POSKOTA.CO – Nazaruddin, yang pernah jadi buronan jauh sebelumnya sempat menyampaikan kepada media mengenai dugaan mark up Rp 2,5 triliun proyek e-KTP. Banyak para politisi yang disebut Nazar terlibat dalam kasus tersebut, termasuk Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi.
Akankah ucapan itu akan terbukti setelah KPK memulai menyatakan S sebagai tersangka. Masih teringat ketika nama Mendagri namanya disebut Nazarudin, ia pun sewot dan mengadukan ke Polda Metro. Sejumlah pejabat di Kemendagri kini mulai tak bisa tidur.
KPK menetapkan pejabat Kementerian Dalam Negeri dalam kasus dugaan korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara elektronik (E-KTP) tahun anggaran 2011-2012 pada Kementerian Dalam Negeri.
“Setelah dilakukann gelar perkara terkait proses penyelidikan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara elektronik atau E-KTP maka didapat dua alat bukti yang cukup yang kemudian disimpulkan telah ada dugaan tindak pidana korupsi dalam kaitan pelaksanaan pengadaan E-KTP tersebut, maka ditetapkan S selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kemendagri sebagai tersangka,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Selasa.
S yang dimaksud adalah Sugiharto yaitu Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri.
“Pagu anggaran pengadaan paket tersebut adalah sebesar Rp6 triliun, namun nilai kerugian negaranya masih dihitung,” tambah Johan. KPK menduga Sugiharto sebagai PPK melakukan penyalahgunaan kewenangan.
“Yang bersangkutan disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) subsiderpasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 pasal 64 ayat (1) KUHP,” tutur Johan.
Pasal tersebut mengatur mengenai setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, maupun setiap orang yang penyalahgunaan kewenangan karena jabatan yang dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara.
Ancaman pelaku yang terbukti melanggar pasal tersebut adalah pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
“Dalam proses penyidikan akan ada pengembangan sejauh mana pihak-pihak lain terlibat, sejauh mana penyidik menemukan dua alat bukti yang cukup,” jelas Johan.
Terkait kasus E-KTP, mantan bendahara umum Partai Demokrat M Nazaruddin pernah mengadukan dugaan korupsi dalam proyek E-KTP kepada KPK, antara lain mengenai aliran dananya yang disebut mengalir ke sejumlah anggota DPR.
Mereka adalah bendahara umum Partai Golkar Setya Novanto yang menerima RP300 miliar, Ketua dan Wakil Ketua Komisi II DPR dan anggota sebesar 2,5 persen dari anggaran, Ketua dan Wakil Ketua Banggar 2,5 persen dari anggaran hingga Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mendapat 2 juta dolar AS melalui adiknya Azmi Aulia Dahlan.
Namun, Johan menyatakan bahwa kasus dugaan korupsi E-KTP ini bukan hanya berasal dari informasi yang diberikan Nazaruddin.
“Laporan kasus ini masuk ke direktorat Pengaduan Masyarakat kalau tidak salah 2012, dan pengaduan Nazaruddin bukan satu-satunya informasi dalam kasus ini,” jelas Johan.
Pemenang pengadaan E-KTP adalah konsorsium Percetakan Negara RI (PNRI) yang terdiri atas Perum PNRI, PT Sucofindo (Persero), PT LEN Industri (Persero), PT Quadra Solution dan PT Sandipala Arthaput yang mengelola dana APBN senilai Rp6 triliun tahun anggaran 2011 dan 2012.
Program E-KTP ini secara nasional dilaksanakan dalam dua tahap yakni pada 2011 dan 2012. Tahap pertama dilaksanakan di 197 kabupaten/kota dengan targer 67 juta penduduk telah memiliki KTP elektronik.
Komentar