oleh

Negara dalam Kondisi Darurat Peradaban Hukum, Praktisi dan Akademisi Sepakat Presiden Harus Turun Tangan

POSKOTA.CO – Universitas Krisnadwipayana (Unkris) bekerjasama dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) menggelar Seminar Nasional Darurat Peradaban Hukum di kampus Unkris, Rabu (19/10/2022). Seminar nasional yang digelar secara hybrid tersebut menghadirkan sejumlah narasumber yang sangat berkompeten yakni Guru Besar Unkris Prof Gayus Lumbuun, Ketua Umum Peradi Prof Otto Hasibuan dan Wakil Dekan 1 Fakultas Hukum Unkris, Dr Hartanto.

Mengambil tema “Sejauh Mana Kewenangan Presiden Terhadap Lembaga Yudikatif”, seminar nasional dengan pembicara kunci Prof. Jimly Asshiddiqie, Ketua MK periode 2003-2008 dimoderatori Dr Muchtar dan Dr Susetya Herawati. Hadir Rektor Unkris Dr Ayub Muktiono dan jajarannya serta  jajaran pimpinan Yayasan Unkris.

Prof Jimly Asshidiqie dalam kata pengantarnya mengatakan keadaan dunia hukum di negara Indonesia dewasa sedang berada dalam kondisi darurat, bahkan disebut sebagai “darurat peradaban hukum”.

“Keadaan darurat itu bukan saja terjadi secara sektoral, yang dapat dilihat sepenggal-sepenggal, tetapi sudah menyeluruh mulai dari lini dan jaringan fungsi-fungsi pembentukan hukum (law making functions), fungsi-fungsi penerapan hukum (law applying functions), sampai ke lini dan jaringan fungsi-fungsi penegakan hukum (law enforcing functions) sebagai suatu kolektifitas peradaban Negara Hukum Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945,” jelas Prof Jimly.

Menurut Prof Jimly, untuk mengatasi situasi peradaban negara hukum yang berada dalam keadaan darurat ini dibutuhkan langkah-langkah perbaikan, salah satunya dengan menghimpun ide-ide cemerlang para pakar hukum dari dunia perguruan tinggi dan juga para praktisi.

Sepakat dengan Prof Jimly, Guru Besar Unkris yang juga Hakim Agung periode 2016-2018 Prof Gayus mengatakan bahwa kedaulatan peradaban hukum saat ini sudah dirasakan masyarakat kondisinya memang darurat. Dalam arti memang keadaannya abnormal dari yang seharusnya.

“Padahal peradaban adalah satu identitas yang isinya adalah bagaimana akhlak dan kehormatan yang seharusnya dipertahankan oleh lembaga-lembaga penegak hukum,” jelasnya.

Menurut Prof Gayus, agenda Reformasi Lembaga Peradilan terutama Mahkamah Agung (MA)  beserta jajaran dibawahnya bukanlah pekerjaan mudah. Hal ini disebabkan oleh  kuatnya resistensi terutama dari dalam MA sendiri.

“Jadi walaupun telah dibentuk Komisi Yudisial secara konstitusional serta berbagai upaya dari berbagai organisasi masyarakat pemantau Lembaga Peradilan, dengan dalih argumentasi Indipendensi Hakim dan Lembaga Peradilan tidak mampu membongkar dan membenahi dengan cara melakukan perombakan di lembaga tersebut seolah-olah tidak dapat disentuh oleh kekuasaan lainnya termasuk oleh Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan sebagai Pemimpin Tertinggi di Negara RI,” jelas Prof Gayus.

Tetapi tertangkapnya seorang Hakim Agung melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK baru-baru ini menurut Prof Gayus merupakan pukulan telak dan berat terhadap Lembaga Puncak dari Benteng Keadilan Indonesia disamping fakta-fakta bahwa 85 Hakim dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi telah dijatuhi sanksi oleh Komisi Yudisial pada rentang waktu antara Januari hingga November tahun 2021.

“Di seminar ini kami membahas apakah bisa presiden mencampuri urusan peradilan? Pendapat saya, tentu sangat bisa. Indonesia punya trias politika tetapi tidak dengan pemisahan kekuasaan, melainkan distribusi kekuasaan,” kata Prof Gayus.

(dari kiri ke kanan) Dr Susetya Herawati, Dr Hartanto, Gubes Unkris Prof Gayus Lumbuun, Ketua Umum Peradi Prof Otto Hasibuan, Gubes UI Prof Jimly, Rektor Unkris Ayub Muktiono dan Dr Muchtar

Menurut Prof Gayus, presiden bisa mencampuri semua aspek sebagai kepala negara tertingg dan sebagai pemimpin bangsa tertinggi. Presiden mempunyai kewenangan yang bisa masuk ke banyak-banyak lembaga lain dengan catatan ketika keadaan itu darurat.

Peran strategis presiden sebagai Kepala Negara dalam Sistem Republik Indonesia merupakan konsekuensi sistem Presidesiel yang menempatakan Presiden sebagai Kepala Negara menjadi tokoh sentral dalam system Kenegaraan Republik Indonesia termasuk dalam mengatasi persoalan dibidang penegakan hukum yang sedang mengalami krisis “Peradaban Hukum” .

Prof Gayus berpendapat ada 2 kebijakan Presiden sebagai arti konkritnya reformasi yang perlu dilakukan dalam mengahadapi Darurat Peradaban Hukum ini. Pertama, dengan cara mengevaluasi hakim-hakim di semua tingkatan masing- masing ditingkat Kabupaten/ Kota terdiri dari kurang lebih 300 Pengadilan Negeri (PN), di tingkat Provinsi terdapat kurang lebih 35 Pengadilan Tinggi dan di MA terdapat sekitar 48 Hakim Agung.

Kedua, perlunya pembentukan Lembaga Eksaminasi Putusan yang disuarakan publik secara luas dan dianggap kontroversial dan menimbulkan kerugian akibat putusan hasil perkara yang terjadi dikarenakan penyimpangan oleh hakim terutama yang tertangkap oleh penegak hukum lainnya. Eksaminasi putusan ini penting sebagai bentuk control public terhadap kepedulian kepada korban penyimpangan oleh hakim sebagai kekuasaan yang disalahgunakan sehingga merugikan masyarakat.

Sementara itu, Ketua Umum Peradi Prof Otto Hasibuan mengatakan presiden harus turun tangan dan jadi back up dalam membenahi masalah  penegakan hukum. Alasannya karena kondisi saat ini dalam keadaan darurat peradaban hukum. Semua aspek lembaga di yudikatif mengalami masalah berat.

“Presiden harus turun tangan menegakkan kembali peradaban hukum di Indonesia,” kata Otto.

Menurut Prof Otto, jika presiden tidak turun tangan langsung, maka kondisi darurat peradaban hukum seperti sekarang ini tidak akan pernah bisa diselesaikan.

Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana Hartanto mengatakan, Presiden harus melakukan diskresi dalam upayanya menegakkan peradaban hukum.

“Dalam seminar ini kami akan memberikan rekomendasi dan masukan kepada presiden tentang diskresi ini,” kata Hartanto.

Sebelumnya, Rektor Unkris Ayub Muktiono dalam sambutannya mengatakan Unkris mengajak sivitas akademika untuk mengembangkan paradigma kritis guna memajukan pendidikan. Termasuk permasalahan di bidang hukum.

Rektor sepakat bahwa peradaban hukum kita dalam kondisi darurat. “Bagaimana reformasi hukum, apakah harus ada UU dulu baru reformasi. Seminar ini mencoba memberikan masukan kepada presiden untuk  selamatkan bangsa dan negara,” kata Ayub

Unkris sendiri merupakan perguruan tinggi yang memiliki perhatian tinggi terhadap masalah hukum di Indonesia sejak awal didirikan hingga sekarang. Karena itu, secara berkala, para akademisi dibidang hukum melakukan kajian-kajian terhadap persoalan hukum terkini.

Salah satunya adalah masalah reformasi bidang hukum yang idenya pernah dicetuskan oleh guru besar Unkris yaitu Prof Gayus pada 2016 saat diajak berdiskusi 4 mata dengan Presiden Joko Widodo.

Seminar kolaborasi Unkris dengan Peradi kali ini menjadi salah satu cara urun rembug dari para akademisi dan praktisi hukum terkait poin-poin penting reformasi hukum di Indonesia. “Karena itu hari ini kita hadirkan para pakar bidang hukum untuk menghimpun masukan penting reformasi hukum selain tentu saja pemikiran para pakar dan akademisi hukum internal Unkris,” tandas Rektor.

Seminar nasional tersebut diikuti oleh sekitar 250 peserta yang hadir secara luring di kampus Unkris dan lebih dari 1000 peserta yang hadir secara daring. (*/fs)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *