oleh

REFLEKSI 72 TAHUN KEMERDEKAAN INDONESIA

Umi Zahrok, MSi. Staf Ahli DPR RI

POSKOTA.CO – Perasaan malu campur sedih, generasi seperti saya ini hanya bisa merenung, mengamati dan mengomentari perjalanan negeri ini, seakan ‘tidak berarti’ ragam aktivitas meski kadangkala atas nama perjuangan.

Jika dibandingkan dengan spirit, pemikiran dan gerakan para pejuang bangsa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI yang diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 17 agustus 1945.

Terdapat beberapa pemikiran para pejuang kemerdekaan Republik ini yang dapat menjadi inspirasi generasai sekarang yaitu dialektika diantara para tokoh nasional ketika merumuskan nilai-nilai kebangsaan terutama ketika Pancasila menjadi pilihan dasar negara.

Perdebatan ini pun memang pernah terjadi dalam sejarah pembuatan dasar negara di Indonesia. Adanya perdebatan ini pun membuktikan bahwa beberapa pihak yang menginginkan dasar negara yang diusulkan dapat di terima dan disepakati oleh pihak-pihak yang lainnya.

Perdebatan dasar negara ini pun dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada sidang BPUPKI pertama,pertemuan pun diarahkan pada pembahasan tentang dasar negara bila Indonesia merdeka kelak. Banyak sekali perdebatan yang terjadi dalam perumusan dasar negara ini.

Dimulai dari perdebatan antara Ir.Soekarno dengan Muh.Natsir yang saat itu mempunyai pemikiran yang berbeda tentang dasar negara. Ketika itu polemik pemikiran Ir.Soekarno yang berkeinginan memisahkan antara agama dan negara, sedangkan Muh.Natsir berkeinginan mendirikan negara nasional yang berdasarkan Islam.

Karena banyaknya penganut agama Islam di Indonesia yaitu dengan memunculkan Piagam Jakarta yang memuat point Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Rumusan Piagam Jakarta inilah yang sudah di sepakati oleh seluruh wakil-wakil bangsa Indonesia sebagai sila-sila yang akan tertera di Pancasila. Pada sidang PPKI Tanggal 18 Agustus 1945 Setelah berita proklamasi Indonesia tersebarluas,berarti Indonesia telah merdeka.

Untuk melengkapi persyaratan berdirinya sebuah negara,PPKI mengadakan sidang yang bertujuan menetapkan UUD, memilih presiden dan wakil presiden, memilih para gubernur kepala pemerintahan daerah diseluruh wilayah Indonesia.

Rumusan negara akan diambil dari Piagam Jakarta dan sudah disetujui secara aklamasi. Namun pada saat akan di bacakan pada tanggal 18 agustus 1945, Bung Karno dipanggil untuk menemui Laksamana Maeda yang mengutarakan ke khawtirannya tentang penyatuan agama yang tertera pada salah satu sila di rumusan tersebut, karena Indonesia terdiri dari banyak agama didalamnya.

Latuharhary, seorang anggota Panitia Hukum Dasar yang menganut ajaran kebatinan, Wongsonagoro dan Hoesein Djadjadiningrat, juga memprotes soal kalimat yang memasukkan kewajiban syariat Islam tersebut. Mereka mengatakan, kalimat tersebut seolah-olah adalah paksaan dari negara bagi umat Islam untuk menjalankan syariat Islam.

Bung Hatta

TOKOH KEBERATAN

Bung Hatta menerima telpon dari tuan Nishijima bahwa tokoh-tokoh rakyat dari Indonesia timur keberatan pada anak kalimat yang tercantum dalam piagam Jakarta. Mereka merasa bahwa ketetapan seperti itu dalam suatu dasar negara berarti mendiskriminasikan mereka yang kaum minoritas.

Jika kalimat itu tetap dicantumkan dalam dasar negara,mereka memilih berdiri diluar dari Republik Indonesia. Kemudian Bung Karno dan Bung Hatta berunding dengan Ki Bagus Hadikusumo, HA. Wahid Hasyim,Mr.Kasman Singodimejo, dan Mr.Teuku Muhammad Hasan yang representasi dari tokoh-tokoh Islam.

Setelah berunding keempat tokoh Islam itu dapat memahami perubahan yang ada demi kepentingan bangsa dan negara. Dan sila pertama tersebut dirubah menjadi kalimat “Ketuhanan yang Maha Esa”.

Menurut Hamka Haq dalam buku Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam (2011) sila itu merupakan hasil kompromi antara ideologi Islam dan ideologi kebangsaan yang mencuat selama rapat BPUPKI berlangsung.

Sikap kompromi atau jalan tengah (tawassuth) yang saya ketengahkan sebagai contoh adalah sikap dan cara pandang tokoh-tokoh NU seperti KHA. Wahid Hasyim, KH Masykur dan lain sebagainya menjadi anggota BPUKPI yang bertugas merumuskan dasar negara Pancasila dan UUD 1945.

Karena itu NU membela hasil kesepakatannya sendiri saat Indonesia dihadang oleh berbagai pemberontakan yang hendak mengganti NKRI. Demikian halnya sikap dan pendapat KH. Idham Chalid (Wakil Perdana Menteri) kala menghadiri sidang Konstituante 1958-1959 dengan menyatakan,”NU menghendaki Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945, sehingga walaupun dasar negara kita Pancasila tetapi memiliki dasar keislaman yang kokoh.

Kalau itu yang dilakukan tidak hanya NU seluruh umat Islam akan menerima Pancasila dengan sepenuh hati dan siap mempertahankan dari gangguan apa saja. Bagus, pendapat yang cerdas, ujar Bung Karno, “kalau begitu tidak ada masalah kita kembali ke UUD 1945 dengan dukungan penuh dari NU.

Terima kasih atas jalan keluar yang diberikan oleh NU dan terimakasih atas persetujuan NU, sebab kita ini sedang menyelamatkan negara dari perpecahan.”

Proses kesejarahan sejak masa kolonial, masa pergerakan kemerdekaan sampai sekarang memasuki 72 tahun Indonesia merdeka Nahdlatul ‘Ulama senantiasa hadir dalam percaturan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan dengan corak yang moderat, menghargai kemajemukan dan cinta damai.

Oleh karena itu ketika reformasi menjadi pintu masuk menjamurnya organisasi sosial kemasyarakatan, bahkan terdapat organisasi transnasional yang mencita-citakan seluruh dunia ini berada dalam satu pemerintahan global, yang mereka sebut ‘khilafah, karena memandang Pancasila itu produk manusia dan demokrasi adalah sistem yang bukan berasal dari Islam, atau yang ia sebut kafir.

NILAI KEBANGSAAN

Maka NU sudah memberi warning secara perlahan nilai kebangsaan RI yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhennika Tunggal Ika akan tergerus. Bukan hanya isapan jempol nilai kebangsaan itu mendapat ujian, ketika Hizbut Tahrir (HT) sedang mencari bentuk ideology yang semula mereka menyatakan diri sebagai organisasi pemikiran dan anti kekerasan.

Namun, sebagaimana tulisan Dr. Ainur Rofiq (2014) menyatakan ketika terjadi konflik Suriah ternyata HT adalah pendukung aksi terorisme atas nama jihad.
Atas nama agama dan jihad beberapa dekade terakhir ini, citra Indonesia sebagai bangsa yang santun, ramah dan toleran, sempat cidera oleh berbagai kasus kekerasan, radikalisme dan terorisme.

Kasus bom Bali (2002) menelan korba 202 jiwa meninggal, dan 209 orang luka-luka, bom JW Marriot (2003) terdapat 12 korban meninggal dan 150 luka-luka, pada tahun 2004 terjadi pengeboman di Kedubes Australia, kemudian berulang di Bali tahun 2005 terjadi pengeboman 22 meninggal dan 102 luka-luka, bom di Cerebon 22 orang terluka termasuk Kapolresnya, tahun 2016 bom Sarinah 25 korban luka dan 8 orang tewas termasuk aparat keamanan.

Dan berbagai rentetan peristiwa pengeboman skala kecil maupun besar termasuk aksi bom bunuh diri di Kampung Melayu, Jakarta Timur, tanggal 25 Mei 2017 malam, sebanyak 13 orang menjadi korban termasuk aparat kemanan.

Hasil survey the Wahid Faoundation 60% aktivis rohis siap jihad yang telah mendapat doktrin atau brainwash paham radikal yang tumbuh dari kegiatan Kerohanian Islam di institusi pendidikan, menyebar dari ekstra kurikuler sekolah.

Selain itu, banyak guru agama yang kualitasnya belum memenuhi standar, sehingga tidak dapat membendung masuknya paham radikal tersebut. Kita perlu belajar dari Timur-Tengah yang tercabik-cabik akibat maraknya radikalisme dan ideologi intoleran seperti ISIS dan al-Qaeda.

Gatot Nurmantio

PANGLIMA TNI

Kita semua prihatin sebagaimana informasi Panglima TNI ada potensi pergeseran kekuatan kelompok teroris yang berafiliasi dengan ISIS di Marawi, Mindanao, Filipina Selatan, ke Indonesia. Kelompok teroris tersebut diperkirakan masuk melalui daerah-daerah perbatasan di bagian utara seperti Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara, dan Pulau Morotai, Provinsi Maluku Utara.

Belum lagi di ibu kota pada medio awal 2017 aksi puritan dengan dalih menegakkan syari’at Islam yang secara tekstual kemudian menjadi alat propaganda menyuarakan kepentingan politik kelompok tertentu. Kegigihan imam FPI mengumpulkan massa untuk memenjarakan Ahok menimbulkan praduga liar yang menari-nari di kepala publik.

Ada yang beranggapan bahwa aksi tersebut murni bela Islam, ada juga yang beranggapan bahwa tujuannya hanya untuk menjegal Ahok. Hemat saya aksi bela Islam yang dilakukan oleh massa Islam tersebut memiliki multi tujuan.

Pertama, tujuannya adalah memang untuk memenjarakan Ahok yang berarti menjegal langkahnya menuju DKI 1. Kedua murni show of force kekuatan massa Islam. Ketiga, lebih dari semua itu, saya berpikiran ada tujuan lebih besar yang ingin digapai FPI sebagaimana tahun 2012 terdapat gerakan LSM Front Pembela Islam dan pendukungnya yang mendeklarasikan ‘gerakan NKRI bersyariah.’

MENYITA ENERGI

Kegaduhan yang menyita energi baik secara fisik berbagai demonstrasi massal maupun Cyber Army dengan berbagai ujaran kebencian yang semula tidak terbanyangkan sekelas Presiden dan tokoh agama sekalipun mendapat cercaan, bully yang berpengaruh secara massif di berbagai wilayah di Indonesia, tentu saja hal ini gerakan yang dinilai tidak produktif.

Ditengah negeri ini menjalani masa konsolidasi kepemimpinan, konsolidasi pembangunan dan konsolidasi pemikiran kearah yang lebih baik, ditengah itu pula terdapat semacam ‘residu’ yang menjadi kendala untuk mewujudkan target pembangunan.

Berbagai peristiwa yang dipandang mengganggu keamanan, persatuan-an kesantuan bangsa yang dinilai sudah pada titik adanya kegentingan yang memaksa, maka dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan’.

Disadari memang buah reformasi melahirkan dinamika kehidupan sosial politik ditanah air diwarnai dengan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dalam Pasal 28 Undang-Undang 1945.Keberadaan Organisasi Kemasyarakatan di Indonesia dewasa ini telah menunjukkan perkembangan yang sangat signifikan setidaknya dari sisi kuantitas.

DEMOKRASI MAJU

Data Kementerian Dalam Negeri tahun 2016 terdapat 254.633 Ormas, indikasi ini menjadikan perkembangan demokrasi di Indonesia relative maju dengan adanya partisipasi dan kontrol publik.

Namun demikian akan menjadi petaka dan mengancam keteguhan NKRI jika Ormas menjadi perantara kepentingan ideology tertentu sebagaimana telah saya uraikan diatas menafikan nilai-nilai kebangsaan yang sudah menjadi kesepakatan yang bersama dengan komitmen yang kuat (Mitsaqan Ghalidha) the founding fathers.

Catatan kritis terhadap penerbitan Perppu No.2 Tahun 2017: pertama, aspek filosofis bahwa persoalan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, berpendapat sudah diatur dalam konstitusi, yang oleh warga negara dimanifestasikan dalam ragam organisasi kemasyarakatan. Namun demikian aturan turunan dari konstitusi yaitu UU No.17 Tahun 2013 tentang Ormas antara lain menyebutkan:

Pada Pasal (1) Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi,kehendak, kebutuhan,kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Pada pasal (2) ,” Asas Ormas tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Selagi terdapat ormas yang dalam pandangannya, tindakannya dan gerakan tidak selaras dengan ajaran dan paham Pancasila maka kategori tidak mematuhi aturan hukum yang berlaku.

Kedua, aspek yuridis ketika dalam UU No.17 Tahun 2013 Pasal 59 pada penjelasan ayat (4) hanya mencantumkan ,” ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila adalah ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme.

ORGANISASI MENJAMUR

Sementara menjamurnya organisasi kemasyarakatan yang tidak mengindahkan nilai Pancasila dan UUD 1945 tidak terkontrol untuk dilakukan pembinaan karena tidak ada payung hukum yang memadai, maka Presiden bisa mengeluarkan perppu atas dasar adanya keadaan yang membutuhkan atau keadaan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.

Perppu diterbitkan untuk memberikan solusi agar tidak terjadi kekosongan hukum, tidak bisa diatasi dengan cara membuat undang-undang baru, karena mekanisme dan prosedur untuk membuat undang-undang baru memang membutuhkan jangka waktu yang panjang.

Disamping itu mekanisme pembubaran Ormas di UU No.17 Tahun 2013 juga cukup panjang. Ketiga secara sosiologis fenomena gerakan transnasional yang sudah masuk ke berbagai kampus, merambah ke berbagai kelompok profesional dan kemudian menjadi basis penambangan suara Partai Politik secara empirik menimbulakn gesekan sosial dan menempatkan posisi Pemerintah dalam hal ini Kemendagri sebagai Pembina Ormas kewalahan.

Beberapa ormas, memang berpotensi terlibat secara aktif dengan kelompok radikal karena menolak negara kesatuan dan Pancasila, pemikiran, tindakan dan gerakannya acapkali melahirkan ketegangan antar kelompok karena sudah lama dibiarkan berlarut tanpa ada pengaturan regulasi.

Oleh karena itu Perppu sebagai solusi penertiban Ormas untuk menyadari dan ‘taubat’ untuk kembali pada kesepakatan bangsa sejak awal telah menyatakan bahwa nilai agama dan nasionalisme harus bersinergi. Agama dan negara itu bagai dua sisi mata uang.

Negara butuh agama untuk membangun nilai-nilai peradaban dalam berbangsa dan bernegara sedangkan agama membutuhkan negara demi penegakan hukum dan keteraturan sosial. Maka untuk tegaknya keadilan dan kedamaian membutuhkan agama sekaligus negara. Dirgahayu ke-72 Republik Indonesia, Kerja Berama.Umi Zahrok, MSi. Staf Ahli DPR RI

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *