oleh

Haram Memakan Bangkai, Darah, dan, Daging Babi

Oleh : Karsidi Diningrat

ALLAH subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Diharamkan bagimu (memakan), bangkai, darah, daging babi dan daging hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan anak panah, (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridha Islam sebagai agamamu. Tetapi barangsiapa terpaksa karena lapar bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Ma’idah, [5]:3).

Dalam firman-Nya yang disebutkan, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya. Kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi, karena semua itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa dalam keadaan terpaksa, sedangkan dia tidak menginginkannya, dan tidak pula melampaui batas, sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-An’am [6]: 145).

Oleh karena itu, siapapun yang dengan sengaja memakannya ketika tidak dalam keadaan darurat, ia termasuk orang-orang yang berdosa atau durhaka. Oleh karena itu tidak habis pikir bila ada seorang muslim memakan daging babi dengan sengaja. Mungkin, orang yang memakannya ialah orang-orang zindik yang keluar dari Islam. Hal ini karena, di dalam jiwa orang-orang yang beriman telah tertanam keyakinan bahwa memakan daging babi lebih besar dosanya daripada meminum khamar.

Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari barang yang haram. Neraka lebih layak baginya.” HR. Ahmad). Kaum muslimin pun telah bersepakat akan haramnya permainan dadu, sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa yang bermain dadu, seakan-akan ia melumuri tangannya dengan daging babi dan darahnya.” (HR. Muslim).

Dosa Menyentuh Daging Babi

Tidak diragukan lagi bahwa dosa seorang muslim yang sekadar mencelupkan tangannya ke dalam daging babi dan darahnya lebih besar dari bermain dadu. Lantas bagaimana dengan orang yang memakan dagingnya dan meminum darahnya? Tentunya dosanya lebih besar.

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata bahwa najis terbagi menjadi dua macam, yaitu najis zatnya dan najis cara mendapatkannya. Najis yang termasuk dalam kategori zatnya adalah bangkai, babi, khamer, dan sejenisnya. Hal ini sebagaimana firman Allah di atas (QS. Al-An’am [6]: 145). Ayat ini menjelaskan makanan yang diharamkan kepada seluruh manusia berdasarkan zatnya. Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairy mengatakan bahwa, “Daging babi beserta seluruh anggota tubuhnya, darahnya, lemaknya dan lain sebagainya adalah haram untuk dimakan.” Sedangkan Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni mengatakan disebutkannya daging babi untuk menerangkan bahwa ia haram bi’ainihi (memang haram) meskipun telah disembelih dengan cara syar’i.”

Dalam ‘Ensiklopedi Ijmak’ disebutkan bahwa, “Kaum muslimin sepakat bahwa makan daging babi, lemak, minyak, tulang rawan, sumsum, urat dan semua bagian tubuh babi adalah haram, baik babi jantan atau betina, besar atau kecil, semua sama.” Maka jelas keharaman babi tidak dipisahkan dengan apakah babi hutan atau liar dan babi peliharaan atau diternak, semuanya haram karena berdasarkan zatnya.”

Bahkan dalam pandangan Ahli Kitab pun sama mengharamkan makan babi, seperti disebutkan, “Tetapi inilah yang tidak boleh kamu makan dari antara yang memamah biak atau dari antara yang berbelah dan bersela kukunya: unta, kelinci hutan dan marmot, karena semuanya itu memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah; haram semua itu bagimu.  Juga babi hutan, karena memang berkuku belah, tetapi tidak memamah biak; haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan janganlah kamu terkena bangkainya.”  (Ulangan, 14:8). [Al-Kitab: Perjanjian Lama, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1976, hal. 229]. “Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak; haram itu bagimu.” (Imamat, 11:7).  Ibid, hal. 133. Maka dari penjelasan Ahli Kitab ini jelaslah bahwa semua jenis babi adalah haram karena berkuku belah.

Selajutnya Syaikh mengatakan “adapun yang diharamkan berdasarkan cara mendapatkannya adalah makanan yang didapat dengan berbuat curang, riba, berdusta, atau cara-cara kotor lainnya. Harta yang didapat dengan cara demikian diharamkan atas orang yang menghasilkannya dan tidak diharamkan atas orang yang mendapatkannya dari orang tersebut dengan cara yang diperbolehkan.” “Landasan dari pernyataan ini adalah contoh dari Nabi ketika bermuamalah dengan orang Yahudi, padahal mereka orang-orang yang suka memakan harta yang haram dan memakan riba. Hal ini menunjukkan tidak haramnya harta tersebut bagi orang yang tidak menghasilkannya secara langsung.”

Pengertian ‘bangkai’ secara bahasa ialah binatang yang mati secara wajar—bukan karena tangan manusia. HAMKA mengatakan ‘Bangkai’ yaitu segala binatang yang mati karena bukan disembelih, misalnya karena sakit atau karena sangat payah, meskipun binatang-binatang ternak sendiri.”

Adapun secara istilah syar’i adalah hewan yang mati tanpa disembelih secara syar’i. Contohnya adalah hewan yang mati secara alami atau disembelih oleh orang yang sembelihannya haram untuk dimakan (seperti kaum Majusi dan orang yang Murtad).

“Dan darah,” artinya bahwa Allah mengharamkan kita memakan darah. Yang dimaksud darah dalam kontek ini ialah darah yang mengalir. Bukan darah yang menempel atau tersisa pada daging, pembuluh darah, liver, hati, dan jantung. Az-Zamakhsyari berkata, “Dahulu pada masa Jahiliyah mereka memakan hal-hal yang diharamkan; hewan-hewan yang mati dengan sendirinya, darah yang mengalir (kebiasaan mereka jika seorang lapar atau haus lalu mengambil sesuatu yang tajam dan ditusukkan kepada untanya atau binatang lainnya, lalu dikumpulkan dan diminumnya).” “Darah, segala sesuatu darah, haramlah dimakan atau diminum, termasuk darah binatang yang disembelih lalu ditampung.”

Tetapi meskipun bangkai dan darah haram dimakan, atau diminum, ada dua macam bangkai dan ada dua macam darah yang halal. HAMKA mengatakan bahwa ‘berkata Imam Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi’I, “Telah mengatakan kepada kami Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dia menerima dari ayahnya, dan ayahnya menerima dari Ibnu Umar (Marfu’), berkata Rasulullah Saw, “Dihalalkan kepada kita dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai, ialah bangkai ikan dan belalang. Dan dua darah, ialah hati dan limpa.”

Allah mengharamkan daging babi. Babi ialah hewan yang dikenal najis karena babi terbiasa makan kotoran. Sementara itu kaum muslimin sepakat bahwa hukum babi dalam kenajisannya sama dengan hukum anjing.

Hewan yang Haram untuk Dimakan

Dari Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengharamkan keledai jinak, daging bighal, hewan buas yang bertaring, dan burung yang berkuku tajam pada peristiwa Khaibar.” (HR. At-Tirmidzi).

Pada asalnya semua makanan adalah halal, karena Allah menghalalkan bagi hamba-Nya apa yang tumbuh di atas bumi, baik berupa tanaman, biji-bijian, buah-buahan yang beragam. Selain itu Allah menghalalkan binatang laut baik yang mati atau yang hidup. Sementara hewan darat, Allah menghalalkan seluruh yang baik, seperti hewan ternak yang delapan dan yang lainnya, demikian juga hewan buruan yang liar seperti burung atau yang lainnya.

Allah mengharamkannya yang keji dan menjadikannya sebagai batas yang jelas. Selain itu Allah mengharamkan beberapa hewan, seperti yang disebutkan dalam hadits ini, seperti keledai jinak dan bighal. Selanjutnya beliau bersabda, “karena ia kotor.” Sementara keledai liar hukumnya halal.

Allah juga mengharamkan binatang buas yang bertaring, serigala, singa, harimau, musang, anjing, dan sejenisnya. Demikian pula mengharamkan burung yang berkuku tajam, seperti elang dan rajawali, atau burung yang dilarang untuk dibunuh seperti ash-Shurad (adalah jenis burung yang tubuhnya lebih besar sedikit dari burung pipit, kepalanya besar dan badannya bintik-bintik), atau yang diperintahkan untuk dibunuh seperti burung gagak dan sejenisnya, karena hukumnya haram, atau hewan yang keji seperti ular, kalajengking, tikus, dan serangga, demikian juga hewan yang mati, atau hewan yang tidak disembelih secara syar’i.

Dalam hal ini Rasulullah Saw. bersabda, “Ada lima jenis hewan yang dianggap fasik (jahat); dan harus dibunuh, baik di tanah suci maupun di selainnya yaitu burung gagak, burung elang, tikus, kalajengking, dan anjing gila.” (HR. Syaikhan dari Ibnu Umar r.a.).

Dari penjelasan (Hadits Riwayat Tirmidzi di atas) bahwa hewan yang diharamkan untuk di makan adalah: a). Keledai jinak, berdasarkan hadist Nabi, karena Jabir berkata, “Pada Perang Khaibar, Rasulullah Saw melarang (kami) memakan daging keledai jinak dan mengizinkan memakan daging kuda.” (HR. Imam Ahmad). b) Bighal (peranakan kuda dan keledai) karena diqiyaskan kepada keledai jinak. Jadi bighal termasuk dalam hukum makanan yang haram dimakan, karena Allah Swt. berfirman, “Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bighal, dan keledai agar mereka menungganginya.” (QS. An-Nahl [16]: 8).

Syaikh Al-Jazairy menjelaskan dalam menafsirkan ayat ini. Ayat di atas adalah dalil larangan memakan bighal. Jika ada yang berkata, “Bagaimana kuda boleh di makan, padahal dalil larangan memakan bighal dan kuda itu sama?” Jawabannya, karena kuda diperbolehkan dimakan berdasarkan nash yaitu izin dari Rasulullah Saw untuk dimakannya seperti tercantum dalam hadits Jabir.”

  1. c) semua binatang buas yang mempunyai taring seperti singa, harimau, beruang, macan kumbang, gajah, serigala, anjing, musang, tupai, dan hewan-hewan pemangsa lainnya. d) semua burung yang mempunyai cakar, misalnya burung elang, burung rajawali, dan burung-burung lainnya yang mempunyai cakar untuk berburu.”

Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2]: 173). Wallahu a’lam bish-shawwab. (**)

*Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Bandung.

*Wakil Ketua Majlis Pendidikan PB Al-Washliyah.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *