oleh

Misteri ‘Black Dollar’

DI Indonesia, ‘black dollar’ boleh dibilang sebuah fenomena ‘gunung es’. Banyak kasus, sedikit yang terendus. Apa, siapa, bagaimana, dan mengapa ‘black dollar’, hingga kini masih diselimuti misteri.

Diberi nama ‘black dollar’ sebab wujudnya memang berupa potongan kertas warna hitam seukuran uang dolar AS. Sepintas sih tidak ada harganya. Cuman kertas. Tetapi melalui proses kimia, kertas hitam itu berubah menjadi lembaran mata uang dolar AS pecahan 100 dolar!

Saya menyaksikan proses kimiawi mendolarkan kertas hitam tersebut pada 10 tahun lalu. Beruntung pula saya diperbolehkan merekam pakai handphone. Di video rekaman terlihat cara manual mencuci kertas hitam. Mirip mencuci film dan mencetak foto di kamar gelap masa-masa dulu sekali, sebelum digitalisasi melibas semuanya. Video yang saya lampirkan sengaja saya potong-potong. Durasinya satu jam kalau saya sajikan utuh.

***

Cerita ini berawal ketika suatu siang saya dihubungi seorang teman pengusaha yang berencana membeli ‘black dollar’ dari pria ‘asing’. Dia mengemukakan keraguannya, tapi sekaligus penasaran setelah mendapat tawaran menggoda itu. Maka dia meminta saya menemaninya untuk sama-sama menyaksikan ‘demo’ yang akan diperlihatkan oleh si penjual.

“Ini bisnis, Mas Dar. Kalau memang bener dan berhasil, nanti Mas Dar saya ajak ke showroom mobil, silakan tunjuk mobil yang diinginkan, saya yang bayar,” kata teman ini, bersemangat. Wiiih …

Kami bertemu dengan si penjual ’black dollar’ di sebuah rumah megah berpagar tinggi di kawasan Jakarta Selatan. Rumah yang sepi, tanpa penghuni. Hanya ada seorang penjaga yang mengantar kami menuju lantai dua. Kami disambut pria asing. Tinggi besar dia, berkulit legam, halus tutur katanya, tapi pelit tersenyum. Dengan memasang wajah seserius itu, secara singkat dia menjelaskan proses yang akan dilakukan, ditingkahi sedikit cerita tentang ‘black dollar’.

Menurut pria yang mengaku beristrikan perempuan Indonesia itu, ‘black dollar’ adalah uang yang diproduksi khusus untuk distribusikan ke daerah-daerah konflik di berbagai belahan dunia. Terutama di benua Afrika. Strategi agar uang terhindar dari kemungkinan dijarah di tengah jalan dan selamat sampai tujuan. Kalaulah ada yang merampas, mereka toh tidak dapat mengolahnya. Begitu katanya.

Sambil terus berbicara, si pria asing memperlihatkan sebuah koper hitam berisi tumpukan ‘black dollar’. Dia menyebut satu koper kertas hitam itu kalo dirupiahkan nilainya setara dengan Rp5 miliar (sesuai kurs US$ saat itu). “Saya mau jual Rp2 miliar,” ujarnya datar, seraya mengambil beberapa lembar ‘black dollar’ dari dalam koper hitam tersebut.

Lembaran ‘black dollar’ yang diambil, dia taruh di atas meja. Sementara di atas meja sudah ada ember plastik putih berisi air, satu botol sabun cair, piring plastik yang dipenuhi bubuk putih, dan hair dryer (pengering rambut). Di bawah meja teronggok ember biru berisi air bersih. Agaknya barang-barang rumah tangga itu merupakan peralatan untuk memproses dolar hitam.

Sebelum demo dimulai, saya iseng nyeletuk, “Boleh saya rekam pakai handphone?” Dia tak serta merta menjawab. Dia menatap saya lekat-lekat, sebelum akhirnya mengizinkan tapi dengan syarat kamera tidak menyorot ke arah mukanya, dan tidak boleh ada suara percakapan apa pun. Saya mengangguk. Temen saya ngasih ‘jempol’.

Pria asing itu lantas mematikan sebagian lampu penerangan. Ruangan menjadi remang-remang. Dibantu seseorang, proses mencuci ‘black dollar’ itu pun dimulai dengan tahapan seperti berikut:

  • Mula-mula ember putih berisi air bersih yang sudah dicampur sabun cair, diaduk sampai mengeluarkan banyak busa.
  • Sebuah botol kecil dikeluarkan si pria asing dari saku celananya –saya menduga berisi cairan kimia– kemudian diteteskan ke dalam ember putih.
  • Beberapa lembar ‘black dollar’ dimasukkan ke ember, dibilas pelahan, lalu ditaruh di atas piring dan dilumuri bubuk putih sampai merata.
  • ‘Black dollar’ yang berbalut bubuk putih itu dimasukkan lagi ke ember, direndam beberapa saat, kemudian digelar di atas piring bekas bubuk putih. Sudah terlihat ada sebagian warna putih di bagian tepinya.
  • Lembar-lembar ‘black dollar’ di atas piring itu lalu disiram cairan dari botol kecil, dan dioles merata. Perlahan… warna hitam ‘black dollar’ memudar, memunculkan warna putih. Warna hitamnya seperti terkelupas, hingga akhirnya menjadi lembaran uang pecahan utuh 100 dolar AS bergambar Benyamin Franklin.
  • Satu persatu kertas hitam yang telah menjadi uang 100 dolar AS dibilas pakai air bersih di ember biru. Dengan hati-hati digosok berulang-ulang agar tak sobek, kemudian ditaruh di atas selembar kertas koran.
  • Terakhir, uang dolar dikeringkan pakai hair dryer. Saya menyentuh lembaran yang sudah kering, ada sisa-sisa bau seperti belerang, atau, entahlah… dan nomor seri dolar AS itu berbeda-beda. Ada yang angkanya berurutan. Gak main-main nih, batin saya.

Proses ‘ajaib’ itu memakan waktu kurang lebih satu jam. Teman saya terlihat terkagum-kagum. Secara seksama dia meneliti lembar demi lembar, sambil sesekali menengok ke arah saya, seolah minta konfirmasi. Saya sendiri masih mencerna, karena dalam benak menggayut begitu banyak pertanyaan.

Percakapan berikutnya antara teman saya dengan pria asing itu adalah ‘bisnis’. Sayang tak selancar yang diharapkan. Persoalannya ada pada, berapa lama waktu dibutuhkan kalau proses dilakukan secara manual untuk dolar hitam senilai Rp5 miliar? Adakah mesin untuk mempercepat prosesnya? Bagaimana dengan cairan kimia ‘misterius’ di botol kecil (diketahui kemudian harganya perbotol kecil Rp5 juta) dan bubuk putih itu? Berapa botol yang akan diberikan kepada pembeli? Pendek kata masih banyak masalah yang belum terang betul.

Bagi saya yang terpenting adalah keaslian dolar bergambar Benyamin Franklin itu. Jangan-jangan aspal, atau bahkan palsu?

Meski pertanyaan terpenting ini tak terucap secara eksplisit, agaknya pria asing itu membaca ekspresi kami. Utamanya keraguan saya. Oleh karenanya dia mempersilakan saya membawa beberapa lembar uang dolar hasil proses manual untuk memastikan asli tidaknya. “Tukarkan saja ke bank sekalian untuk mengecek,” tukasnya. Betul juga. Saya mengambil tiga lembar.

Sekembali dari rumah megah itu, saya mencoba menggali informasi lebih jauh tentang ‘black dollar’. Saya ‘googling’ dengan kata kunci ‘black dollar’. Ada satu ‘kasus’ di Surabaya, Jawa Timur. Namun informasinya hanya sepotong tentang penipuan menggunakan dolar hitam. Bukan soal keaslian ‘black dollar’.

Saya kontak beberapa teman, seorang pengusaha yang paham ‘dunia hitam’, pengacara senior, dan seorang perwira penyidik di kepolisian. Banyak cerita yang saya dapatkan dari mereka. Dari soal orang-orang yang memburu cairan kimia pencuci dolar hitam, belasan ibu-ibu berduit yang jadi korban di apartemen, sampai soal ada beberapa orang yang mencoba memecahkan rumus cairan kimia pelebur warha hitam ‘black dollar’. Betapa ini mengindikasikan bahwa bisnis ‘black dollar’ bukan hal baru bagi sementara orang. Pantas saja tak banyak mencuat ke permukaan. Boleh jadi ini merupakan kegiatan ‘kejahatan terorganisir’ atau bahkan dalam kendali ‘organisasi kejahatan’.

Penelusuran singkat saya itu, sudah cukuplah untuk menjadikan teman saya harus mengurungkan niatnya berbisnis ‘black dollar’. Terlalu besar risikonya. Sekalipun tiga dolar hitam yang saya bawa ternyata bisa ditukarkan di ‘money changer’ di bank milik pemerintah. Memastikan akan keaslian ‘black dollar’ tersebut.

Selang tiga hari kemudian beberapa orang tak dikenal menghubungi saya. Entah dari mana mereka dapat informasi. Mereka minta tolong untuk saya membantu menghubungkan mereka dengan penjual cairan kimia pencuci dolar hitam. Berapapun harganya akan mereka bayar. Celaka….

Sedianya peristiwa transaksi ‘black dollar’ itu akan saya ‘publish’ di media tempat saya bekerja sebagai laporan jurnalistik berkedalaman atau investigasi. Saya urungkan. Semata pertimbangan naluri. Saya juga mesti menjaga keamanan teman saya yang tengah didera gelisah saat itu. Begitu pula video hasil rekaman, saya simpan rapi di laptop. Hanya sesekali saya perlihatkan di depan kelas mahasiswa kriminologi UI sebagai bahan diskusi mata kuliah ‘News Making Criminology’ yang saya ampu. Saya minta mereka menganalisis dalam lingkup objek kajian kriminologi, baik aspek jenis, pelaku, korban, maupun reaksi sosial. Bisakah, misal, dilihat dari perspektif ‘property crime’, money laundering, terrorism?

***

Hari-hari ini, kalau kita googling, kita bisa menemukan beberapa berita di media daring kasus ‘black dollar’ di Indonesia. Terbesar pada tahun 2015, ketika Satuan Tugas Khusus TNI AL menemukan 69.000 ‘black dollar’ AS dari hasil pengembangan kasus narkotika. Tahun 2017, Polda Jakarta mengamankan seorang warga negara asing yang mengaku memiliki uang dolar senilai Rp27 milar yang tengah mencari korban. Di laman YouTube malah ada yang menawarkan mesin pencuci khusus ‘black dollar’ maupun ‘white dollar’. Namun di lain pihak ada yang menilai ‘black dollar’ adalah legal. Sah untuk transaksi secara umum. Mana yang benar?

Betapapun beruntunglah kawan saya terhindar dari kemungkinan menjadi korban. Beruntung pula saya urung pergi ke showroom mobil. Dah gitu aja …

Salam sehat. Tetap semangat!
#bagussudarmanto

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *