oleh

Sunda Wiwitan Dinista di Tanah Sendiri

POSKOTA.CO – Warga penganut Sunda Wiwitan kini sedang dinistakan di wilayahnya sendiri. Di mana peran negara dalam hal ini? Mana perlindungan pemerintah bahwa setiap warga negara bebas menjalankan agama dan keyakinannya – yang dijamin undang-undang?

Kumaha eta Kang Ridwan Kamil? Saya bukan orang Sunda dan bukan penganut aliran kepercayaan. Tapi sebagai warga pendukung Bhineka Tunggal Ika di negara yang demokratis dan berdaulat, saya sangat kecewa jika ada sesama anak bangsa dinistakan.

Pemerintah daerah Kuningan, Jawa Barat melarang masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan membangun makam dengan alasan tidak mengantongi IMB dan dikhawatirkan menjadi tempat pemujaan.

Akibatnya pembangunan makam di Desa Cisantana, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat kini terbengkalai.

Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) menyegel bangunan yang bakal menjadi makam tokoh Sunda Wiwitan, yakni Pangeran Djatikusumah dan istrinya Ratu Emalia Wigarningsih, pada Senin (20/7/2020).

Makam itu berupa dua liang lahat dan batu berukuran besar yang ditatah seperlunya hingga berbentuk tugu atau disebut batu satangtung oleh warga lokal.

Garis segel berwarna oranye bertuliskan ‘Dilarang Melintas’ dan ‘Satpol PP Kab Kuningan’ tampak mengelilingi bangunan tersebut, sementara pemberitahuan penyegelan terpampang di batu besar yang menjadi sentral dari bangunan itu.

“Sudah disegel oleh Satpol PP hari ini (Senin, 20 Jui 2020-red). Padahal pembangunan sudah mulai dari tahun 2014,” kata Girang Pangaping Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan Okky Satrio Djati ketika dikonfirmasi.

Acara tradisi ‘Seren Taun’ dilakukan masyarakat penganut Sunda Wiwitan di Paseban, Cigugur Kuningan.

Okky mengatakan, pihaknya sudah mengajukan permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk pembangunan pemakaman yang rencananya diperuntukkan bagi tokoh masyarakat Sunda Wiwitan, Pangeran Djatikusumah. Namun, permohonan IMB yang diajukan ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Kuningan per 1 Juli 2020 ditolak. Sebab, perda mengenai IMB belum memiliki juklak dan juknis tentang pembangunan.

“Sekarang sudah disegel oleh Satpol PP. Mereka mengerahkan massa dari luar kota saat penyegelan. Kami menyingkir saat penyegelan karena kami tidak mau ada gesekan di lapangan,” kata Okky.

Yang membuat miris, sebagaimana terlihat di video-video yang beredar di media sosial aksi penyegelan didukung ormas-ormas Islam intoleran dengan orasi dan yel-yel SARA khas ormas anarkis. “Ini jelas diskriminasi dan intoleransi,” ujar Okky.

Pendamping masyarakat adat Sunda Wiwitan, Djuwita Djatikusumah Putri menyebut, apa yang dialami pihaknya sebagai ‘diskriminasi yang sistematis’.

“Kami merasa hak kami sebagai warga negara terdiskriminasi secara sistematis, secara terstruktur, dan sistematis,” ujar Djuwita kepada awak media, pada Rabu (22/7/2020).

Djuwita Djatikusumah Putri yang juga merupakan putri dari Pangeran Djatikusumah menyebut, pemakaman keluarga itu dibangun di tanah milik pribadi.

“Itu adalah makam untuk kedua orang tua kami, Pangeran Djatikusumah dan Ratu Emalia, tidak ada maksud untuk apa pun,” tutur Djuwita.

“Kami hanya menjalankan apa yang menjadi harapan dan keinginan terakhir di saat ayah saya ingin ditempatkan di tempat peristirahatan terakhirnya dengan model makam seperti itu,” sambung Djuwita.

Seni budaya Angklung Buncis memeriahkan prosesi acara ‘Seren Taun’.

Agama Sunda Wiwitan meyakini adanya penguasa tunggal tertinggi yang tak berwujud yang disebut ‘Sang Hyang Kersa’ yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan asli orang Sunda yang dianut sejak lama sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam.

Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam kitab Sanghyang Siksakanda ng Karesian, sebuah kitab yang berasal dari zaman kerajaan Sunda yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan dan pelajaran budi pekerti.

Selain di Cigugur Kuningan, penganut ajaran ini tersebar di beberapa desa di Provinsi Banten seperti di Kanekes, Lebak, Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul dan di Jawa Barat, khususnya di Cisolok Sukabumi, Kampung Naga Cirebon.

Di Paseban, Cigugur Kuningan warga penganut Sunda Wiwitan merayakan acara ‘Seren Tahun’.

Acara ‘Seren Taun’ adalah upacara adat yang dilakukan setiap tahun yang mempunyai tujuan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas dilimpahkannya rezeki dari hasil pertanian yang didapatkan.

Arti dari kata ‘Seren Taun’ adalah pelepasan tahun, diadakan di akhir tahun dan mendekati pengujung awal Tahun Baru Saka.

Upacara ini diselenggarakan setiap tahun tanggal 22 Rayagung bulan terakhir kalender Sunda dan sudah ada sejak ratusan tahun sejak Kerajaan Pajajaran hingga saat ini.

Lokasi Upacara dipusatkan di Pendopo Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, kediaman Pangeran Djatikusumah, yang didirikan tahun 1840.

Prosesi acara ‘Seren Taun’ diramaikan dengan iring-iringan seni budaya Penumbukan Padi.

Upacara adat ini merupakan gelaran budaya tradisional masyarakat agraris Sunda yang sudah menjadi agenda tahunan ini, dilaksanakan di Paseban Cigugur, Kuningan.

Masyarakat Adat Sunda Cigugur bertekad terus melestarikan dan melakukan upaya perlindungan terhadap hukum-hukum adat warisan dari para leluhurnya.

“Seperti filosofi Prabu Niskala Wastu Kancana menyebutkan, ‘pakena gawe rahayu pikeun heubeul jaya dina buana’,” kata Dewi Kanti.

“Berbuat baiklah agar lama jaya di dunia. Kebaikan sosial yang berdampak bagi masyarakat banyak itulah yang diajarkan dalam tradisi ‘Seren Taun’,” jelasnya.

Upacara ini juga dimaksudkan agar Tuhan memberikan perlindungan di musim tanam mendatang.

Prosesi acara ‘Seren Taun’ menjadi menarik karena dimeriahkan gelaran seni budaya yang khas, dan atraktif, di antaranya Tari Buyung, Angklung Buncis, Ngajayak, Penumbukan Padi, Damar Sewu, Pesta Dadung, Seribu Kentongan, Penanaman Pohon, Nyiblung dan Dayung Buyung, Helaran Budaya, Gondang, Kidung Spritual, Ngareremokeun dan lainnya.

Masyarakat Sunda Wiwitan dan ‘Seren Taun’ adalah aset budaya bangsa. Keyakinan leluhur yang seharusnya dihormati oleh para penganut agama mayoritas dan ‘agama resmi’ saat ini – notabene agama impor, agama asing – agama para pendatang – yang kini menguasai negara ini. (***)

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *