oleh

Peradilan Sosial: Hakim Mainan yang Main Hakim Sendiri?

POSKOTA.CO – Peradilan sosial, istilah yang diberikan para kaum yang bukan hakim tidak belajar hukum tetapi menjustifikasi, menyalahkan memberi label tanpa bukti. Bahkan katanya katanya dan katanyapun secara informasi bisa didistorsi dengan pendapatnya sendiri kadang dengan gaya sok tahu, kemlinthi menyudut nyudutkan secara subyektif.

Peradilan sosial ini tanpa sadar menjadi candu dan kesenangan siapa saja yg hobi ngrumpi, ngobos sana sini. Apa yg dibahas ? Mostly :” kejelekan atau kesalahan orang lain”. Semua bisa dibahas. Dari yg bersifat pribadi sampai yg umum bs menjadi sasaran.

Keyakinan keagamaan pun bisa dibahas, beragama tertentu bisa juga disebarkan menjadi penganut aliran aliran tertentu. Memasang benda benda seni dilabel klenik. Jangankan salah benarpun disalahkan.

Dari yg sok bersih, sok suci sampai disumpahi:” biar mati dengan idealisnya”. Nampaknya lucu namun ini terjadi dan benar ada. Apalagi tatkala muncul perebutan sumber daya. Hakim hakim yang bukan hakim akan bermain main hakim hakiman dg menghakimi sendiri.

Peradilan sosial di era post truth akan semakin subur. Berita hoax saja bisa menjadi bahan membuli. Hakim hakim peradilan sosial ini lama lama semacam orang yg selalu ingin tampil beda. Apa saja bs disalahkan. Di matanya hanya salah, jelek buruk.

Kaum sms : ” senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang”. Gosip ” semakin digosok semakin sim”. Kaum model spt ini komunikasinya menjadi komporgas bagi lahirnya konflik atau menumbuhkan kebencian. Bisa saja dicap provokatif.

Tentu saja mereka ini kaum parasit yg hidupnya menjual keburukkan di mata dan hatinya susah menemukan kebaikan orang. Semua dituding ini itu dan seakan mjd sang hyang menangan. Kalau menyudutkan sll nomor satu kalau tersudut mengiba iba. Ini suatu proses pwmbodohan dan sakit jiwa sosial, yg kontra produktif dg pembangunan peradaban.

Peradilan sosial di era medsos semakin liar bahkan tanpa kendali. Apa saja dicela. Bahkan tatakrama nilai nilai kemanusiaan ditabrak semua. Walaupun dalam kata suara atau rupa namun kebusukan nya perusakan peradabannya sangat nampak. Candu sosial ini tatkala tanpa pertanggungjwaban maka cepat atau lambat akan merusak peradaban. Baik buruk sama saja semua dianggap salah.

Dari virtual bisa ke aktual. Dari jiwa besar dapat rontok. Sadar atau tidak tatkala label bagi netizen yg dikatakan tdk lagi memiliki etika, atau lunturnya tata krama ini sebenarnya bau busuk kentut virtualnya sdh merusak keteraturan dalam media sosial. Tatkala diminta pertanggungjawaban lagi lagi muncul sikap penakut dan pengecut mengiba iba minta maaf hingga minta dikasihani.(CDL) Jkt 17 April 2021

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *