oleh

Introspeksi atau Muhasabah

ALLAH Subhanahu Wata’ala telah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr, 59:18).

Dalam Islam muhasabah ini bertujuan untuk memperbaiki hubungan kepada Allah (hablumminallah), hubungan kepada sesama manusia (habluminannas), serta hubungan dengan diri sendiri (hablumminannafsi). Hidup di dunia sangat singkat. Jauh berbeda dengan kehidupan akhirat yang kekal. Kehidupan yang kita jalani saat ini pun akan menentukan bagaimana kehidupan di akhirat kelak. Apakah kehidupan baik masuk surga, atau kehidupan buruk dan masuk neraka.

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, telah bersabda, “Ada dua nikmat yang selalu memperdaya kebanyakan manusia yaitu, sehat dan waktu senggang”.(HR. Bukhari).

Dikatakan demikian karena kebanyakan manusia apabila dianugerahi sehat oleh Allah Swt., ia lupa kepada-Nya dan tidak membuat bekal yang bermanfaat baginya di hari kemudian, yaitu di akhirat nanti. Begitu pula orang yang mempunyai waktu senggang atau waktu menganggur, ia tidak menggunakannya untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya di hari kiamat nanti.

Introspeksi atau muhasabah adalah salah satu bentuk penghitungan diri, dan merupakan alat penting bagi manusia dalam memperbaiki kesalahan-kesalahannya. Bila kita tidak mempunyai penasihat dari dalam dirinya, maka nasihat apa pun tidak bermanfaat baginya. Bila orang tidak mau menerima kritikan dari nuraninya sendiri, maka ia tidak akan dapat menerimanya dari orang lain. Dialah yang lebih mengenal dirinya, jauh melebihi siapa pun.

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam telah bersabda, “Mintalah fatwa (keterangan hukum) kepada hati dan nafsumu. Kebajikan ialah apa yang menyebabkan jiwa dan hati tentram kepadanya, sedangkan dosa ialah apa yang merisaukan jiwa dan menyebabkan ganjalan dalam dada walaupun orang-orang meminta atau memberi fatwa kepadamu.” (HR. Muslim). Dalam hadits yang lain Nabi Muhammad Saw. telah bersabda, “Barangsiapa tidak mempunyai penasihat dari dalam dirinya maka tidak akan bermanfaat baginya semua nasihat.”

Juga Nabi Muhammad Saw. telah bersabda, “Gunakan lima perkara sebelum lima perkara lainnya, yaitu: hidupmu sebelum matimu, sehatmu sebelum sakitmu; senggangmu sebelum sibukmu; mudamu sebelum tuamu; kayamu sebelum miskinmu.” (HR. Baihaqi melalui Ibnu Abbas r.a.).

Makna hadits ini menganjurkan agar kita menggunakan kesempatan-kesempatan yang baik untuk mengerjakan amal saleh sebanyak-banyaknya agar di kala kesempatan itu tidak ada maka kita tidak kecewa karena kepergiannya. Untuk itu disebutkan, ingatlah lima perkara sebelum datang lima perkara lain yang menjadi lawannya. Ingatlah dalam masa hidupmu sebelum matimu, yaitu dengan memperbanyak amal saleh untuk bekal di hari kemudian sesudah mati.

Ingatlah dalam masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu. Atau dengan kata lain gunakan masa sehatmu itu untuk beribadah dengan giat dan rajin mencari penghidupan sebelum datang masa sakitmu. Jika seseorang terkena sakit, maka ia tidak lagi mampu mengerjakan amal-amal sunah dan tidak mampu lagi berusaha mencari penghidupan. Isilah masa senggangmu dengan banyak melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratmu, sebelum datang masa sibukmu. Gunakanlah masa mudamu untuk rajin bekerja, beribadah, dan menolong orang lain, sebelum datang masa tuamu (pikun). Dan beramallah di masa kayamu dengan banyak bersedekah dan membantu orang-orang miskin, sebelum datang masa miskinmu.

Sesungguhnya yang dituntut dari setiap muslim adalah hendaknya ia meneliti dirinya dalam apa saja yang akan keluar dari dirinya, baik perkataan maupun perbuatan. Jika baik, ia teruskan. Jika tidak baik, ia hentikan. Oleh karena itu, jadikanlah nurani kita sebagai alat introspeksi dan memperbaiki kesalahan-kesalahan dìri. Karena, meskipun kita hendak mengajukan alasan untuk tidak membersihkan jiwa, namun nurani kita mengetahuinya, sehingga kita tidak mungkin mengelak.

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, telah bersabda, “Kerjakanlah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup untuk selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok.” (HR. Ibnu Asakir).

Makna hadits ini yaitu, bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau masih punya banyak waktu untuk mendapatkannya; dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau tidak punya waktu lagi untuk menangguhkannya. Ungkapan ini dimaksudkan untuk mengingatkan manusia yang sering melalaikan tujuan hidupnya karena kesibukannya dalam mengumpulkan harta duniawi dan bermegah-megahan.

Setiap muslim harus menanyakan pada dirinya apa yang hendak dicari di balik segala sesuatu yang akan dilakukan. Jika yang diharapkan adalah meraih ridha Allah dan menjauhi murka-Nya, maka teruskanlah apa yang akan ia lakukan. Dan, hendaknya ia memanjatkan puji bagi Allah atas taufik-Nya itu. Jika tidak demikian, maka luruskanlah niat dulu agar amal diterima.

Allah subhanahu wata’ala telah berfirman, “Bahkan manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri; dan meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS, Al-Qiyâmah, 75: 14-15). Juga dalam firman-Nya yang lain, “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya; dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya); kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.” (QS, An-Najm, 53:39-41). Wallahu A’lam Bish Shawabi.

*Penulis adalah Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung
* Anggota Pengurus Besar Al Washliyah.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *