oleh

Hadapi Medan Berat di Wilayah 3T, DAMRI Tetap Harus Beroperasi

JAKARTA – Institut Studi Transportasi (INSTRAN) menyelenggarakan kegiatan Diskusi Publik “DAMRI Melayani Tiada Henti” di Jakarta, Kamis (30/11/2023). Kegiatan tersebut menghadirkan sejumlah narasumber antara lain Direktur Angkutan Jalan Kementerian Perhubungan Suharto, Kasubdit Standar Biaya Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Amnu Fuady, Asisten Deputi Bidang Jasa Logistik Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Setyo Puji Hartono, Perencana Ahli Madya Direktorat Transportasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Dail Umamil Asri, dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Sandi, Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Mukhamad Misbakhun dan Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno. Hadir pula Direktur Utama Perum DAMRI Setia N Milatia Moemin.

Tujuan diskusi public tersebut adalah mencari solusi atas tantangan pengembangan dan operasionalisasi angkutan DAMRI dengan semakin banyaknya wilayah serta trayek yang dilayani. Selain itu juga untuk mendorong komitmen pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan operator dalam mendukung pengembangan angkutan perintis dan memperkuat peran DAMRI dalam melayani mobilitas orang dan barang di seluruh wilayah Indonesia.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) transportasi darat, PT DAMRI tentu menghadapi gempuran yang terus menerus, DAMRI telah memiliki sejarah panjang dalam melayani mobilitas geografis bagi warga Indonesia, terutama di wilayah-wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

Direktur Utama Perum DAMRI Setia N. Milatia Moemin mengatakan dalam menyelenggarakan layanan angkutan umum, tentu DAMRI menghadapi banyak tantangan di lapangan. Namun tantangan terbesar yang dihadapi DAMRI adalah layanan angkutan umum di wilayah 3T seperti di Papua. Selain menghadapi medan yang sulit, buruknya infrastruktur jalan, juga kemampuan membayar pelanggan yang sangat rendah.

“Terkadang bus kami harus menyeberangi sungai, menembus perkebunan milik warga. Karena itu kami modifikasi agar kendaraan bisa menghadapi medan yang sulit,” katanya.

Sebagai angkutan umum, biaya operasional DAMRI sebagian dibebankan dari hasil penjualan tiket. Namun menghadapi kemampuan bayar pelanggan yang sangat rendah, pihak DAMRI tentu tidak bisa menolaknya. “Kami sering dibayar pakai hasil alam, seperti cabai atau yang lainnya. Padahal tarifnya di Papua hanya Rp10 ribu. Tetapi kalau memang nggak mampu bayar, kami bisa apa,” katanya.

Meski menghadapi situasi yang demikian, DAMRI lanjut Setia tetap harus melayani kebutuhan angkutan masyarakat di wilayah 3T. “Kami mendapatkan penugasan sebagai angkutan perintis, jadi harus tetap beroperasi meski situasinya seperti itu,” tambahnya.

Setia bersyukur masyarakat di Papua sering membantu menyelamatkan bus Damri dari amuk massa atau OPM. Mereka merasa bus ini sangat dibutuhkan untuk mobilisasi dari distrik satu ke distrik lain, untuk berjualan atau untuk bersekolah. “Kalau DAMRI berhenti beroperasi maka masyarakat tidak ada yang jualan, anak sekolah juga otomatis libur,” katanya.

Hingga saat ini, DAMRI telah beroperasi di 32 propinsi dengan jumlah armada sekitar 600 unit, baik berukuran besar, sedang maupun mikro.

Lebih lanjut Setia mengatakan selain melayani di wilayah 3T, DAMRI juga melayani warga di perkotaan. Namun, peran DAMRI sebagai angkutan perkotaan semakin surut seiring dengan meningkatnya penggunaan sepeda motor sebagai moda transportasi harian.

Meskipun begitu, harapan untuk bangkit kembali di perkotaan masih terbuka lebar seiring dengan tingginya keluhan mengenai polusi udara di perkotaan yang disebabkan oleh sektor transportasi. “Ini menjadi peluang bisnis angkutan umum yang baik,” katanya.

Tantangan DAMRI pada saat ini adalah bagaimana agar tetap eksis sebagai BUMN transportasi di seluruh penjuru tanah air, terlebih di masa pandemi Covid-19. Seluruh moda transportasi lain juga kena dampak, tetapi moda transportasi lain masih dapat diringankan bebannya dengan angkutan barang. Sedangkan sarana DAMRI diperuntukkan bagi penumpang.

DAMRI saat ini merger dengan PPD. Moda produksi PPD terbatas, tetapi jumlah SDM-nya cukup banyak, akibatnya merger tersebut berdampak pada bertambahnya beban finansial bagi DAMRI.

Posisi DAMRI memang sebagai bagian dari pelaksana tugas pemerintah. Namun, DAMRI juga tidak dapat membuat perencanaan yang pasti untuk pengembangan bisnis jangka panjang karena sering kali muncul tugas dadakan yang harus dilaksanakan oleh DAMRI. Salah satu tugas yang dijalankan oleh DAMRI adalah menjalankan angkutan perintis di wilayah-wilayah yang belum/tidak tersedia moda transportasi darat, seperti yang sering ditemukan di daerah-daerah 3T.

Regulasi mengenai angkutan perintis itu sendiri juga dapat membebani DAMRI, seperti subsidi yang diberikan untuk angkutan perintis dengan hitungan tingkat keterisian 70% saja. Padahal, dalam kenyataan di lapangan, terutama untuk daerah-daerah 3T, tingkat ketersiannya tidak mencapai 30%. “Itu berarti DAMRI harus menutup biaya operasional yang tidak dapat ditutup dari pendapatan tiket,” ujar Setia. (*/fs)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *