oleh

GIGITAN SUAREZ DAN TANDUKAN ZIDANE DUA HAL YANG BERBEDA Oleh : dann julian

ZIDANEPOSKOTA.CO – Kasus gigitan Luiz Suarez terhadap bek Italia masih banyak dijadikan topik bahasan oleh media massa kita, terutama televisi. Entahlah, apa karena kehabisan topik, atau redakturnya kurang kreatif, banyak yang menyamakan tindakan Suarez itu dengan tandukan yang dilakukan Zinedine Zidane. Bahkan di televisi kita ada yang memberi topik tersebut dengan label ‘Perbuatan-perbuatan tolol yang dilakukan pemain di lapangan bola’.

Padahal dua insiden itu sangat berbeda. Apa yang dilakukan Suarez semata-mata karena tak tahan dan jengkel diawasi pemain lawan. Tercatat Suarez sudah ‘hattrick’ menggigit lawannya. Sementara tandukan Zidane kepada Marco Materazzi hanya sekali itu saja, dengan sebab yang berbeda, yang tak ada hubungannya dengan aturan permainan sepakbola di lapangan.

Sewaktu Suarez memperkuat Ajax Amsterdam dalam duel lanjutan Eredivisie Belanda tahun 2010, ia menggigit Otman Bakkal, gelandang PSV. Tahun 2013, ketika Suarez membela Liverpool ia menggigit gelandang Chelsea, Brainslav Ivanovic. Di Piala Dunia 2014 Suarez menggigit Giorgio Chiellini.

Apakah gigitan Suarez itu yang terakhir? Kalau tidak, Suarez yang dikabarkan akan membela Real Madrid, bisa saja menggigit salah satu pemain belakang La Liga. Bisa saja yang kena gigit Gerard Piqué, pemain belakang Barcelona yang nampaknya bakal menjaga Suarez jika dua club yang saling bermusuhan ini bertemu.

Apa yang dilakukan Suarez karena jengkel lantaran ia terus ditempel atau dijaga lawan sehingga sulit menemukan ruang gerak. Dan itu lebih karena dinamika permainan. Sementara tandukan Zidane tidak demikian, justru Materazzi yang merasa sulit menjaga Zidane.

Beberapa saat sebelum insiden tandukan itu, Materazzi mengucapkan kata-kata rasis kepada Zidane. Ia menyebut Zidane ‘teroris’ (lantaran Zidane moslem) dan menyebut ‘adik Zidane perempuan pelacur’.

Dari kacamata Zidane, tandukan itu jelas tidak berangkat dari dinamika permainan, tapi ada hal lain diluar permainan yang sensitif, yaitu masalah rasis dan agama. Namun dari sudut Materazzi, ia mengucapkan kata-kata itu disebabkan oleh dinamikan permainan. Materazzi jengkel seperti Suarez karena tak dapat menjalankan fungsi sebagai pemain dengan baik.

Sebagai pemain belakang, Materazzi kesal karena kawalahan menjaga Zidane. Bahkan sebelum insiden tandukan itu Zidane sempat lepas dari pengawasannya, dan nyaris membobol gawang Italia dengan sundulannya. Beruntung bisa ditepis keluar oleh kiper Italia.

Tak lama kemudian, terucaplah kata-kata kotor dan rasis itu dari mulut Materazzi. Kenapa ucapan Materazzi itu bisa disebut rasis? Pengertian Rasisme menurut Wikipedia adalah sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia dan menentukan pencapaian budaya atau individu, bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya.

Sementara menurut Kamus Besar bahasa Indonesia rasisme diartikan sebagai paham atau golongan yang menerapkan penggolongan atau pembedaan ciri-ciri fisik (warna kulit, misalnya). Rasisme juga bisa diartikan sebagai paham diskriminasi suku, agama, ras ( SARA ), golongan ataupun ciri-ciri fisik umum untuk tujuan tertentu (biologis).

Hanya saja saat itu FIFA tak terlalu mengarahkan kepada tuduhan rasis kepada Materazzi. Bahkan saat itu FIFA cukup lambat mengambil keputusan terhadap insiden itu. Alasannya masih harus mendatangkan bukti dari ahli pembaca gerak bibir, dan lain sebagainya.

Meskipun akhirnya FIFA memutuskan menjatuhkan hukuman kepada dua pemain itu, tapi terasa kurang fair. Zidane mendapat sanksi larangan bermain selama tiga pertandingan internasional dan denda sebesar 7.500 franc Swiss (6.015 dolar AS atau kira-kira Rp 55 juta).

Namun karena Zidane kemudian memutuskan pensiun dari lapangan hijau, maka sanksinya berbentuk akademis dan FIFA setuju dengan janji Zidane yang akan melakukan kerja sosial bersama anak-anak dan remaja selama tiga hari sebagai pengganti sanksi tersebut.

Sementara kepada Materazzi FIFA menjatuhkan hukuman larangan tampil sebanyak dua pertandingan. Selain itu palang pintu Italia itu harus membayar denda sebesar 5.000 franc Swiss (4.010 dolar AS atau kira-kira hampir Rp 37 juta).

Skandal rasis dalam sepakbola cukup banyak, dan selama ini FIFA dengan setengah hati meredam dengan slogan, ‘say no to racism’. Di Seria A, Italia, Suporter klub Lazio terkenal sebagai klub paling rasis. Tak mengherankan, klub ini dulunya adalah klub kesayangan Benito Mussolini, sang diktator. Bahkan club ini jarang menggunakan jasa pemain kulit hitam.

Di Perancis, tindakan rasisme dibuat oleh politisi ultra kanan, Jean Marie Le Pen terhadap para pemain Perancis yang umumnya imigran. Jean Marie Le Pen pernah mengatakan Perancis ‘tidak layak dihuni oleh orang-orang imigran’, meski para pemain hitam itu pernah membawa Perancis juara Dunia dan Eropa.

D La Liga, serangan rasisme pernah dirasakan Samuel Eto’o. Ia berkali-kali menjadi korban tindakan rasisme. Eto’o sering diejek penonton dengan mengeluarkan suara mirip suara monyet. Masih di La Liga, belum lama ini Dani Alves yang main di Barcelona pernah dilempar pisang, yang menjadi indikasi makanan untuk monyet.

Di liga Inggris, ‘Si Rajua Gigit’ Luiz Suarez pernah memanggil ‘negrito’ Patrick Evra. Dan oleh FA ‘negrito’ ditafsirkan rasis.

Harus bisa dibedakan mana pelanggaran berat yang disebabkan dinamika permainan dan rasisme. Tindakan Zidane tak bisa disamakan dengan gigitan Luis Suarez. Karena Zidane diserang secara rasis, dimana didalamnya melibatkan pelecehan terhadap agama Islam.

Sampai sekarang FIFA secara resmi tak pernah mengeluarkan pernyataan resmi bahwa insiden Zidane vs Materazzi itu insiden rasis. Kalau Zidane dikenai kartu merah memang sah, karena melanggar peraturan permainan, tapi kalau ia tetap didenda FIFA, berarti FIFA belum konsisten menerapkan slogan ‘say no to racism’. Karena sebenarnya disini Zidane adalah korban.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *