ditetapkan BPOM tidak dipatuhi oleh industri air kemasan. “Kuncinya ada pada pengawasan,” katanya.

Selain itu, menurut Liza, perlu pula ada edukasi yang menyeluruh atas kalangan penjual air kemasan galon terkait risiko peluluhan BPA akibat pemajangan, penyimpanan dan distribusi galon yang serampangan.

“Pemajangan produk galon yang tidak baik bisa mengakibatkan proses migrasi BPA menjadi lebih cepat,” katanya.

Sebelumnya, pada akhir Januari silam, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Rita Endang, mengungkap bahwa pihaknya menemukan “sejumlah kecenderungan mengkhawatirkan” terkait level migrasi BPA pada galon guna ulang berbahan polikarbonat yang beredar luas di masyarakat. Temuan itu, menurut Rita, bersumber dari hasil uji sampel post-market BPOM selama periode 2021-2022.

Namun Ketua Advokasi FMCG Insights, sebuah lembaga riset produk kemasan, menyayangkan BPOM yang masih menahan penerbitan utuh hasil riset anyar tersebut. Padahal, katanya, informasi itu sangat dinanti publik yang kian bergantung pada air kemasan untuk kebutuhan air minum sehari-hari.

“Kami menganggap informasi itu krusial, sebagian bagian dari perlindungan kesehatan masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan hak konsumen atas keamanan dan keselamatan produk,” kata Willy. (fs)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *