oleh

‘SING WEDI KALAH MULAI NGRUWET’

Brigjen Pol Crisnanda Dwi Laksana

POSKOTA.CO – Situasi dan kondisi yang semakin baik, semakin waras, tidaklah disukai semua golongan. Terutama kaum yang mapan, nyaman dan mreman (bekerja ala preman). Di kala kondisi semrawut banyak keuntungan yang dipanennya dari kegaduhan dan berbagai konflik.

Preman jago mengamankan, sekaligus jago merusak tatanan keteraturan. Tak sedikit kondisi nyaman waras diaduk-aduk untuk menjadi objek keahliannya. Waras memang bukan kata yang sulit diucapkan, namun berat dilakukan.

Tatkala kondisi gila tidak ada rasa sakit apa pun di fisiknya. Bahkan makan sampah pun bisa dinikmatinya. Yang merasa sakit hanyalah orang waras. Tatkala merasakan ada sesuatu yang tidak benar saja orang-orang waras pasti teriak. Kesrunggo/kesusupan barang kecil di bawah kulit. Sliliden atau sesuatu benda kecil nyelip di antara gigi bahkan kliliben (ada benda kecil masuk mata) pasti sudah banyak langkah yang dilakukan.

Tahun politik tahun berebut kekuasaan. Rakyat jadi objek dan pijakan untuk naik tahta kekuasaan. Para bapak bangsa sudah sangat paham masa depan bangsa ini, dan beliau-beliau sudah mencanangkan kalimat saktinya dalam konstitusi dan dasar-dasar negara ini. Salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tatkala rakyat cerdas tidak mudah diajak gila oleh kaum-kaum yang takut kalah kaum-kaum mapan aman, nyaman dan mreman. Mereka sangat fasih dalam memanfaatkan primordial sebagai jaran keplakannya. Banyak taburan kebencian, berita-berita hoax, penilaian subjektif bahkan terang-terangan melecehkan para bapa bangsa maupun konstitusi negara. Dengan berbagai dalih pembenaran. Belum lagi membangkitkan PKI sebagai tameng dan isu pembunuhan karakter.

Bisa dibayangkan tatkala cara-cara menggilakan dan nggilani ini berkuasa tentu berbagai ketidakwarasan akan terus dipelihara. “Yang penting menang senang persetan orang susah”, salah satu penggalan syair lagu Iwan Fals yang berjudul ‘Bento’.

Cara-cara ndoro lagi-lagi juga dipamerkan petentang-petenteng siung e di umuk umuk ake. “Owung kok ngewak ewak ake koyo-koyo negoro iku duwek e”, salah satu penggalan lagu dari latar musik monolog ‘Raja Rimba Jadi Pawang’ yang dinyanyikan Jaduk Feriyanto.

Sekarang ini memang banyak ketidakwarasan ditaburkan. Membodoh-bodohi bangsanya sendiri kok tidak malu, kok tidak merasa bersalah, kok juga bangga pamer ketololannya. Kekuasaan penguasaan yang ujung-ujungnya ya ngarit. Siapa saja diatasnamakan, bahkan bisa dipakai sebagai atas nama dan pembenaran-pembenaran.

Mengapa kaum pengecut dan penakut ikut bertanding? Apakah mereka takut fair, takut waras sehingga tersus menjaga dan menggilakan rakyat dengan cara-caranya. Memang kaum penakut dan pengecut selalu lempar hoax sembunyi akun. Menabur kebencian dalam ladang kewarasan. Menyeret-menyeret primordial di ajang politik kian memamerkan ketololan kok ya dibanggakan.

Politik uang kecurangan adalah penggilaan dan pembodohan rakyatnya yang berarti mengkhianati para bapak bangsa yang berjuang mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. (*)

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *