oleh

Media Cetak, Berubah atau Tergilas Zaman

POSKOTA.CO – PAGI ini ada yang berubah dari Jawa Pos Minggu. Mata saya langsung tertuju kepada koran bermarkas di Surabaya, Jawa Timur (Jatim) ini. Koran yang satu ini meredesain cover-nya menjadi lebih ramping. Dari yang sebelumnya berukuran young broadsheet dengan lebar 7 kolom tinggi 554 mm menjadi lebar 5 kolom tingginya 300 mm.
Ukuran baru ini adalah format praktis ketika Jawa Pos dilipat.

Edisi minggu ini menjadi separo ukuran Jawa Pos edisi Senin sampai Sabtu. Jawa Pos Minggu mirip tabloid. Koran Tempo sudah lebih dulu mengubah cover-nya. Bagi Jawa Pos tidak ada istilah terlambat untuk meredesain tampilan tersebut.

Seperti biasa pagi ini saya bergegas ke Kebon Raya Bogor untuk berjogging: menjaga kebugaran tubuh mengingat usia yang tidak muda lagi. Dan, tampilan Jawa Pos Minggu itu menjadi perhatian saya ketika Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line belum merapat di Stasiun Depok, Jawa Barat. Ya, kereta belum terlambat!

Di pengantar redaksi Jawa Pos Minggu yang termuat di halaman 15 disebutkan bahwa Jawa Pos Minggu yang dicetak 64 halaman atau setara 32 halaman edisi weekday diakui atau tidak mengikuti habit koran-koran negara maju seperti The Straits Times yang biasa terbit lebih dari 100 halaman untuk edisi Sunday. Demikian juga The Washington Post maupun The Sun. Jumlah halamannya rata-rata dua kali lipat lebih banyak dibandingkan edisi Senin hingga Sabtu.

Perubahan tampilan Jawa Pos Minggu bukan sesuatu yang terlambat. Koran memang harus berubah. Tidak lagi berkutat dengan halaman lebar yang kadang menyulitkan ketika terpaksa harus dibaca dalam gerbong kereta. Di tengah himpitan penumpang kereta, format koran yang lebih ramping agaknya bisa menjadi teman perjalanan yang mengasikan meski diakui serbuan media online yang dapat diutak-atik melalui jari jemari di gadget tidak kalah hebatnya.

Di tengah menguatnya budaya siber (cyberculture) di mana orang tidak lagi tergantung kepada media cetak seperti koran misalnya; orang mulai terbiasa bangun tidur lalu mencari telepon genggam atau gadget untuk mengabari dirinya melalui mengetik status atau kerajingan melihat status teman-temannya maka tiada pilihan lain bagi media cetak untuk mau tidak mau mengikuti perubahan karakter pembaca tersebut.

Shawn Wilbur (1997) menjelaskan bahwa melalui fasilitas web memungkinkan adanya kontak yang halus (ethereal contact) bahwa seseorang akan menemukan efek dalam kehidupan mereka ketika berhubungan dengan cyberspace. Sebab, karakteristik dunia virtuall bisa menghasilkan efek dan di sisi lain ia juga menjadikan dirinya sebagai sebuah efek.

Hubungan antarindividu di dunia virtual bukanlah sekadar hubungan yang dikatakan sebagai “substanceless hallucination” semata; pada dasarnya hubungan tersebut ternyata secara nyata, memiliki arti dan juga bisa berdampak atau berlanjut pada kehidupan yang sesungguhnya. Dalam konteks ini maka cyberspace merupakan ruang konseptual di mana semua kata, hubungan manusia, data, kesejahteraan dan juga kekuatan dimanifestasikan oleh setiap orang melalui teknologi CMC atau Computer Mediated Communication.

Teman-teman saya di media cetak pasti mereka sadar akan hal tersebut di tengah-tengah banyak media cetak (terutama koran atau suratkabar) berhenti terbit, menyusutkan frekuensi terbit atau bertahan namun terus berkurang pendapatanya bahkan merugi. Ada koran yang terpaksa terbit hanya untuk memelihara hubungan dengan relasi atau sentimen koran: rugi rasanya jika tidak membaca koran ini, misalnya.

Jika ada ramalan bahwa media cetak akan punah, mungkin saja itu anggapan yang terlalu prematur. Karena media siber atau online yang mendewakan kecepatan informasi terkadang terjebak kepada kurang mendalam informasi yang disajikan. Bahkan, dalam beberapa kasus media online “keliru” dalam menyajikan berita yang kemudian diubah dalam berita lanjutannya.

Dari sisi jurnalistik, kehadiran media online telah memunculkan trend berita pendek, cepat namun kehilangan kedalaman dan konteks. Di tengah rimba berita dan informasi yang membuat orang mudah tersesat maka peran jurnalistik sebagai gatekeeper yang secara tradisional melekat dalam media cetak tetap dibutuhkan pembaca: memilih isu yang penting dan bermanfaat namun sekaligus menarik dan menghibur.

Yang pasti diakui atau tidak, media cetak (baca: koran) haruslah berubah lebih inovatif agar survive. Beberapa studi kasus di Amerika Serikat, koran bisa bertahan dan bahkan berkembang di tengah era digital.

Ada beberapa hal yang patut dicermati pengelola media cetak dalam konteks di atas.
Pertama, tiada pilihan lain bagi media cetak untuk memperkuat kualitas jurnalistik. Koran yang bisa bertahan dengan memperkuat mutu jurnalistik bahkan menemukan diri lebih menonjol ketika banyak pesaing tumbang secara bisnis terengah-engah atau mengabaikan kualitas jurnalistik demi mengerahkan Sebagian besar resources ke digital. Memanfaatkan kelemahan media online menjadi salah satu untuk mengubah diri.

Kedua, sudah saatnya media cetak membuat sinergi optimal dengan media online. Artinya, media massa tidak saja mengandalkan media cetak tetapi ikut juga membangun media online. Artinya, kehadiran secara online dapat memperkuat brand edisi cetak sekaligus meningkarkan value iklannya. Potensial menangguk pendapatan dari cetak maupun online sekaligus. Sejumlah media cetak sudah menerapkan konsep ini. Pemasang iklan dapat memasang iklan secara bersamaan di media cetak dan online. Sebuah sinergi positif yang dapat dilakukan agaknya.

Ketiga, media cetak juga harus mengintensifkan engagement dengan pembaca. Ini dapat diartikan membangun komunitas. Dalam beberapa hal itu berarti melayani minat/orientasi yang spesifik, lokal dan segmented. Koran umum yang sifatnya nasional akan overstretched dan kesulitan membangun keterikatan dengan pembaca yang makin terfragmentasi. Di Amerika Serikat, ketika banyak koran nasional dan negara bagian kolaps ternyata media cetak lokal justru meningkat pendapatannya dan menguntungkan. Inilah yang kemudian melahirkan Radar ala Jawa Pos atau Tribun ala Kompas.

Kembali kepada perubahan cover Jawa Pos Minggu pada hari ini maka hal itu adalah salah upaya untuk tetap eksis di tengan menjamurnya media online ibarat jamur di musim hujan. Tak ada kata lain selain berubah dan Jawa Pos Minggu sudah memilih itu: berubah semata-mata untuk pembaca yang dilayaninya. Bagaimana dengan media cetak (baca: koran) lainnya? Berubah atau lonceng kematian media cetak berbunyi!(norman meoko)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *