oleh

SAKIT DAN MAHALNYA MELAHIRKAN DEMOKRASI


Oleh: Brigjen Pol Dr Chryshnanda Dwilaksana MSi

TULISAN Sindunata tentang esai yang membahas demokrasi di Indonesia pasca 1998 yang ditandai dengan tumbangnya Orde Baru sampai sekarang masih dirasakan betapa sakit bahkan mahalnya melahirkan demokrasi di negeri ini.

Demokrasi dibutuhkan adanya kecerdasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tatkala masyarakat yang majemuk dan tingkat kecerdasan yang rendah maka akan mudah disetir, diprovokasi, diadu domba, bahkan dihancurkan dari dalam. Aman damai tenteram bukan kebanggaan di mana anarkisme pun menjadi pilihan dalam menyelesaikan konflik.
Para elite yang digambarkan sebagai kaum sofis seolah menjadi pawang yang lihai untuk memenuhi hasrat kuasanya dengan memberdayakan primodialisme. Menabur isu melabel ujaran kebencian menjadi tanda dari desain jahatnya yang dikemas dalam berbagai hoaks yang memberdayakan dunia mayantara.

Di era post truth, hoaks menjadi senjata pembodohan publik. Penjahat memang jumlahnya kecil namun dominan bahkan dapat mendominasi karena militansi dan kelicikannya. Hukum sebagai simbol peradaban akan diinjak-injaknya, dilecehkannya, bahkan kemanusiaan diabaikannya. Membuat berbagai pembenaran untuk mencari solidaritas dan legitimasi. Mengatasnamakan suku bangsa, agama, bahkan surga dan Tuhan pun dilakukan. Massa dijadikan pijakan seakan diinjak kepala dan harkat martabatnya demi kuasa.

Dunia nalar dianggap sebagai penghambat diganti dengan berbagai anarkisme. Pokok e yang menunjukkan pekok e ini pun terus digulirkan, dan seolah yamg berterik keras itulah yang benar. Asu gedhe menang kerah e. Pembenaran-pembenaran terus diviralkan sehingga membingungkan, mana kebenaran mana kebohongan. Perusakan nilai-nilai humanisme kebangsaan dicabik-cabik tdk lagi diperlukan. Teriakan perang, serbu, hancurkan, bunuh, gantung, penggal meenjadi ujaran-ujaran kebanggaan. Tanpa rasa bersalah tiada malu lagi, dan terus memupuk rasa kebencian dan mengorbankan harga diri bangsa. Merasa paling dari yang benar sampai dilecehkan ini menjadi gaungan yang dilontarkan.

Tatkala atas nama Tuhan sudah dijadikan pembenaran, maka semua yang berbeda berseberangan akan dianggap kafir. Tidak lagi melihat kemanusiaan, yang ada hanyalah salah benar, hitam putih, suci dosa, surga neraka. Seolah-olah perjuangannya demi surga walaupun sarat rekayasa jahat. Semua dilaknat tiada lagi aturan asal sama dengan kelompok mereka apa pun dihalalkan. Cabikan-cabikan peradaban diubah menjadi Tegal Kurusetra Palagan Bharatayudha.

Perang Bharatayudha menjadi analogi pembenaran melawan kebenaran. Walaupun perang tetap menggunakan siasat dan kelicikan dan menghasilkan duka. Siapa menjadi korban tentu saja rakyatnya. Gajah dengan gajah mau berkelahikah atau mau bercintakah, rumputkah tetap saja rumput yang terinjak-injak. Rakyat di dalam tulisan Setyo Wibowo yang menjabarkan tulisan Platon memggambarkan rakyat sebagai binatang yang besar dan buas. Yang hanya mengikuti naluri dan hasrat kebinatangannya mencari makan minum seks menghindari penyakit. Marah bahkan tidak mau mengalah atau ingin menangnya sendiri. Para kaum sofis tahu itu mereka merasa memjadi pawang yang tahu apa yang mesti dilakukannya. Para kaum sofis tahu kapan melunak memberi umpan agar binatang tadi tidak marah, kapan harus menekan mengancam bahkan mengadu domba. Apa yag dilakukan tanpa rasa bersalah, tanpa malu walaupun menelanjangi dirinya. Mengorbankan rakyat menjadi kebanggaannya tameng-tameng primordial dikedepankan bahkan menjadi topeng keserakahan dan kemunafikkannya.

Lagi-lagi rakyat yang dikorbankan, social cost-nya pun sangat mahal, inilah yang menunjukkan betapa sakit dan mahalnya melahirkan demokrasi. Mewaraskan atau menyembuhkan dari kedunguan akut ini tidaklah semudah teriakan: siap gerak, cerdas gerak. Proses panjang membangun demokrasi sebagai upaya mewaraskan memang mahal bahkan nyawa pun dapat dijadikan tumbal. Contoh paling di depan mata apa yang terjadi di Suriah ini menjadi analogi betapa kemanusiaan peradaban dihancurkan anak bangsa yang saling bertikai akibat kalahnya dunia nalar dengan anarkisme. Bung karno pernah mengatakan, musuh kami penjajah namun pascakemerdekaan musuhmu adalah bangsamu sendiri. Yaitu kedunguan sosial, pameran ketololan, perusakan peradaban, bahkan mematikan sesamanya ini menjadi tontonan yang dibanggakan.

Para kaum sofis yang licik penuh trik dan intrik terus menghembuskan isu ketidakmampuannya dari curanglah, tidak transparanlah, korupsilah, dan sebagainya. Era post truth mungkin bida disebut lahan kurusetra kaum sofis yang jahat untuk dijadikan strategi politiknya menghajar kewarasan.

Akal dimatikan diganti okol. Konflik diciptakan di desain hoaks yang memanfaatkan kebohongan yang diaduk-aduk sedemikian rupa dan terus digulirkan dengan menyentuh ranah emosi sehingga muncullah persepsi asumsi pribadi agar pembenaran-pembenaran tadi menjadi kebenaran. Semua asal telan mentah-mentah, tidak lagi peduli dampak apa yang bisa ditimbulkan. Telmi atau telat mikir itu pasti dilakukan sadar setelah remuk. Gelo iku tibo mburi.

Waras itulah demokrasi, tahu apa yang harus dilakukan apa yang tidak boleh dilakukan, tahu dampaknya tahu sanksinya. Maka kecerdasan dalam humanisme sebagai prinsip dasar demokrasi yang diimplementasikan dalam:

  1. Supremasi hukum. Hukum mampu dijadikan simbol peradan sebagai sandaran penyelesaian konflik secara beradab.
  2. Transparansi dan akuntabilitas. Apa pun yang dilakukan terutama di ranah pelayanan publik yang prima dan dapat diukur dan dipertanggungjawabkan secara moral, secara hukum, secara administrasi, dan secara fungsional kemanfaatan bagi masyarakat.
  3. Keadilan sosial. Semua warga memiliki hak dan kewajiban bagi upaya mewujudkan kemakmuran yang diwujudkan dalam bela negara bagi tegak berdirinya aman tenteram damainya bangsa ini.
  4. Tumbuh berkembangnya civil society yang bergerak penuh kesadaran dan moralitas untuk membangun sebuah peradaban melalui upaya upaya mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.
  5. Upaya upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat, yaitu terwujud dan terpeliharanya keamanan dan rasa aman. Sehingga dapat memberikan jaminan dan legitimasi warga masyarakat yang produktif sehingga terus dapat hidup tumbuh dan berkembang.
  6. Pemimpin dan kepemimpinan daerah maupun nasional dihasilkan dalam sistem pemilu yang jujur, adil, dan dipercaya. Di mana para kader pimpinan dari partai politik memiliki standar nilai kebangsaannya.
  7. Adanya pembatasan kewenangan. Di dalam demokrasi tidak ada kekuasaan yang absolut. Semua ada batasnya, ada yang mengontrol.

Civil Disobidience Vs Civil Disorder
Perjuangan demokrasi menggunakan pembangunan peradaban dengan civil disobidience seperti yang dilakukan Gandhi, Martin Luther King Jr, Samin Suratinoyo melalui pembangkangan sipil. Ajaran-ajarannya seperti ahimsa yang melawan tanpa anarkisme.

Civildisorder atau anarkisme ini domplengan-domplengan yang mengatasnamakan demokrasi dengan cara anarkisme. Di sinilah kaum sofis terus melakukan trik-trik licik untuk menggerus rasa kebangsaan, rasa kemanusiaan untuk saling beradu di antara sesama anak bangsa.

Mencerdaskan kehidupan berbangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memang menyakitkan, karena sembuh dari kegilaan itu membutuhkan nyali waras, berani berkorban untuk waras menjadi pembelajar yang terus berjuang untuk waras tela keluar dari zona mapan dan nyaman. Selain itu juga membangun peradaban melalui edukasi untuk adanya kesadaran tanggung jawab dan siplin sebagai anak bangsa yang berkarakter (memiliki integritas, komitmen, kompetensi dan keunggulan). Membangun sistem-sistem dan inftastuktur yang berbasis elektronik sehingga dapat online atau saling terhubung satu sama lainnya dalam e-government, e-banking, dan e-policing. Penegakan hukum yang tebang habis tidak lagi tebang pilih terutama bagi para kaum provokatif atau kaum sofis yang licik dengan trik-trik kejam dan biadabnya.

Betapa sakit dan mahalnya membangun demokrasi dalam masyarakat yang majemuk dan sarat potensi mengaduk-aduk primordial untuk dijadikan tunggangannya. (Penulis adalah Dirkamsel Korlantas Polri)

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *