oleh

Wajib Ghirah untuk Membela Tanah Air

RASULULLAH Shalallahu Alaihi Wasallam telah bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt. cemburu, begitu pula orang mukmin.
Cemburunya Allah ialah bilamana orang mukmin mengerjakan perkara yang diharamkan oleh-Nya.
Sesungguhnya tidak akan dapat masuk surga kecuali jiwa yang muslim (berserah diri kepada Allah)”. (HR. Bukhari & Muslim melalui Abu Hurairah r.a.).

Dalam hadits lain beliau Saw telah bersabda, “Ghiirah (cemburu) merupakan sebagian dari iman. Mempermainkan (wanita) merupakan sebagian dari nifak.” (HR. ad-Dailami).

Ghirah adalah harga diri (al-anfah) dan fanatisme (al-hamiyyah), juga berarti mencegah (al-man’u), maka dapat diketahui bahwa ghirah adalah reaksi dalam hati, emosi dalam jiwa, dan kemarahan yang mendorong seseorang mempertahankan buminya, kehormatannya, dan hartanya ketika diserang penyerang, perampok, begal.

Allah menciptakan manusia dan membuatnya mencintai bumi tempat di mana kita kidup. Allah juga mensyariatkan untuk mempertahankan bumi itu jika mendapat serangan. Bahkan, Allah mewajibkan hal itu. Itu adalah fardhu ‘ain atas semua yang tinggal di atas bumi ini dan di sebelahnya ketika bumi tersebut mendapat serangan dari mana saja dan apa saja.

Islam mengakui adanya ghirah terhadap tanah air dan mewajibkannya. Sebagaimana Allah berfirman, “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir”. (al-Baqarah: 191).

Dalam firman-Nya yang lain dinyatakan, “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagian kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”(al-Mumtahanah: 9).

Ayat di atas sungguh melarang membantu orang dan musuh yang menyerang bumi dan tanah air, juga mewajibkan memerangi mereka dan mengusirnya dari tanah air kita. Allah mengizinkan pada kita yang di usir dari rumah-‘rumah kita untuk memerangi orang-‘orang yang mengusir kita.

Allah Swt. berfirman, “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu. (Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata, ‘Tuhan kami hanyalah Allah’. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (al-Hajj: 39-40).

Islam telah mensyariatkan membela dan mempertahankan tanah air. Ayat-ayat suci Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi datang untuk menanamkan rasa ghirah terhadap tanah air dalam diri kaum muslimin. Islam juga mensyariatkan perang untuk membebaskan, membela, dan mempertahankan tanah air.

Allah telah mewajibkannya pada setiap muslim lelaki dan wanita ketika dalam kondisi mengusir musuh dan menolak penjajahan atas tanah air. Para fuqaha (ahli fiqih) telah sepakat bahwa jihad adalah perang itu hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap umat Islam, lelaki dan wanita, jika ada musuh menduduki satu jengkal saja dari tanah air kita. Dalam keadaan seperti itu, seorang anak harus keluar berperang tanpa perlu izin pada orang tuanya. Istri keluar berperang tanpa izin suaminya. Orang yang berhutang keluar tanpa izin orang yang diutangi. Orang yang disewa keluar tanpa perlu izin pada orang tempatnya bekerja.

Maka, kewajiban kita adalah menumbuhkan kembali ruh berkorban dalam jiwa seluruh umat Islam, juga menyalakan api ghirah dalam diri kita masing-masing terhadap tanah air kita.

Jihad adalah ghirah terhadap tanah air. Maka, harus menyebar dan terus berlangsung sampai seluruh tanah air kita terbebaskan dari segala bentuk penjajahan.

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam telah bersabda, “Dua mata yang diharamkan dari api neraka, yaitu mata yang menangis karena takut kepada Allah, dan mata yang menjaga serta mengawasi Islam dan ummatnya dari (gangguan) kaum kafir.” (HR. Bukhari).

Dalam hadits yang.lain beliau SAW bersabda, “Berangkat pagi atau sore hari untuk berjuang di jalan Allah (pahalanya) lebih baik dari pada dunia dan seisinya.” (HR. Syaikhan).

Pahala berjihad di jalan Allah sangat besar sehingga baru berangkatnya saja pelakunya telah diberi pahala yang jauh lebih baik daripada dunia dan seisinya. Terlebih lagi jika orang yang bersangkutan memasuki pertempuran lalu gugur dalam membela agama Allah, maka tidak ada pahala yang layak baginya selain dari surga.

Dan dalam hadits yang lain beliau SAW. telah bersabda, “Manusia yang mati syahid itu ada lima macam, yaitu: orang yang mati karena tha’un; orang yang mati karena penyakit perut; orang yang mati karena tenggelam; orang yang mati karena tertimpa barang berat; dan orang yang mati syahid di jalan Allah.” (HR. Bukhari & Muslim melalui Abu Hurairah r.a.).

Yang dimaksud dengan pengertian syuhada dalam hadits ini ialah mencakup syahid akhirat dan syahid dunia akhirat. Adapun orang-orang yang mati secara syahid akhirat, prediket syahidnya itu hanya disaksikan oleh malaikat saja, sedangkan orang yang mati syahid dalam medan jihad, prediketnya itu disaksikan oleh manusia dan para malaikat. Orang yang mati syahid akhirat jenazahnya diperlakukan sama dengan orang-orang yang mati biasa, sedangkan orang yang mati syahid dunia akhirat, dikebumikan dengan pakaian yang dipakainya walaupun berlumuran darah, dan tidak usah dimandikan serta disalatkan lagi.

Oleh karena itu, dalam hadits ini ungkapan orang yang mati syahid di jalan Allah memakai Al-Syamsyiyyah yang artinya menunjukkan makna takhshish, yakni orang yang benar-benar mati syahid ialah orang yang gugur di jalan Allah dalam membela kebenaran. Sedangkan orang yang mati karena penyakit tha’un, penyakit perut, orang yang mati tenggelam, serta orang yang mati karena tertimpa reruntuhan, ungkapannya tidak demikian karena semuanya itu hanya syahid akhirat.
Wallahu A’lam
bish-Shawabi.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *