oleh

Gubes Unkris Prof. Gayus Usulkan Pembentukan Lembaga Eksaminasi Nasional untuk Uji Putusan Pengadilan yang Kontroversial

JAKARTA – Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Prof Gayus Lumbuun mengusulkan pembentukan Lembaga Eksaminasi Nasional untuk menguji ulang berbagai putusan pengadilan yang dianggap kontroversial oleh masyarakat. Pembentukan lembaga pengujian putusan pengadilan tersebut penting guna memberikan sanksi pada majelis hakim yang memutuskan suatu perkara tanpa kredibilitas yang baik.

Hal tersebut disampaikan Prof Gayus saat menjadi narasumber pada Seminar Nasional bertema Putusan Pengadilan Versus Peraturan Perundang-Undangan yang digelar Perkumpulan Ikatan Alumni Magister Ilmu Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Pusat Bantuan Hukum Fakultas Hukum UKI pada Senin (8/01/2024).

“Lembaga ini nantinya berfungsi menguji putusan pengadilan yang dinilai kontroversial,” kata Prof Gayus.

Agar dapat menguji ulang putusan majelis hakim pada berbagai cabang peradilan, lanjut Prof Gayus, Lembaga Eksaminasi Nasional tersebut harus beranggotakan lebih dari 9 hakim, termasuk mereka yang berkompeten di berbagai bidang ilmu hukum.

Menurut Prof Gayus, eksaminasi terhadap putusan pengadilan telah dipraktikkan di Belanda. Di mana ketika sebuah putusan pengadilan dinyatakan berkekuatan hukum tetap, maka seketika itu juga salinan putusan dimaksud dikirim ke para guru besar di berbagai perguruan tinggi terkemuka untuk dinilai melalui anotasi atau eksaminasi. “Jika hakim itu salah memutus perkara, maka riwayat karirnya pun akan tenggelam, karena ia dinilai tidak berkualitas dan tidak berintegritas,” tambah Prof Gayus.

Itu artinya meski eksaminasi seperti ini tidak memiliki konsekuensi hukum, namun dapat ikut menentukan nasib dan karier hakim yang memutuskan perkara, atas masukan dari para guru besar.

Di Indonesia, contoh kasus eksaminasi yang paling terbaru kata Prof Gayus, adalah kasus pencoretan Irman Gusman dari Daftar Calon Sementara (DCS) DPD oleh KPU. Alasan KPU bahwa putusan PTUN itu melanggar konstitusi.

Atas penolakan KPU memasukkan Irman Gusman dalam DCS DPD, tokoh nasional tersebut melakukan eksaminasi terhadap putusan pengadilan yang telah menjatuhkan vonis 4 tahun 6 bulan penjara terhadap dirinya. Eksaminasi yang dilakukannya pada 18 Juli 2018 itu kemudian bergulir menjadi diskusi ilmiah di kampus-kampus perguruan tinggi sejak 12 Desember 2018 sampai dengan 30 Januari 2019, disusul diskusi publik yang diadakan oleh Majelis Nasional KAHMI pada Februari 2019.

Hasil eksaminasi yang melibatkan puluhan guru besar dan praktisi hukum tersebut pada akhirnya mampu mengantar Irman Gusman keluar dari Lapas Sukamiskin Bandung setelah Mahkamah Agung membatalkan putusan pengadilan negeri dan mengubah pasal dakwaan suap menjadi gratifikasi sehingga hukumannya disesuaikan menjadi tiga tahun.

Dalam kasus Irman Gusman, Gayus menilai bahwa telah terjadi salah kaprah dalam memaknai putusan Mahkamah Agung yang sudah berkekuatan hukum tetap, yaitu putuan PK No. 97/Pid.Sus/2019.

Oleh karena itu, Prof. Gayus berpendapat bahwa sangatlah tidak adil apabila perkara Irman Gusman ini dibiarkan berlarut-larut, padahal putusan PTUN itu bersifat final and binding. “Karena justice delyed is justice denied. Dan kalau negara mengabaikan keadilan bagi warganya, itu sama saja dengan membunuh anak kandungnya sendiri,” tegas Prof. Gayus.

Diakui Prof Gayus, eksaminasi di Indonesia belum dapat dijadikan alat bukti atau referensi putusan pengadilan, karena eksaminasi belum menjadi kebutuhan penegakan hukum. Karena itu satu-satunya jalan adalah pembentukan Lembaga Eksaminasi Nasional. Dengan adanya Lembaga Eksaminasi Nasional maka hasil eksaminasi dapat diteruskan menjadi putusan Mahkamah Agung yang berkekuatan hukum tetap. “Tujuannya adalah menegakkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum,” tegasnya.

Dalam kesempatan tersebut Prof Gayus bercerita bahwa pada zaman kaisar Romawi, Marcus Tillius Cicero ditangkap berulang-ulang. Pasalnya kaisar Romawi membuat undang-undang ketika ia baru mau menangkap orang.

Padahal setiap putusan pengadilan adalah hukum; dan ada asas hukum yang berlaku secara universal yaitu asas Moneat lex priusquam feriat. Artinya, aturan hukum harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya.

“Itulah sebabnya maka kemudian dicetuskan asas hukum bahwa tiada hukuman tanpa kesalahan dan seseorang tak dapat dihukum kecuali atas kekuatan aturan perundang-undangan yang telah ada sebelum kesalahan terebut dilakukan. Ini yang kemudian masuk dalam Pasal 1 KUHP tentang asas legalitas,” tutup Prof. Gayus. (*/fs)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *