oleh

LSI DENNY JA UMUMKAN PERSENTASE KEMENANGAN HITUNG CEPAT PILGUB DI 10 PROVINSI

POSKOTA.CO – Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada 27 Juni 2018 baru saja selesai merupakan momen penting yang bukan saja buat rakyat dalam berdemokrasi, tapi juga penting buat sejumlah lembaga survei, termasuk Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA. Terutama, dalam konteks pertaruhan kredibilitas dan track record akademis yang harus dipertanggungjawabkan kepada publik, antara lain melalui publikasi hasil quick count (hitung cepat) yang akurat.

Toto Izul Fatah

Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Citra Komunikasi Lingkaran Survei Indonesia (LSI Network Denny JA) Toto Izul Fatah kepada pers di Jakarta, Jumat (29/6), menanggapi publikasi hasil quick count sejumlah lembaga survei dengan aneka kontroversinya mengingat Komisi Pemilihan Umum (KPU) di sejumlah daerah belum mengumumkan hasilnya secara resmi.

Dalam rangka pertanggungjawaban profesionalnya kepada publik tersebut, LSI Denny sebagai lembaga survei yang paling banyak menggelar quick count pada pilkada serentak 2018 ini, mengumumkan kepada seluruh rakyat Indonesia kemenangan para calon gubernur dan wakil gubernur di 10 provinsi se-Indonesia.

“Pengumuman ini dilakukan LSI Denny bukan dalam rangka gagah-gagahan, tapi sekali lagi, lebih dalam rangka pertanggungjawaban akademis, moral sekaligus profesional, bahwa yang kita lakukan melalui quick count ini tidak asal-asalan. Tidak karena pesanan dan lain-lain,” ungkapnya.

Menurut Toto, terlalu berisiko jika sebuah kerja ilmiah seperti quick count dibuat asal-asalan, apalagi tergantung pesanan. Sebab, bukan saja masa depan hidup mati lembaga yang harus dipertarungkan, tapi juga tanggung jawab akademisnya kepada publik. Paling tidak, dari lebih 200 kali LSI Denny JA melakukan quick count, belum pernah sekalipun meleset. Bahkan, ada yang sampai selisih 0,0 persen hasilnya dengan KPUD, yakni di Sumbawa Barat pada 2012 lalu.

Toto menyebutkan, quick count ke 10 provinsi yang dimaksud adalah, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Nusa Tengara Barat, Maluku, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara.

Adapun persentase kemenangan dan tingkat partisipasinya adalah sebagai berikut: Pertama, Jawa Barat (Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum dengan 32,98 persen, golput 30,86 persen); kedua, Jawa Tengah (Ganjar Pranowo-Taj Yasin dengan 58,26 persen, golput 35,47 persen); ketiga, Jawa Timur (Khofifah-Emil Elestianto Dardak dengan 54,29 persen, golput 34,49 persen); keempat, Sulawesi Selatan (Nurdin Abdullah-Andi Sudirman dengan 42,92 persen, golput 27,41 persen); kelima, NTB (Zulkieflimansyah-Siti Rohmi Djaillah dengan 30,84 persen, golput 24,15 persen).

Kemudian, keenam, Maluku (Murad Ismail-Barnabas Orno dengan 40,00 persen, golput 25,27 persen); ketujuh, Kalbar (Sutarmadji-Ria Norsan dengan 56,9 persen, golput 17,41 persen); kedelapan, Kaltim (Isran Noor-Hadi Mulyadi dengan 31,30 persen, golput 40,28 persen); kesembilan, Sumsel (Herman Deru-Mawardi Yahya dengan 35,28 persen, golput 30,17 persen); dan Kesepuluh, Sumatera Utara (Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah dengan 57,12 persen, golput 34,65 persen).

Jabar, Jatim dan Sumut Ketat
Menurut Toto, kesepuluh provinsi yang dimaksud tadi, presentasi kemenangannya diumumkan setelah data seluruhnya masuk hingga 100 persen. Secara umum, perolehan suara masing-masing pasangan calon, tak ada yang mengagetkan jika dibandingkan dengan rata-rata, dua kali survei yang dilakukan sebelumnya di provinsi tersebut. Kecuali, untuk wilayah-wilayah tertentu yang persaingannya memang cukup ketat seperti, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sumatera Utara.

“Secara umum, potensi kemenangan itu sudah terpotret dua sampai sebulan sebelumnya. Memang terjadi dinamika yang ketat dalam H-1 bulan sampai H-2 minggu. Tentu, dalam sisa waktu itu selalu terjadi migrasi suara, tergantung kecerdasan masing-masing pasangan dan timnya untuk memanfaatkan peluang waktu tersisa. Terutama, dalam wilayah-wilayah yang masih tinggi soft supporter-nya,” jelas Toto.

Ia menyebutkan, kasus Jawa Barat di mana Ridwan Kamil muncul sebagai pemenangnya versi quick count sejumlah lembaga survei, termasuk LSI Denny JA. Secara umum tak ada surprise, kemenangan pasangan ‘Rindu’ ini memang sudah terpotret satu dan dua bulan sebelumnya. Memang terjadi kenaikan cukup signifikan dari pasangan nomor urut 4, Sudrajat-Ahmad Syaikhu, dari sebelumnya 8,9 persen melesat ke 28,05 persen.

Namun, menurut Toto, dari hasil analisisnya, kenaikan signifikan pasangan ‘Asyik’ diduga lebih karena pasangan ini dapat limpahan berkah suara terbanyak dari kemerosotan dua pasang lainnya, yakni ‘Rindu’ yang Ridwan Kamil-nya diserang isu LGBT dalam H-1 bulan dengan cukup masif, dan ‘Dua DM’ yakni, Dedi Mulyadi-nya sebagai wakil diserang isu dukun dan fatwa ulama Purwakarta yang juga cukup masif.

Di samping itu, lanjut Toto, tentu juga tak dipungkiri adanya faktor sumbangan kemasan program yang cerdas dan masif dari pasangan ‘Asyik’, mulai dari mesin partai PKS sampai ke aneka testimoni sejumlah tokoh agama yang terang-terangan mengajak memilih pasangan nomor urut 3 seperti dari Ustaz Arifin Ilham, Mamah Dedeh, dan lainnya.

Kenapa limpahan suara lebih banyak ke ‘Asyik’, tidak ke ‘Hasanah’ nomor urut 2? Hal itu, menurut Toto, lebih karena pasangan ‘Asyik’ dianggap yang paling minimal resistensinya ketimbang ‘Hasanah’.

“Kalau melihat dari tracking survei LSI pada Maret dan Juni, kedua pasang, ‘Rindu’ dan Dua DM ini memang mengalami tren penurunan. ‘Rindu’ yang pada Maret 39 persen dan turun pada Juni ke 38 persen, lalu turun lagi ke 32 persen pada quick count kemarin. Begitu juga ‘Dua DM’ yang andalan pengumpul suaranya ada di Dedi Mulyadi, karena Deddy Mizwar sudah mentok, terjadi penurunan cukup drastis karena dua isu tadi,” ungkapnya.

Toto menegaskan, jika merujuk pada data survei, sekali lagi, siapa yang potensial menang dan kalah itu sudah bisa diprediksi. Soal terjadinya kasus kenaikan dan penurunan suara masing-masing calon pasti ada sebab dan alasannya yang logis seperti kasus Jawa Barat. Biasanya, hasil survei berbeda dengan hasil quick count karena dua faktor. Pertama, terjadi money politic. Kedua, jika ada tsunami politic seperti terkena kasus hukum dengan ditangkap KPK, isu perselingkuhan, serangan negative campaign terhadap personal figure, dan lain-lain. Namun, semua itu akan sangat tergantung kepada seberapa publik tahu dan yakin terhadap isu tersebut. (*)

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *