oleh

PARTA PORTE ‘ALA INDIAN’ TIDAK SEKADAR BISNIS CARI UNTUNG (Bagian 1) Oleh : dann julian

dann a4POSKOTA.CO – Ada ‘museum Indian’ di Bandung? Dimananya? Di Cihampelas. Itulah pasti kesan pertama wisatawan yang berkunjung ke Bandung, khususnya jika ke Cihampelas sebagai kawasan belanja legendaries Kota Kembang. Persis di seberang Fave Hotel yang megah, disana letak ‘museum India’ itu, namanya Parta Porte.

Disana dapat ditemui pernak pernik suku Indian, mulai berbagai model tas, baju, jaket, sepatu fringe, pendek kata replikasi barang-barang suku Indian, sampai ke manqué, totem, rompi Indian, senjata perang dan fashion khas Indian yang tradisional maupun yang modern.

Dan jangan kuatir, asesoris-asesoris itu kalau dikenakan menjadi nampak trendy, dan tentu saja unik dan eksentrik, sekalipun pemakainya seorang metrosexual. Ada juga hiasan dinding, gantungan kunci, gelang sampai anting-anting yang tersusun dirak-rak kayu seperti dalam film-film cowboy.

Suku Indian yang dikenal dekat dengan hal-hal mistis, juga ada di distro ini, misalnya, kalung yang diyakini sebagai pembawa keberuntungan bagi pemakainya. Kalung ini, aslinya berisi rempah-rempah pilihan. Juga ada kalung dream catcher yang dapat menangkal mimpi buruk pemakainya.

Semua ada di distro yang diberi nama Parte Porte ini. Selain di Cihampelas Bandung, distro Patra Potre juga ada di Taman Safari Puncak, dan di Eropa Barat, tepatnya di Belgia. Pendiri dan pemilik Porta Porte itu adalah Kusnandar,lelaki kalem dan tenang ini akrab dipanggil Nandar. Lelaki kelahiran Bandung berdarah Minang (bapak) dan Garut (ibu) ini ternyata memulai usaha khas Indian ini sejak masih SMA tahun 1984 di Bandung. “Mungkin sudah garis hidup saya menekuni bisnis Indian ini, dan saya sangat menikmatinya….,” kata Nandar kelahiran 20 Mei 1968 ini.

Bermula dari hobi lantaran Nandar suka menonton film-film yang banyak mempertontonkan suku Indian sejak usia 5 tahun. “Nggak tahu, ya, saya memang suka sekali menonton film-film yang menggambarkan suku Indian. Dulu ‘kan banyak film-film cowboy, dan tak bisa lepas dari penggambarkan suku Indian yang gagah berani. Meski saya sering kecewa, karena Indian sering disudutkan dan dalam penggambarannya dikesankan bodoh,” jelas Nandar,

Tak heran jika Nandar fasih bicara soal cowboy, menurutnya ada salah pengertian tentang cowboy. “Cowboy itu ada dua macam, yang profesi, yaitu cowboy yang suka duel dan tembak-tembakan. Ada real cowboy, yaitu cowboy penggembala sapi. Sementara Indian adalah suku pribumi. Dan Indian ini sebenarnya warnanya kulitnya macam-macam, meski sering disebut berkulit merah,” jelas Nandar.

Saking seringnya menonton film cowboy,ia pun iseng-iseng membuat kalung Indian, bros dan pernik-pernik kecil lainnya untuk dipakai sendiri. Barang-barang itu dibuat dari limbah kulit pengrajin kulit di sekitar rumahnya di Tegallega, Bandung. “Rumah saya tak jauh dari kawasan Cibaduyut,” terang Nandar. Seperti diketahui, Cibaduyut adalah centra pembuatan sepatu kulit yang sudah sangat terkenal dan melegenda.

Karyanya yang mulanya untuk menopang penampilannya dirinya sendiri itu ternyata menarik perhatian teman-teman sekolahnya,. Bahkan temannya tak keberatan jika harus membelinya, dan kemudian banyak yang memesannya. “Ketika pesanan mulai banyak saya mengajak beberapa teman untuk membantu membuatnya,” kenang Nandar.

Dari membuat asoseris itu semasa SMA itu Nandar sudah bisa mencari uang sendiri. Setelah lulus SMA ia meneruskan ke Seni Rupa ITB, tapi tak sampai setahun keluar. “Apa yang diajarkan disana sebenarnya saya sudah dapatkan dan parktikkan,” katanya di rumah produksinya jalan Rasdan, Tegallega.

dann d3

Faktor lain yang membuatnya ia memutuskan berhenti kuliah, ia sudah keasyikan bisa mencari uang sendiri. “Jadi saat itu saya berpikir, kenapa tidak saya kembangkan saja hobi saya membuat asesoris Indian? Toh, semuanya bisa dipelajari dengan otodidak. Dari sana titik tolaknya, maka jadilah berkembang seperti sekarang ini,” tegasnya.

Untuk mengembangkan hobinya menjadi wirausaha itu, ia menyadari sepenuhnya dibutuhkan tambahan ilmu yang tidak hanya didapat dari menonton film-film yang menampilkan Indian. Ia pun memburu literature yang berhubungan dengan Indian. Nandar mencari buku-buku atau kliping Indian kemana saja, bahkan di toko-toko buku loakan.

Ia melahap buku karya Karl May, penulis Jerman yang banyak melahirkan buku-buku petualangan, antara lain buku tentang Winnetou, kepala suku Apache, salah satu suku Indian yang paling terkenal. Buku itu memang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, dan laris. Hasilnya produk-produk Nandar bisa ikut pameran atau bazaar.
“Sejak SMA saya juga sudah mengumpulkan kliping tentang Indian. Dulu kan belum ada internet.

Bahkan saat itu kalau menonton film tentang Indian, saya memperhatikan detailnya dari asesoris atau baju yang mereka pakai,” tegasnya. Koleksinya tentang literature atau buku-buku Indian itu sampai kini masih dilakukan, demi untuk menopang bisnisnya.

Tak mengherankan jika pengetahuannya tentang Indian luar biasa, padahal suku Indian semakin hari semakin terkikis eksistensinya. Misalnya, dengan tangkas Nandar bisa menyebut daerah-daerah dan suku Indian dengan cepat. Ia pun hapal bagaimana sejarah 244 suku India yang lari ke Canada. Dan tentu saja filosofi suku-suku Indaian. Bahkan Nandar berani menampik teori dari Columbus tentang asal muasal kaum Indian.

“Teori Columbus punya kepentingan imperialis. Menurut saya asal usul suku Indian adalah yang menyebut bahwa suku Indian itu berasal dari Mongolia, karena ada beberapa persamaaan fisik budaya dan tradisi. Teori yang menyebut suku Indian berasal dari Mongolia tak punya kepentingan apa-apa, semata-mata sejarah dan didukung oleh sumber-sumber yang kuat,” jelas Nandar. (bersambung)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *