oleh

PEMIMPIN DAN KEBOHONGANNYA


Oleh: Rully Rahadian

“False words are not only evil in themselves, but they infect the soul with evil.” — Plato

BERBOHONG bukan hal yang langka dalam kehidupan keseharian kita. Perilaku yang seumur manusia ada di jagat raya hingga dunia habis masanya, ini tentunya merupakan perilaku buruk dan pastinya akan berdampak buruk bagi pelakunya cepat atau lambat. Setiap orang pasti pernah berbohong apa pun alasannya. Kadang ada pembenaran untuk berbohong dengan dalih ‘white lies’, atau kebohongan untuk kebaikan. Namun secara moral, apa pun itu alasannya, kebohongan tidak dibenarkan, karena kejujuran tetap lebih baik meskipun pahit.

Kebohongan tentunya akan berdampak langsung kepada pelakunya, karena secara logika, pelaku bohong apalagi yang sudah terbiasa menutupi suatu kondisi yang berulang dan tetap, akan merasa hal tersebut sudah bukanlah suatu kebohongan lagi. Pengulamgan tersebut akan mengendap dalam benak pelakunya, semakin lama semakin menebal, dan akhirnya dianggap sebuah kebenaran bagi dirinya.

Contoh, misalnya seorang pekerja freelance yang memgaku kantornya di sebuah gedung perkantoran bergengsi adalah miliknya secara pribadi, padahal ia mengontrak di lapak yang sederhana. Karena demi gengsi untuk menunjukkan bonafiditasnya, ia terus menerus berbohong yang pada akhirnya memiliki kantor di gedung perkantoran tersebut menjadi sebuah kebenaran bagi dirinya. Namun jika kita telaah, kebohongannya akan menjadi bumerang, karena ia akan selalu mencegah orang yang hendak berkunjung ke kantornya.

Kebiasaan berbohong ini bisa berujung berbagai masalah. Mungkin ada yang penasaran mendengar cerita orang tersebut yang begitu tinggi dan hebat, akhirnya mengikuti diam-diam untuk tahu lebih jelas siapa orang tersebut sebenarnya. Setelah tahu, mungkin saja orang yang menguntit tersebut kesal kemudian disebarkan ke komunitas atau jaringan koneksinya. Ketika orang tersebut kembali berucap, mungkin beragam pula tindakan yang mendengarnya. Ada yang bersikap frontal menelanjanginya, ada pula yang diam tapi menyimpan lalu menyebarkan cerita ini ke mana-mana, sehingga menutup akses jaringan yang dibangunnya. Sungguh merugikan diri sendiri.

Kebohongan pun tidak memilih bulu. Dari kalangan mana pun, kebohongan tetap ada. Bahkan di level masyarakat sosial menengah atas pun terjadi. Bahayanya jika kebohongan ini menghinggapi benak para pemimpin dari lembaga atau organisasi apa pun itu. Jika seorang pemimpin sudah berkarakter pembohong tentunya akan membahayakan kelompok yang dipimpinnya, termasuk dirinya sendiri.

Pemimpin adalah seorang yang menjadi panutan. Apa pun yang diucapkan dan dilakukan seorang pemimpin adalah contoh bagi kelompoknya. Sedangkan sikap dan ucapan secara kolektif dari sebuah kelompok adalah merupakan representasi dari pemimpinnya. Jadi bisa kita bayangkan jika seorang pemimpin adalah seorang pembohong, apa yang bisa kita harapkan dari kinerjanya? Secara umum, seorang pemimpin yang jujur, lurus serta disiplin akan menunjukkan kinerja yang baik, dibanding kinerja seorang pemimpin yang bertabiat pembohong.

Berbagai teori kepemimpinan baik yang bersumber dari kearifan lokal, agama, para pemikir mancanegara, hampir tidak ada perbedaan dalam prinsip-prinsipnya, yaitu mengutamakan kejujuran sebagai sikap utama sebagai seorang pemimpin. Sunan Gunung Jati dalam petatah petitihnya, salah satunya berpesan, “Aja ilok gawe bobat” yang artinya jangan berbohong. Rasulullah SAW mewasiatkan sikap-sikap kepemimpinan yang salah satunya adalah, ‘amanah’ yang maknanya adalah menjaga kepercayaan masyarakat dalam bentuk kejujuran dan keterbukaan. Kemudian Baltasar Gracian pernah berkata bahwa, “suatu kebohongan menghancurkan seluruh reputasi integritas”. Jadi kita bisa melihat bahwa kejujuran adalah modal utama dalam sikap kepemimpinan.

Kembali lagi kepada sikap dan ucap seorang pemimpin, kejujuran merupakan kunci sukses seorang pemimpin. Pemimpin yang jujur meskipun tidak membuat berbagai karya monumental untuk dikenang, sikapnya sendiri merupakan monumen yang selalu dikenang, tidak pernah lekang ditelan zaman. Kebohongan seorang pemimpin adalah bumerang yang kelak menghantam kembali si pemimpin secara menyakitkan. Hujatan masyarakat yang mengetahui kebohongan tersebut seperti serangan rayap yang mengeroposi dari bawah sebuah bangunan kayu dengan cepat, sehingga bangunan tersebut roboh dan hancur berantakan.

Kebohongan bukan hal sederhana yang bisa kita anggap angin lalu. Akumulasi kebohongan yang terbangun untuk menutupi kebohongan-kebohongan sebelumnya akan bergerak menyelubungi si pemimpin dengan kabut gelap, sehingga mematikan rasa dan rasionya untuk berpikir dan merasa secara objektif, adil dan bijak. Pandangan secara objektif, sikap adil serta bijak adalah sebuah bentuk konsep pemikiran, yang ditansformasikan menjadi sebuah kebijakan yang dihasilkan oleh si pemimpin, dan bermanfaat untuk masyarakat kelompoknya. Pemimpin yang penuh kebohongan akan berpikir dengan subjektivitas yang tinggi, demi menyelamatkan dirinya melalui kebohongan untuk mengejar kepentingannya.

Kita sebagai bangsa yang besar, berbudaya adiluhung, tentunya berharap mempunyai pemimpin yang jujur dan amanah, serta jauh dari sikap berbohong. Indonesia adalah negara yang sangat kompleks dengan berbagai elemen penunjangnya, serta dengan posisi yang sangat rentan dari berbagai aspek baik internal maupun eksternal, membutuhkan sikap transparan dan kejujuran para pemimpinnya. Kejujuran para pemimpin sangat berpengaruh terhadap kemajuan bangsa dan negara kita ini. Apalagi masyarakat Indonesia semakin cerdas dan kritis, tidak bisa lagi dibohongi oleh hal-hal yang tidak masuk ke dalam logika dan penalaran mereka.

Berbohong sungguh sikap yang buruk dan bisa membawa keburukan bagi kita semua. Mari kita semua mulai membenahi diri dan belajar memeluk kejujuran dalam kehidupan kita. Menulis tentang kebohongan inipun diri saya sebagai penulis selalu terhenyak ketika membaca kata ‘bohong’. Berapa banyak kata bohong yang saya lakukan semasa hidup saya pun menjadi keresahan diri pribadi. Semakin ingat kata bohong yang pernah terucap, semakin malu diri ini mengingatnya.

Tulisan ini bukan bermaksud untuk mengajari itik berenang kepada yang membaca, namun sebagai pengingat kepada diri saya sendiri sebagai penulis agar terus belajar menghindari sikap berbohong.

Mari kita bersama-sama menjaga sikap dengan kejujuran, karena apa pun itu, meskipun kita pahit dalam menerimanya, kejujuran itu tetap akan lebih baik daripada kebohongan yang perlahan kelak akan menemggelamkan kita ke dalam kubangan yang hina dan memalukan. (Penulis adalah Ketua Lembaga Konservasi Budaya Indonesia)

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *