oleh

Istri Hakim PN Medan Jamaluddin Terancam Hukuman Mati

POSKOTA.CO – Teka-teki tewasnya Hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan Jamaluddin terungkap sudah. Polisi akhirnya menetapkan Ny Zuraida Hanum,41, istri korban sebagai tersangka karena diduga sebagai ‘otaknya’. Begitu juga JP dan R yang diduga sebagai eksekutornya.

Pengamat hukum Stefanus Gunawan SH, MHum menilai, perbuatan ini sungguh keji. Advokat Ibu Kota ini tidak menyangka kalau ternyata pembunuh hakim itu istrinya sendiri dengan menyuruh dua orang sebagaimana yang diungkap polisi setempat.

“Saya sungguh prihatin, kok tega-teganya seorang istri sampai menghabisi suaminya sendiri, apalagi dengan menyuruh orang lain dengan memberikan sejumlah imbalan,” ucap advokat yang juga menjabat sebagai ketua Komite Bidang Pendidikan dan Pengembangan Profesi Advokat Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) kubu Juniver Girsang ini.

Stefanus sependapat dengan pernyataan Kapolda Sumut Irjen Martuani Sormin yang menetapkan semua tersangka dengan Pasal 340 subsider Pasal 338 jo Pasal 55 Ayat ke (1), 1e, 2e, KUHPidana, Pasal 340 dengan ancaman pidana hukuman mati atau penjara seumur hidup.

“Selain pasal itu, para tersangka ini bisa juga dijerat dengan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT) atau juga Pasal 338 ancaman hukuman 15 tahun penjara. Tapi kalau terbukti itu direncanakan nggak ada ampun lagi dengan hukum mati atau minimal seumur hidup,” katanya, Senin (13/1/2020).

Istri hakim, Zuraida Hanum (tengah), yang mendalangi pembunuhan.

Kapolda Sumut Martuani sebelumnya menjelaskan, pihaknya menetapkan pasal pembunuhan berencana karena para pelaku memiliki alat bukti. Dia menjelaskan, hasil dari labfor dan cyber crime, menguatkan bahwa pembunuhan ini berencana.

Menurut Stefanus yang pernah menerima penghargaan ‘The Leader Achieves In Development Award’ dari ‘Anugerah Indonesia’ dan ‘ASEAN Development Citra Award’s dari Yayasan Gema Karya’ ini apa pun alasannya, sebenarnya bukan jalan keluar menghabisi pasangan dalam rumah tangga hanya untuk menyelsaikan persoalan rumah tangga.

“Apalagi hal ini hanya pesoalan perselingkuhan. Masih banyak cara lain untuk menyelesaikannya, karena membunuh istri atau suami merupakan perbuatan yang keji dan tidak berperikemanusian. Apa tidak kasihan dengan anak-anak mereka yang masih membutuhkan perlindungan orang tua?” ucapnya.

Stefanus Gunawan SH, Mhum

Sebelumnya ketika korban ditemukan tak bernyawa di jok belakang mobil Toyota Land Cruiser Prado nopol BK 77 HD sekitar pukul 13.30 WIB, pada Jumat (29/11/2019) di areal perkebunan sawit, Dusun II, Suka Rame, Kutalimbaru, Deli Serdang, Sumut, penyidik sudah menduga kalau yang melakukan hal ini adalah ‘orang dekat’ korban.

Stefanus juga sempat mempempertanyakan mengapa hal ini bisa terjadi. Dia tidak menyangka kalau perbuatan itu dilakukan atas suruhan istrinya sendiri.

“Menang profesi hakim itu memiliki risiko keamanan dan keselamatan yang cukup tinggi. Nah, sangat disayangkan di negeri ini, bila seorang hakim tidak memiliki pengawalan melekat dari aparat. Padahal, soal pengamanan dan keselamatan hakim tersebut telah diatur dalam Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,” ucapnya.

Menurutnya, risiko tinggi yang dihadapi hakim ini karena mereka banyak menangani perkara-perkara kejahatan luar biasa seperti terorisme dan peredaran narkoba dan lain-lain.

“Tentunya dengan risiko tersebut, perlu adanya standar pengamanan pada hakim dalam menjalankan tugas dan jabatannya. Sebenarnya hal ini sudah tertuang di dalam undang-undang, namun dalam praktiknya tidak pernah,” tegasnya.

“Jadi sangat disayangkan dengan belum adanya jaminan keamanan dan keselamatanya, ya, selama ini perlindungannya, hakim hanya bisa berdoa saja. Berbeda dengan negara lain yang memberi fasilitas berupa ajudan yang dipersenjatai,” katanya sambil mencontohkan, kalau seperti di Amerika, setiap hakim menerima tunjangan pengamanan dan sehari-hari dikawal sedikitnya dua personel aparat kepolisian.

Yang jelas, tambahnya, standar pengamanan hakim di Indonesia dalam menjalankan tugas dan jabatannya sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi sayangnya implementasinya tidak pernah dijalankan.

Stefanus sependapat dengan IKAHI yang sebagai wadah organisasi telah lama mengusulkan agar dibuat undang-undang tentang penghinaan terhadap lembaga peradilan atau contempt of court yang termasuk di dalamnya soal perlindungan hakim secara fisik, baik lingkup pengadilan maupun di luar pengadilan. Namun sampai saat ini belum terealisasi.

“Sebetulnya, dalam KUHP yang baru juga sudah ada pasal yang mengatur tentang hal itu. Tapi, sayangnya, KUHP yang baru itu belum diundangkan. Ya, tentunya dengan demikian belum berlaku.” ucapnya.

Oleh karenanya terkait dengan keamanan dan keselamatan, hakim diminta untuk meningkatkan kewaspadaan secara individu saja,” jelasnya. (budhi)

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *