oleh

PURNAMA PRAMBANAN ke- 71

Ada irama yang berbeda
Lebih lamban namun laras
Kesederhanaan dalam setiap wajah
Senyum dan sapa di setiap sudut
Duduk bersila dengan teh hangat

prambanan 70POSKOTA.CO – Remang-remang pagi masih menyelimuti Kota Yogya ketika Diana dan Eyang Marto naik becak menuju Suryodiningratan. Lampu-lampu jalanan masih bernyala menerangi jalanan. Namun Yogyakarta kota yang tak pernah mati. Geliat pagi sudah nampak di setiap sudut di sepanjang jalan yang dilalui.

Ada banyak angkringan yang menjual minuman hangat dan gorengan di pinggir-pinggir jalan. Sepanjang jalan malioboro hingga Kampung Wijilan entah berapa jumlah angkringan dan penjual Gudeg. Angkringan jenis ini buka tak kenal waktu. Pagi siang sore malam mereka melayani pembeli yang ingin duduk santai sambil mengibrol. Pelayan dan yang dilayani semua tersenyum dalam kesederhanaan rupa.

Tukang becak yang mengais rejeki sejak pagi mendominasi tempat duduk penjual angkringan. Menghangatkan tubuh dengan segelas teh atau kopi hangat. Banyak pula tukang becak yang sengaja tidur di becak semalaman. Meringkuk di dalam becak hanya dengan selembar kain sarung. Berharap ada penumpang yang membangunkan untuk menaiki becaknya dalam lelap tidurnya.

Kéré atau gelandangan yang masih bergelimpangan tertidur di emper-emper toko juga menjadi pemandangan khas pagi. Orang gila yang tak jelas asal-usulnya juga masih asyik dalam mimpinya. Ayam berkokok satu dua masih terdengar mengiring geliat pagi.

” Pak nanti kalau sampai Wijilan tolong berhenti sebentar nggih. Saya mau beli gudeg sebentar untuk lauk hari ini”
” Nggih dén ngantén, sehabis plengkung wijilan nanti saya berhenti”
Tukang becak menanyakan gudeg mana yang akan di beli oleh Eyang Marto, berjajar penjual gudeg di sepanjang jalan Wijilan. Semua laku dan semua laris, rasa gudeg juga nyaris tak ada beda di lidah. Kombinasi gudeg yang manis, ayam yang gurih serta sambal kreceknya yang pedas membuat Diana mendadak lapar.

Ada desir dan detak jantung yang lebih cepat berdetak. Jalanan-jalanan yang dilalui Diana bersama Mas Bayu mau tidak mau hadir dalam benak lalu menari-nari meliuk dan terhenti di sebuah sudut. Rasanya hangat pelukan dan bau tubuh Mas Bayu tercium kembali di ujung hidung Diana yang mbangir (mancung).

” Rumah Eyang Diana gang yang ini belok kiri dan kelihatan dari jalan ini Yang”
” ohh di Gamelan Lor ya woek?”
” iya Yang, Eyang Praja hanya tinggal berdua dengan adiknya mama”

Dag dig dug berdegup lebih kencang ketika becak sudah mendekati Plengkung Gading. Dan Diana menoleh ke kanan ketika becak yang ia tumpangi melewati rumah Mas Bayu. Pagarnya masih tertutup rapat, rumah kuno itu masih diam dalam kaku dan sepi. Diana tidak berhasil menepis, Diana gagal menghalau kenangan indah yang sejenak pernah singgah di dalam hatinya. Ia tak bisa berbuat apa-apa dan membiarkan sebentuk kenangan itu menari indah bersama dinginnya semilir angin pagi.

” Nah kita sudah sampai di rumah Eyang cah ayu. Masuklah sebentar dan pak becak biar menunggu sebentar”
” Wah dalem ( rumah) eyang enak sekali, besar dan sangat asri. Diana langsung saja ya Yang, takutnya Eyang Diana nungguin dan kuatir kalau jam segini belum sampai”

Ketika Eyang Marto menawarkan Diana mampir di rumahnya, disitulah Diana sedikit tersentak dan tarian bayangan dan bau tubuh Mas Bayu bisa terhenti. Namun ketika ia harus balik naik becak senditian ke arah Gamelan?
Sanggupkah Diana ingkar?
Sanggupkah Diana melupa?
Sagggupkah Dia tidak menolehkan lehernya ke rumah Mas Bayu?

(Bersambung)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *