oleh

FGD Aliansi Kebangsaan Bahas Karakteristik Kepemimpinan yang Tepat untuk Masa Depan Bangsa

POSKOTA.CO – Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo mengingatkan mencari pemimpin yang tepat untuk masa depan menjadi tantangan yang harus dijawab oleh bangsa ini. Mengingat kondisi dan situasi serta tantangan masa depan tentu berbeda dengan kondisi dan tantangan yang dihadapi pada masa kini.

Hal itu disampaikan Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo pada FGD bertema “Mencari Model Kepemimpinan Masa Depan” yang digelar secara daring, Jumat (28/7/2023). FGD yang dimoderatori oleh anggota Tim Penasehat KSP Manuel Kaisiepo tersebut menghadirkan narasumber Pakar Kebangsaan Yudi Latief, Ketua Dewan Pakar FKPPI Letjen TNI (Pur) Kiki Syahnakri dan Pengamat Sosial Politik Fachry Ali.

“Tipologi atau karakteristik kepemimpin presiden terpilih 2024 nanti akan sangat berpengaruh besar, baik terhadap tata kelola pemerintahan dan negara, terhadap dinamika pembangunan nasional bahkan seluruh aspek kehidupan bangsa dan negara,” kata Pontjo.

Menurutnya, karakteristik kepemimpinan itu dapat dilihat dari sisi personality dalam arti luas, orientasi ”ideologis”, kecakapan tata kelola kenegaraan serta kecakapan manajerial. Selain itu juga perlu dilihat dalam konteks sosial, budaya, ekonomi serta konteks politik di mana para pemimpin tersebut berada.

Ia mengungkapkan bahwa secara teoretis dan berdasarkan pengalaman empiris di berbagai negara, tersedia banyak tipologi kepemimpinan yang bisa dijadikan sebagai referensi pembanding untuk mengkaji dan mencari bagaimana model atau corak kepemimpinan bangsa dan negara yang cocok untuk Indonesia pada masa mendatang.

Mengutip tulisan Herbert Feith, ilmuwan politik dari Australia dalam bukunya “The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia” menyebutkan bahwa  sejak awal kemerdekaan Indonesia hingga pertengahan tahun 1950-an, ada dua tipe kepemimpinan yakni tipe solidarity maker, dan tipe administrator.  Tipe solidarity maker mempunyai kemampuan menggalang massa, memainkan simbol-simbol identitas untuk menggalang solidaritas. Tipe kepemimpinan ini terwakili dalam diri Presiden Soekarno dan para politisi pemimpin partai.

Sedang tipe administrator terwakili dalam diri Mohammad Hatta dan para ekonom-teknokrat, yang memiliki kecakapan teknis dan administratif yang diperlukan dalam menjalankan tata kelola pemerintahan.

Dua tipe kepemimpinan ini lanjut Pontjo, mungkin hanya relevan untuk periode 1945 hingga akhir tahun 1950-an, sehingga mungkin juga sudah tidak relevan untuk konteks masa kini maupun untuk masa depan.

Tipologi atau karakteristik kepemimpinan era orde lama ini berubah total pada masa kekuasaan Orde Baru, 1966-1998. Selama 30 tahun Orde Baru, kecuali Soeharto, yang dominan adalah tipe kepemimpinan teknokratis, yang dalam batas tertentu sesuai dengan kategori Feith tentang “administrator”. Berbeda dengan corak pemimpin era sebelumnya yang didominasi para politisi- cendekiawan, maka pada Orde Baru pemimpin bukan politisi  melainkan para ekonom teknokrat dan professional.

Pasca Orde Baru yang ditandai sebagai era reformasi, jelas Ponjo, muncul tipologi kepemimpinan nasional model baru yang sering dinamakan bercorak transaksional dan transformasional. Partai politik kembali menjadi sumber kaderisasi dan rekrutmen kepemimpinan nasional.

Pontjo mengingatkan mencari pemimpin yang tepat untuk masa depan menjadi tantangan yang harus dijawab oleh bangsa ini. Sejumlah negara maju bahkan sudah melembagakan antisipasi mereka terhadap masa depan. Pelembagaan antisipasi terhadap masa depan dilakukan mengingat demikian pesatnya percepatan perubahan saat ini, sebagaimana bisa dilihat dalam berbagai “shifting” yang terjadi.

Bung Karno seorang pemimpin bangsa Indonesia yang visioner sangat menekankan pentingnya wawasan geopolitik. “Ketika berpidato pada pembukaan Lemhannas pada tahun 1965, menganjurkan agar kita sebagai anak bangsamengetahui kondisi tanah air kita. Geopolitik kita. Orang tidak bisa menyusun Pertahanan Nasional yang kuat, orang tidak bisa membangun satu Bangsa yang kuat, sebagai satu Bangsa Negara yang kuat, kalau tidak berdasarkan pengetahuan geopolitik. Abai geopolitik berarti awal bercokolnya “permainan asing” dan menjadi penyebab kehancuran sebuah bangsa,” jelas Pontjo.

Wawasan geopolitik dan geostrategi ditunjukkan pula oleh Panglima Besar Soedirman dengan nasehat/doktrinnya yang terkenal: “Pertahankan rumah serta pekarangan kita sekalian” (1947). Nasehat yang nampaknya sederhana ini, implikasinya akan dahsyat jika dipraktekkan secara konsisten oleh bangsa dan (pemerintah) negara Indonesia.

Selain harus memiliki visi masa depan dan wawasan geopolitik/geostrategi, menurut Pontjo, pemimpin bangsa harus pula mampu memberi arah kemana kita menuju. Terlebih dalam dinamika perubahan dan tantangan masa depan yang begitu cepat agar bangsa ini tidak terjebak ke dalam pusaran ketidakpastian.

Pontjo mengatakan pemimpin bangsa harus meyakini bahwa Pancasila adalah “Titik Tuju” Indonesia karena berisi cita-cita bangsa dan negara yaitu Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan Makmur,”.  Karena itu siapapun presiden yang terpilih pada Pilpres 2024. (*)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *