
POSKOTA.CO -Tiga saksi perbankan yang dihadirkan dalam persidangan perkara penipuan dan penggelapan dengan terdakwa Andreas bin Oihonglo di PN kelas I A Bandung, pada Kamis (20/2/2013), mengaku tidak pernah melihat bilyet giro (BG), asli saat menjalani pemeriksaan di Polrestabes Bandung.
Ketiga saksi masing-masing Sherly Novita dari Bank Panin, Yane Nurlia Dewi dari Bank Mandiri dan Rahmat Irianto dari Bank BNI mengaku hanya melihat foto copy BG dan memberikan penjelasan kepada penyidik mengenai materi yang semestinya memakai BG asli. Padahal, lantaran keterangan yang tak sesuai prosedur itulah Andreas dijadikan terdakwa.
Salah satu saksi dari Bank BNI, Rahmat Irianto yang diperiksa penyidik kepolisian pada 18 Oktober 2013, mengakui bila dirinya memang tidak melihat BG asli. Namun, ia mengaku bisa memberikan penjelasan terkait pengecekan ditutup tidaknya BG.
Dari pernyataannya tersebut, kuasa hukum terdakwa, Wilmar Sitorus mencecar saksi dengan pertanyaan dari mana ia mengetahui BG tersebut ditutup atau tak ada dananya dengan hanya melihat foto copy saja. “Itu sistem pak,” katanya.
Jawaban tersebut kemudian dikejar dengan pertanyaan lanjutan, apakah saksi membawa peralatan yang memungkinkan dia melihat sistem tersebut. Saksi yang bertugas di bagian kliring ini mengaku tak membawa apa apa. “Lantas kapan anda melihat sistem tersebut saat penyidikan berlangsung?” tanya Wilmar.
Karena tetap keukeh pada pendiriannya, hakim anggota, Djoko Indiarto menengahi dengan mengatakan setiap foto copy pasti ada aslinya, namun foto copy dapat direkayasa sehingga memungkinkan terjadi pemalsuan. “Lain kali jangan memberikan penjelasan bila hanya dengan foto copy. Anda bisa minta aslinya dulu,” katanya.
Namun, pernyataan hakim tersebut dikritisi Wilmar. Menurutnya, meski hakim memiliki kewenangan, namun seyogianya hakim mengejar saksi dengan pertanyaan mengapa berani memberikan penjelasan hanya dengan foto copy BG. “Misalnya, apakah keterangan mereka lantaran intimidasi atau mereka merupakan bagian dari rekayasa. Yang terjadi malah terkesan mematahkan agar kesalahan itu tak berlanjut,” katanya.
Kendati demikian menurut Wilmar, dari seluruh saksi perbankan yang dihadirkan selama dua minggu tersebut, terungkap tidak adanya pembuktian akurat terkait BG yang menjadi pokok persoalan sehingga kasus ini berlangsung. “Kalau BG asli adalah kertas berharga, tapi kalau foto copy hanya sampah,” ketusnya.
Dalam persidangan kedelapan tersebut, jaksa penuntut umum (JPU), juga mendengarkan keterangan saksi ahli hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Parahiyangan, Risman Samosir.
Dalam keterangannya, Risman mengatakan mengembalikan kerugian orang lain tidak menghilangkan pidana. Ini dikatakan karena ia menilai seseorang sudah berniat melakukan penipuan saat awal memberikan BG kosong.
Namun pernyataan tersebut menurut Wilmar tidak fair dan tidak menunjukkan sebagai ahli hukum pidana. “Padahal dalam konteks bisnis jual-beli, terdakwa sudah melaksanakan kewajibannya dan beritikad baik,” katanya.
Di sini menurut Wilmar saksi ahli terlihat tidak berperan sebagai ahli hukum pidana tapi ahli memberi keterangan yang membuat orang jadi terpidana. “Sebab saksi membentengi dirinya dengan pernyataan tak mau memberi keterangan di luar keahliannya,” katanya.
Akan tetapi di sisi lain, saksi ahli bersedia memberi jawaban tekhnis perihal BG saat pemeriksaan di kepolisian. “Ini aneh, giliran kita tanya, saksi malah membentengi dirinya dengan dalil tak mau keluar dari norma hukum,” ucapnya.
Berikutnya, saksi ahli juga enggan menjawab pertanyaan perihal apakah kasus ini masuk ranah pidana atau perdata. Ia hanya diam dan lagi-lagi membentengi dirinya dengan keahliannya. “Saya hanya mau menjawab pertanyaan sesuai dengan kapasitas saya sebagai ahli hukum pidana,” tandasnya.
Akibatnya, sidang yang dipenuhi para pengunjung tersebut menjadi riuh karena mendengar keterangan saksi ahli tersebut. “Huuuu…saksi masuk angin,” teriak salah satu pengunjung. (tim)
Komentar