oleh

POLITIK LEGISLASI PENGATURAN LEMBAGA PENDIDIKAN KEAGAMAAN DAN PESANTREN

Oleh: Umi Zahrok

Tim Pokja RUU LPKP Badan Keahlian DPR

​SEMULA nama yang tercantum dalam Program Legislasi Nasional Lima Tahunan 2014-2019 tertera Rancangan Undang-Undang tentang Lembaga Pendidikan Keagamaan sebagai usulan DPR-RI. Kemudian pada perkembangan berikutnya muncul nama RUU Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren yang diusung oleh Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa yang diakomodir dalam Rapat Paripurna pada tanggal 11 Januari 2017 dengan menetapkan 50 RUU Prolegnas 2017, termasuk di dalamya RUU tentang Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren (LPKP) yang resmi sebagai usulan DPR-RI.

Aspek filosofis mengapa RUU tersebut urgent untuk dibahas yaitu, pentingnya pendidikan bagi manusia (man is the core of educational process). Bahwa pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya mengembangkan potensi diri.

Proses yang dimaksud adalah bagaimana mengarahkan manusia dalam pencarian ilmu pengetahuan untuk bergerak dari ketidaktahuan menjadi paham dan yakin akan sesuatu yang ditelaah/dipelajarinya, mengembangkan potensi lahiriah dan spiritual manusia. Sehingga yang tercipta dari proses pendidikan tersebut adalah manusia yang mampu mengembangkan potensi diri menjadi insan yang cerdas intelegensi dan spiritualnya membimbing akhlak manusia menjadi insan dan yang mampu mengaplikasikan ilmu pengetahuannya untuk kemaslahatan manusia di muka bumi.

MEMBERI PERHATIAN

Dalam perspektif Islam sejak awal kehadirannya, telah memberikan perhatian yang besar terhadap penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran. Hal ini antara lain dapat dilihat secara normatif-teologis, sumber ajaran Al-Quran dan As-Sunnah yang diakui sebagai pedoman yang dapat menjamin keselamatan hidup di dunia dan akhirat, amat memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan sebagai faktor penentu bagi kemajuan peradaban dan kebudayaan bangsa.

Demikian halnya dengan pendidikan madrasah dan pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia telah menjadi role model sebagai lembaga pendidikan yang memiliki karakteristik tersendiri dalam mentransformasikan sanad keilmuan, dalam melestasrikan tradisi Islam dan pembentukan character building.

Pendapat Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya ‘Tradisi Pondok Pesantren’ (1982) menyebutkan bahwa tradisi keilmuan pesantren tidak bisa dilepaskan dari pergulatan intelektual yang terjadi sepanjang sejarah berkembang dan meluasnya Islam. Pondok pesantren, sekolah dan madrasah adalah institusi yang mempunyai tujuan sama, namun berbeda dalam pengelolaannya dan masing-masing mempunyai corak tersendiri sehingga dalam setting kesejarahan pondok pesantren juga telah melahirkan tokoh, ulama, dan pemikir visioner yang berkontribusi dalam pergerakan kemerdekaan RI, menegakkan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

PENTINGNYA KEHADIRAN

Urgensi dari aspek yuridis mengapa RUU ini disusun antara lain pentingnya kehadiran negara terhadap lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren. Jika ditelisik secara struktur perundang-undangan sesungguhnya terkait pendidikan sudah tercantum dalam konstitusi Pasal 31 UUD 1945, yang mana pada ayat (4) berbunyi “negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.

Namun pada tataran realisasi telah terjadi ketimpangan distribusi anggaran antara pendidikan umum dan pendidikan diniyah yang 94 persen memang dikelola masyarakat. Alokasi anggaran fungsi pendidikan Islam yang ada di Kementerian Agama dalam kurun waktu 2014-2016 rata-rata sebesar 11 persen atau Rp 44,5 triliun dari dari total anggaran pendidikan sebagaimana mandat konstitusi sebesar 20 persen yaitu Rp 403,1 triliun. Jika dilihat lebih jauh, maka anggaran peningkatan akses, mutu, dan relevansi madrasah dalam kurun waktu yang sama hanya mencapai empat persen yaitu sebesar Rp 15,5 triliun. Demikian halnya ketika pemerintahan daerah tidak semua memberi perhatian terhadap pendidikan keagamaan termasuk dalam hal ini pendidikan madrasah dan pesantren alasannya karena tiadanya payung hukum.

Telah terjadi tafsir yang berbeda atas UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah: “… Agama merupakan salah satu aspek yang menjadi kewenangan pemerintah pusat (tidak diotonomikan) sehingga menimbulkan tafsir bahwa untuk kebijakan bersifat vertikal sebagaimana diatur pada Pasal 9 Ayat (2) meliputi:

Ppolitik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. Kemudian pada penjelasan Pasal 10 huruf f bidang agama bait kedua menyatakan, “Daerah dapat memberikan hibah untuk penyelenggarakan kegiatan kegiatan keagamaan, sebagai upaya keikutsertaan daerah dalam menumbuhkembangkan kehidupan beragama, misalnya penyelenggaraan MTQ, pengembangan bidang pendidikan keagamaan, dan sebagainya.

” Kata ‘dapat’ berpotensi melahirkan tafsir dan praktek yang begitu lentur. Penyelenggara pemerintahan memiliki kebebasan untuk menerapkannya atau tidak, sifatnya pilihan. Bahkan temuan beberapa penelitian, perhatian terhadap pendidikan keagamaan gencar dilakukan jika ada kepentingan politik lokal.

SISTEM PENDIDIKAN

UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mencantumkan nomenklatur madrasah pada posisi yang lebih maju sebagai perangkat hukum untuk menjamin keberlangsungan madrasah sebagai alternatif lembaga pendidikan untuk meraih prestasi melalui jalur pendidikan formal sekaligus untuk beribadah.

Namun demikian UU Sisdiknas masih menyisakan permasalahan dalam menyikapi keberadaan madrasah dan pesantren. Permasalahan status di antara pesantren, madrasah dan sekolah umum tampaknya dipicu oleh sistem pendidikan nasional yang terlalu lamban mengakui ijazah pesantren yang tidak mengikuti program pendidikan nasional. Terbengkalainya agenda-agenda kepesantrenan sering bermula dari keinginan untuk menggabungkan sistem pendidikan nasional dengan sistem pendidikan pesantren.

Pesantren yang begitu padat aktivitas kepesantrenan mau tidak mau harus memikirkan nasib para santri setelah lulus dari pesantren tersebut, sementara ijazah pesantren pada umumnya belum semua diakui untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini tentu memaksa pengelola pesantren untuk tetap mengikuti agenda Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan sebagai turunan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang hanya dua kali menyebutkan nama pesantren.

KETIMPANGAN PERHATIAN

Sedangkan frasa pendidikan diniyah hanya satu pasal tercantum dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Pada tataran praktis dijumpai pula ketimpangan perhatian antara guru umum dan guru agama di sekolah umum. Dari segi penguatan kapasitas tercover dari Kemendikbud akan tetapi dari segi tunjangan masih di bawah naungan Kementerian Agama.

UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mendefinisikan guru yaitu, memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, sehingga terjadi ketimpangan perhatian negara terhadap guru yang mengajar di madrasah dan pesantren. Sertifikat profesi seakan-akan hanya bersifat formalitas belaka, belum secara menyeluruh menyentuh substansinya. Meskipun sertifikasi sudah menjadi instrumen mengukur kompetensi SDM, namun demikian tidak bisa digeneralisir antara guru yang mengabdi di pendidikan umum dan pendidikan diniyah. Karenanya kriteria yang digunakan sebagai syarat guru mendapatkan sertifikat profesi perlu ditinjau kembali.

RUU ini juga berkaitan dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pada tataran praktis juga mengalami kendala ketimpangan memperlakukan guru-guru pegawai negeri sipil daerah dan guru pendidikan agama Islam.

KERANGKA SOSILOGIS

Pada kerangka sosiologis, urgensi RUU LPKP ini berangkat dari animo masyarakat terhadap pendidikan madrasah dan pesantren terus berkembang. Data Kementerian Agama tahun 2015 menyatakan bahwa secara kuantitatif jumlah lembaga pendidikan madrasah mulai tingkat taman kanak-kanak/raudlatul athfal, madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, dan madrasah aliyah mencapai 76.551, adapun jumlah guru madrasah terdapat 1.077.606 orang, serta jumlah siswa madrasah mencapai 7.388.633. Data kuantitatif madrasah tersebut yang dimiliki swasta mencapai 94,93 persen dikelola oleh masyarakat, sedangkan sisanya 5,07 persen adalah madrasah negeri. Adapun jumlah pendidikan madrasah diniyah yang banyak dibidani oleh pondok pesantren sejumlah 84.000 murni partisipasi masyarakat. Jumlah pondok pesantren mencapai 27.230, sedang jumlah santri mencapai 3.759.198 orang.

Gus Athoillah S Anwar sebagai salah satu pengasuh Ponsok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur pernah menuturkan bahwa yang patut menjadi perhatian negara terhadap keberadaan pesantren yang secara mandiri dikelola masyarakat dan mampu bertahan sejak tahun 1910 sampai sekarang adalah terkait dengan eksistensi pendidikan diniyah itu sendiri.

Ponpes Lirboyo yang memiliki corak atau genre pengusaaan ilmu alat (istilah pesantren) ilmu nahwu dan sharaf melalui kurikulum yang berbeda setiap jenjang. Tingkat ibtidaiyah (dasar) mata pelajaran ilmu nahwu, kitab pelajarannya kitab Al-‘Imrithi, Al-Jurumiyah, Al-‘Awamil, dan lain-lain.

Tingkat tsanawiyah (menengah) mata pelajaran ilmu nahwunya memakai kitab pelajarannya Al-Fiyah Ibnu Malik, kurikulum tingkat aliyah (atas) mata pelajaran tafsir mengunakan kitab Mukhtashor tafsir Ayatil Ahkam, pelajaran Hadis Aljami’us Shagir, dan pelajaran ilmu balaghah dengan kitab ‘Uqudul Juman.

PESANTREN LEBIH TINGGI

Pada aspek kurikulum ini ditemui di pesantren lebih tinggi dibanding dengan kurikulum yang diterapkan di perguruan tinggi Islam, sehingga tidak sedikit santri yang melanjutkan studi hanya mencari ijazah formal. Mengapa mereka hanya mencari ijazah formal, karena kelulusan sejumlah santri yang kini mencapai ± 16.000 santri Lirboyo, syahadah atau ijazah kelulusan mereka belum mendapat jaminan dapat melanjutkan ke semua pendidikan tinggi.

Meskipun Kementerian Agama RI telah memberikan pengakuan kesetaraan kepada alumni pondok pesantren, yang sering dikenal sebagai mu’adalah baik dengan madrasah aliyah maupun SMA. Sehingga alumni pesantren yang telah dimuadalahkan tersebut bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu perguruan tinggi, walaupun baru terbatas pada PTAIN dan masih sebatas Surat Keputusan Direktorat Jenderal. Harapan ke depan sesungguhnya regulasi ini menjamin kepastian ijazah produk pesantren salaf mendapat pengakuan yang bersifat permanen, tidak temporari.

Di samping persoalan kurikulum, dan ijazah, nampaknya pesantren yang day to day efektif sebagai media transformasi ilmu dari ulama ke masyarakat (tarbiyah wa ta’lim, atau ta’dib) juga memesankan jikalau ada prosedur standardisasi kompetensi supaya tidak disamakan antara pendidikan umum dan pesantren. Pada perkembangannya kini juga muncul pendidikan diniyah takmiliyah yang banyak dibidani oleh para alumni pesantren sebagai pelengkap bagi siswa pendidikan umum, meski keberadaanya terus mengalami peningkatan secara kuantitatif namun demikian secara kualitatif masih dirundung masalah kelembagaan, manajemen dan pembiayaan.

DIPANDANG PENTING

Berdasarkan landasan filosofis, yuridis dan sosiologis tersebut maka dipandang penting formulasi rancangan undang-undang ini yang diharapkan mengurai berbagai problem terutama dalam hal ini pendidikan diniyah pesantren yang 94 persen dikelola oleh masyarakat, dan secara tradisi keilmuan ingin bertahan dengan kekhasan yang sudah turun temurun dijalankan sembari beradaptasi dengan tuntutan modernitas.

Tuntutan modernitas itu terjadi seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta budaya masyarakat yang menunut semakin tinggi terhadap standar pendidikan. Oleh karena itu ruang lingkup pengaturan yang memungkinkan dapat dilakukan supaya ciri khas masing-masing pesantren dapat bertahan tetapi juga mampu beradaptasi dengan kebutuhan kekinian antara lain yaitu pengaturan manajemen yang profesional untuk menghasilkan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu dan berkualitas. Sebagai contoh pada aspek kelembagaan, meskipun dalam kesejarahannya keberadaan lembaga tersebut didirikan oleh kiai bersama masyarakat dalam perkembangannya meniscayakan melakukan penyesuaian secara prosedur legalitas formalnya.

Dari segi kurikulum, Fata Asyrofi Yahya dalam Jurnal el-Tarbawi 2015 menjelaskan, memang kurikulum pendidikan Islam yang paling variatif adalah pesantren. Mengingat adanya hak otonom kiai untuk memberi warna pesantren ilmu alat, pesantren fiqih, pesantren Al-Quran, pesantren hadis, pesantren tasawuf, dan pesantren balaghah, dan lain-lain, maka untuk mengukur kompetensi menyesuaikan dengan corak masing-miasng pesantren tersebut dengan penambahan kurikulum umum seperti pelajaran kewarganegaraan dan bahasa Indonesia.

LEMBAGA PENDIDIKAN

Demikian halnya dari aspek pendanaan lembaga pendidikan keagamaan dan pesantren masih mandiri dalam memenuhi operasional penyelenggaraan. Terdapat pula yang mendapat fasilitasi dari Bantuan Operasional Sekolah baik dari pemerintah pusat dan daerah namun belum bisa secara maksimal mengcover sehingga dalam hal tertentu output kelulusan masih di bawah standar.

Supaya iktikad baik menempatkan penyelenggaraan pendidikan diniyah dan pesantren ini dalam pusaran perhatian negara maka secara internal diharapkan tergerak untuk melakukan pembenahan-pembenahan melalui strategi-strategi baru yang menjanjikan masa depan, baik jaminan keilmuan, kepribadian, maupun keterampilan.

Di samping itu manajemen perencanaan secara detail patut dilakukan, supaya pengaturan yang diarahkan kepada manajemen mutu, kualitas peserta didik, sarana prasarana yang memadai dan kesadaran lingkungan bersih serta terjaminnya pembiayaan untuk mendukung keberlangsungan proses penyelenggaraan pendidikan dapat ter-connecting menjadi pembahasan dan keputusan politik dalam Rencana Stategis Pembangunan Nasional. (*)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *