oleh

PN KARAWANG TIDAK PERBOLEHKAN WARTAWAN MELIPUT SIDANG

Mintarsih
Mintarsih

POSKOTA.CO – Pengadilan Negeri (PN) Karawang pada (8/3/2016) lalu tidak mengizinkan wartawan untuk mengambil gambar dan berada di dalam ruang sidang dalam Gugatan Perkara 48/Pdt.G/2016/PN.KWG. Pihak penggugat, Mintarsih mengajukan perkara tanah dengan sertifikat atas nama Rosid bin Saijo yang tumpang-tindih diterbitkan pada tahun 2014.

“Sertifikat tahun 2014 ini dibuat atas dasar fotokopi sertifikat tanah sementara 50 tahun silam, yang diganti dengan sertifikat pengganti yang asli. Fotokopi sertifikat sementara tidak disertai adanya surat laporan hilangnya sertifikat sementara ke kepolisian. Kemudian dilakukan penunjukan letak tanah oleh tergugat, tanpa dilakukan plotting oleh BPN Karawang,” kata Mintarsih, Kamis (16/3).

Sampai pihak BPN Karawang menyatakan di jawaban gugatan bahwa Badan Pertanahan Nasiona (BPN) tidak dapat mengerti mengapa tergugat menunjuk tanah yang tumpang-tindih. Pada sertifikat tergugat tercantum nama-nama pemilik tanah perbatasan.

“Namun nama-nama pemilik tanah perbatasan yang tercantum di sertifikat tergugat berbeda dengan fakta pemilik tanah perbatasan, sehingga lokasi tanah tergugat dengan sendirinya terbukti salah letak. Sedangkan nama-nama pemilik tanah perbatasan dari sertifikat penggugat sama dengan fakta nama pemilik di lapangan,” ujarnya.

Sementara Mintarsih sebagai penggugat juga mengungkapkan beberapa kejanggalan dalam jalannya persidangan. Pengacara dari penggugat tanpa seizin penggugat membuat perubahan gugatan yang mengajukan sita jaminan bukan terhadap sertifikat pihak tergugat, namun justru sita jaminan terhadap sertifikat penggugat.

“Pada sidang terakhir, majelis hakim telah memberikan kesempatan untuk menyerahkan tambahan alat bukti. Namun penggugat kecewa sekali saat salah seorang dari majelis hakim menyatakan bahwa penggugat tidak boleh menyerahkan alat bukti berupa DPPKAD tahun 2002, sedangkan DPPKAD tahun 2012 diminta untuk dicoret,” ungkap Mintarsih.

Alasan yang dikemukakan adalah, bahwa Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) tahun 2002 yang ada di kelurahan telah dijadikan alat bukti oleh pihak tergugat. Padahal penggugat akan memberikan komentar yang berbeda. Pihak tergugat memberikan komentar bahwa sertifikat tergugat ada di peta. Sedangkan penggugat akan memberikan komentar bahwa lokasi sengketa ada digambar dengan kode 1 (yang tercantum di angka terakhir PBB penggugat) yang berarti bahwa pemiliknya adalah penggugat.

“Sedangkan angka PBB terakhir dari tergugat bernomor 64, yang berarti bahwa pada tahun 2002 lokasi tanah tergugat tidak berada di tanah sengketa, dan tidak terdaftar di peta yang dijadikan alat bukti,” kata Mintarsih yang juga seorang psikolog kondang ini.

Lain halnya dengan DPPKAD tahun 2012, di mana hakim meminta agar DPPKAD tersebut dicoret, karena saksi yang ada adalah saksi dari kelurahan, dan bukan dari DPPKAD. Hakim tidak mengakui adanya fotokopi yang ditulis sesuai aslinya, namun meminta kesaksian dari petugas di DPPKAD, sedangkan DPPKAD meminta agar saksi diwakili oleh kelurahan setempat.
Sebagai gantinya, hakim memperbolehkan untuk memberikan komentar di kesimpulan, namun penggugat khawatir bahwa memberikan kesimpulan tanpa memberikan alat bukti keabsahannya kurang. Berbagai kejanggalan sudah terjadi dalam persidangan kasus Gugatan Perkara 48/Pdt.G/2016/PN.KWG di Pengadilan Negeri Karawang.

“Dari mulai sidang yang tertutup dan tidak boleh di-publish oleh media, hingga sikap pengacara penggugat yang sepertinya malah memihak kepada pihak tergugat. Menjadikan persidangan ini penuh dengan tanda tanya, dan aroma konspirasi oleh para penegak hukum di Pengadilan Negeri Karawang,” ujarnya. (*/dade/rel)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *