oleh

Biaya Pembuatan SIM di Satpas Mencekik Leher

Polisi tengah memberi arahan dan brosur tertib lalu lintas kepada penggendara di Kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Senin (6/5/2013). Aksi ini untuk mensosialisasi Operasi Simpatik Jaya yang digelar Polda Metro Jaya pada 7 - 26 Mei 2013 atau selama 21 hari. Warta Kota/angga bhagya nugrahaPOSKOTA.CO – Indonesia Traffic Watch (ITW) mendesak Kapolri Jenderal Sutarman dan Kapolda Metro Jaya Irjen Unggung Cahyono mengawasi dan menindak tegas pelaku praktik pungutan liar (Pungli) yang terus marak di Satpas Surat Izin Mengemudi (SIM) Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat.

Akibat tindakan tak terpuji itu, biaya yang dikeluarkan masyarakat pemohon SIM menjadi mahal hingga mencekik leher. “ Kami temukan bukti biaya yang dikeluarkan pemohon untuk pembuatan SIM A sebesar Rp 700 ribu dan SIM C Rp 600 ribu,” kata Ketua Presidium ITW, Edison Siahaan, Senin (20/10).

Padahal, dia melanjutkan, berdasarkan peraturan pemerintah (PP) No 50 tahun 2010 tentang tarif jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berlaku di kepolisian, biaya untuk pembuatan SIM A hanya Rp 120.000 dan SIM C Rp 100.000.

Menurutnya, dari hasil investigasi, pihaknya menemukan adanya tindakan yang mengabaikan persyaratan yang sebenarnya adalah bagian dari prosedure penerbitan SIM.

Praktik yang menyalahi aturan tersebut sebagai konpensasi dari harga SIM yang cukup mahal dan mencekik leher tersebut. Pemohon tidak lagi melewati ujian praktik sebagai persyaratan untuk menilai kemampuan dan keterampilan mengemudi dan berlalu lintas di jalan raya.

ITW menemukan adanya kerjasama para calo yang masih marak dikawasan Satpas dengan oknum petugas. Bahkan, sejumlah calo leluasa masuk dan keluar gedung Satpas untuk mengantar dan mempertemukan calon pemohon SIM dengan petugas.

Mereka juga ada yang mengirimkan data-data pemohon SIM kepada petugas lewat Short Massage Service (SMS) atau BBM. Selanjutnya, pemohon SIM disuruh masuk ke dalam gedung dan menunggu ditempat yang telah ditentukan, tidak lama kemudian oknum petugas datang menemuinya.

Edison mengingatkan, seharusnya penanggungjawab penyelenggara Satpas SIM, memahami bahwa SIM itu adalah tanda bukti legitimasi kompentensi yang diberikan oleh negara kepada seseorang yang telah lulus ujian pengetahuan, kemampuan dan keterampilan mengemudi kendaraan di jalan raya.

“Kalau proses pembuatan SIM model Satpas di Daan Mogot semua bisa dibayar dengan uang, tentu sudah bisa dipastikan kualitas pengemudi pasti sangat buruk,” tegas Edison.

ITW menilai, praktik pungli dengan kompensasi pembuatan SIM tidak melalui prosedure di Satpas Daan Mogot, bertolak belakang dengan jargon “jadilah pelopor keselamatan lalu lintas” yang dikumandangkan Korps Lalu Lintas Polri.

Sebab, tidak mungkin lahir sikap kepeloporan dari seseorang yang mengabaikan persyaratan, apalagi dia jadi korban pemerasan saat mendapatkan SIM sebagai legitimasi kompentensi yang diberikan negara.

Untuk itu, Edison mendesak Kapolri dan Kapolda segera menindak dan mengganti pejabat berwenang dengan sosok yang lebih profesional dan memahami pentingnya keselamatan lalu lintas. Sehingga terwujud Keamanan, Keselamatan, Ketertiban dan Kelancaran (Kamseltibcar) Lalu Lintas di negeri ini.

Menurut Edison, langkah penindakan terhadap setiap oknum yang bermain dalam proses pembuatan SIM, adalah penting. Karena terkait dengan kesiapan Polri memberikan pelayanan terbaik dan optimal terhadap masyarakat.

Apalagi, dalam rancangan APBN 2015 telah disepakati kenaikan PNBP dari Polri. Sehingga pemerintah akan menaikkan tarif pembuatan SIM menjadi Rp 300.000. Maka, Polri harus berupaya meningkatkan pelayanan, bukan justru meningkatkan pendapatan pribadi dari praktik pungli.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *