oleh

Setara Institute: Kesampingkan HAM, Potensi Kekerasan Berlanjut di Papua

POSKOTA.CO – Setara Insitute mengingatkan agar duka akibat konflik tidak menimbulkan spiral kekerasan yang terus berlanjut dan mengakibatkan semakin banyaknya korban berjatuhan, terutama dari masyarakat sipil. Contoh, peristiwa Minggu (25/4/2021), di Papua membuat kita kembali berduka atas gugurnya putra terbaik Indonesia Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Daerah (Kabinda) Papua Mayjen Putu I Gusti Putu Danny Nugraha yang ditembak Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

Wakil ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos merespons pernyataan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, yang meminta aparat keamanan menurunkan kekuatan penuh dan menumpas habis KKB di Papua. Bambang juga minta meletakkan urusan HAM sebagai urusan belakangan.

Munurut Bonar Tigur, ini justru dapat memicu berkembangnya spiral kekerasan dan kompleksitas persoalan konflik di Papua. Berkembangnya spiral kekerasan, lanjut Tigor, hanya akan mengakibatkan semakin banyaknya korban berjatuhan, terutama dari masyarakat sipil.

Seperti peristiwa Kamis (8/4/2021), dua orang guru SD juga menjadi korban penembakan karena dianggap sebagai pendatang yang bertugas sebagai mata-mata. “Berbagai kasus penembakan yang memakan korban jiwa, terutama dari masyarakat sipil. Ini semakin memperlihatkan pendekatan keamanan tidak menjadi jawaban atas persoalan konflik di tanah Papua,” ujar Bonar Tigor Naipospos dalam siaran pers, Selasa (27/4/2021).

Sementara peneliti HAM dan sektor keamanan Setara Institute, Ikhsan Yosarie, mengatakan, meletakkan HAM sebagai urusan belakangan, secara eksplisit tidak kondusif terhadap penyelesaian konflik Papua. Pendekatan halus (soft approach) dalam bentuk negosiasi seperti yang dilakukan terhadap GAM di Aceh seharusnya dapat menjadi pembelajaran.

Terlebih, para aktor yang terlibat ketika itu masih dapat dijumpai. Dijelaskan Ikhsan, melalui strategi ini kelompok eks kombatan GAM yang dipimpin Din Minimi telah menyerahkan diri pada 2015 lalu.

Penyerahan diri Din Minimi itu kemudian diikuti oleh 120 orang anak buahnya dan menyerahkan persenjataan yang mereka pegang. Dengan demikian, penyelesaian konflik dapat dilakukan tanpa memakan korban jiwa lagi, terutama dari masyarakat sipil.

Setara Institute mendesak, agar penyelesaian konflik di Papua, diawali oleh kedua belah pihak untuk melakukan kesepakatan penghentian permusuhan (cessation of hostilities) agar dialog mencari jalan damai dapat dilakukan dan mengedepankan penegakan hukum. Upaya perlu dilakukan untuk mengeliminasi kekuatan bersenjata sebagai sarana solutif, penyelesaian, ataupun pemecah masalah keamanan. (omi)

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *