oleh

Kisah Menik Dalam Pelukan Bule —-oleh Wita–Bag. Pertama

Wita, penulis kisah nyata
Wita, penulis kisah nyata

“Wita, nanti aku jemput, ya.” Suara Menik di ujung sana Menik sahabatku. Perempuan hitam manis dengan rambut lurus pajang. Dia setinggi 170 cm. Lansing. Pantatnya sekal dan dianugerahi sepasang buah dada yang kemontokannya bisa saja memantik kecemburuan Nikita Myrzani.

“Kemana ?” “Kita jalan-jalan ke tempat yang adem.” kata Menik. “Oke, setelah urusan domestik-ku kelar yah. Pukul 11 siang.” Aku telah berteman dengan Menik selama 20 tahun. Jika dia mengajakku ke suatu tempat, itu hanya berarti satu hal. Menik ingin becerita sesuatu yang serius.
Menik Ingin Bercerai

Menik muncul di depan rumahku pukul 11.05. Aku bergegas keluar rumah dan masuk ke mobil Menik yang beraroma musk. “Sorry ya Wit, aku telat 5 menit,” kata Menik sambil mencium kedua pipiku. “Jam-ku saat ini menunjuk pukul 11.00 tepat, koq,” kataku. Menik tertawa.

Menik memacu mobilnya kearah Puncak, mencari rumah makan yang adem untuk mengobrol. Jalanan sepi berhubung bukan weekend. Kami bingung memilih restoran ala Sunda yang berjejer sepanjang jalan sebelum Puncak Pass. Akhirnya, kami sepakat masuk ke Restoran Sari Rasa. Tempat parkirnya lumayan luas, dan tidak terlalu ramai.

Letaknya di perbukitan menyajikan pemandangan lembah hijau, penuh pepohonan tua yang mengirim angin semilir menyapu wajah kami. Kami memesan gurami goreng, cah kangkung, ikan asin jambal, lalapan dan sambal serta pisang goreng dan tahu goreng sebagai pembuka. “Menik, sepertinya terlalu banyak.” “Kalau tidak habis, kita bungkus pulang.”

Kami menunggu pesanan makanan datang sambil bercakap-cakap soal gubernur Banten yang hidup mewah dari hasil korupsi. Secara umum kami menyesali mengapa dia berjenis kelamin wanita. Menik bercerita sambil menghembuskan rokok mentolnya. Karena mulutnya tidak berhenti mengepulkan asap bak kereta api, aku mulai mengarahkan pembicaraan.. “Apa yang membawa kita ketempat sejauh ini ?”

Mata Menik menerawang ke atas. “Wit, aku ingin bercerai.” Menik menjentikkan abu rokok ditangannya ke asbak putih yang telah terisi 5 puntung rokok menthol. “Aku sudah tidak tahan. Aku memang bukan istri sempurna Wit, tapi bahtera rumah tanggaku selama 17 tahun ini sudah menyalahi komitmen.

Sudah lama aku tidak menerima nafkah.” Menik sesekali menarik nafas panjang. Aku tidak mau menyelanya. Menik melanjutkan omongannya setelah menyalakan rokok ketujuh. “Dia hanya mengunjungiku satu hari dalam seminggu. Aku mencoba memahami karena sadar posisiku cuma istri ke-dua. Tapi sekarang aku tidak tahan lagi. Sekarang aku sendirian banting-tulang menghidupi anak-anak.

Jadi apa fungsi dia sebagai suami ?” “Oooh…” aku tidak menyangka sedemikian sulit hidup Menik sekarang. “Aku merasa cuma jadi variasi sex olehnya. Itupun sekali sebulan.” Menik menggeram sambil mengusap air matanya. “Terus apa fungsi suamiku dalam perkawinan kami, Wit ?” Akhirnya tangis Menik meledak. Aku memeluknya. “Ini.” Kataku sembari menyodorkan tissue.

Menik mengambil tissue dan mulai mengeluarkan ingus dari hidungnya. “Aku sudah mantap, Wit. Aku akan membuka lembaran hidup baru.” Pesanan kami berdatangan satu persatu. Seperti dugaanku, kami membungkus jauh lebih banyak dari yang bisa kami makan.
“Mulai hari ini aku akan hidup dengan caraku sendiri, Wit.” Kata Menik saat kami melangkah ketempat parkir. Aku tidak mengerti maksud Menik. Menik melempar senyum nakal kearahku. Dia mengguncang dadanya hingga kedua benda bulat disana seolah hendak berguguran ketanah. “ See.”

Wita bersama sahabat hobi petenis
Wita bersama sahabat hobi petenis

Hidup Baru

Bunyi musik memenuhi ruangan cafe di basement sebuah hotel dibilangan jalan Jenderal Sudirman. Suasana hingar-bingar. Disini orang mesti berteriak untuk berbicara. Malam ini pengelola kafe mendatangkan band dari USA. Dentuman musik menggelegar, ditimpali tawa genit wanita-wanita pribumi yang rata-rata mengenakan rok super mini dan celana pendek ketat. Kemanapun aku menatap, mataku hanya menemukan pria bule.

Beberapa pramusaji menyapa Menik, pertanda dia sering kesini. “Mau minum apa Wit. Kita bersenang-senang,” kata Menik. “You prefer tequila or wine.? Tidak, jangan meminta teh tawar.” “Terserah.” “Tidak ada terserah dalam daftar menu Wit.” Menik tertawa,”Red Wine, Blue Label, Tequila ?” “Tequila.” Kataku.

Tiga orang wanita muda mendatangi kami. Semuanya menggandeng pria bule yang dengan cepat kukenali berkebangsaan Jerman. Rupanya Menik janjian dengan mereka. Menik bersama teman-temannya mulai membaur. Mereka begitu menikmati malam yang penuh kepulan asap rokok, alkohol, dan musik kencang.

Alkohol menggiring mereka berdansa tanpa henti dan sesekali berteriak mengikuti lagu-lagu yang disajikan band asal USA itu. Ada yang menonjol dari penampilan Menik & para wanita muda yang hadir malam ini.

Hampir semua berkulit hitam manis & rambut lurus panjang, yang entah mengapa mengingatkanku pada Julia Perez & Farah Quinn. Mereka begitu atraktif dalam balutan baju ketat dan minim. Sebagian bahkan tidak malu-malu duduk di pangkuan para lelaki bule, cekakak- cekikik, dan french kiss didepan umum.

Aku menolak tequila ke-tiga. Aku berjaga-jaga jika terpaksa harus menyetir mobil pulang mengingat Menik mulai tidak terkendali. Menik dan teman-temannya dilingkaran meja ini mulai mabuk. Mereka berjoget, menari dengan gaya erotis bersama pasangan bulenya. Para wanita itu menari dalam gerakan yang mirip satu sama lain. Tarian yang tidak bernama.

Praktis mereka hanya memutar-mutar pantatnya seperti lagi bersenggama, dan pria bule pasangannya mengimbangi dengan terus-menerus mengesekkan kemaluan yang menonjol dari balik celana mereka ke pantat wanita-wanita tersebut.

Menonton tarian tidak berseni itu membuat pantatku merasa ngilu (Harus kuakui, 2 sloki Tequila tadi ada efeknya juga) Selain menggoyang-goyangkan pantat, tarian tidak bernama lainnya dalam ruangan itu adalah mengoyangkan kepala sambil mengibaskan rambut kesana-kemari.
Semua orang terlihat mabuk. Para wanita duduk di meja, sebagian lagi duduk dipangkuan para bule sambil French kiss penuh gairah. Aku melihat Menik berjoget tiada henti dilantai dansa sambil menenggak minuman. Sesekali dia menghampiriku di pojok.

Mungkin untuk menunjukkan dia masih bertanggungjawab padaku. Sejak perjalanan dari rumah, aku berpikir Menik mengajakku hang out untuk melanjutkan pembicaraannya di Puncak 6 bulan lalu. Namun sedari tadi tak satupun ucapan yang keluar dari mulutnya menyinggung soal perceraian.

Menik sibuk dengan tarian tidak bernama bersama seorang pria bule yang terus menempel ketat bokongnya kemanapun Menik melangkah. Aku duduk diam dan mengamatinya dari pojok café. Beruntung band asal USA itu memainkan beberapa lagu yang aku suka. Pukul 2 pagi aku menyetir mobil dalam perjalanan pulang. Menik terlalu mabuk. Dia mengangguk pasrah ketika aku bilang akan membawanya menginap dirumahku. Menik, apakah ini hidup baru yang kamu maksud ?

Andrew “Selamat pagi, Wita.” Kata Menik saat aku membuka tirai jendela. Dia masih memeluk guling. Matahari sudah cukup tinggi. . “Selamat siang.” Menik tersenyum, “Santai saja, Wit. Today is Sunday. Kita bisa dan boleh seharian di tempat tidur.” “Iya, tapi aku belum bikin sarapan untukmu.” “Relax please, aku juga baru bangun koq. Thank you so much, ya.

Kamu telah membawaku pulang. Aku mabuk semalam and sorry for that. Aku tahu, pasti tidak mudah bagimu membawaku sampai kerumah.” “Honestly, yes” kataku, “sungguh Menik, aku bingung harus ke arah mana waktu keluar dari basement hotel.” Waktu hampir tengah hari saat aku berhasil menyeret Menik sarapan di kebun belakang.

“Apa kabar anak-anakmu ?” Tanyaku disela suapan nasi goreng “kamu menghilang 6 bulan tanpa berita.” Sambil menghembuskan asap rokoknya Menik mulai bercerita. “Anak-anak baik dan sehat. Proses perceraian sudah selesai dan sekarang anak-anak tinggal di rumah lamaku bersama pembantu.

Aku hidup serumah dengan pacarku Andrew, sehingga harus mondar mondir BSD & rumah. Cukup merepotkan mengawasi anak-anak. Andrew tidak membolehkan aku membawa anak-anak ke rumahnya.” Diakhir perkataannya, Menik mematikan api rokok yang masih panjang dengan cara menekan keras ke asbak.

Aku berhenti mengaduk kopi tubruk pesanannya. “Hah ! Anak- anak tidak keberatan ?” “Aku tidak punya pilihan. Aku harus patuh pada komitmen yang kubuat bersama Andrew. “kata Menik. “Budaya kami jauh berbeda. Aku sering berantem perkara anak-anak. Disatu sisi aku sangat mencintai Andrew yang mengajarkan banyak perkara dalam hidup. Aku bisa mandiri sekarang karena dia.” Aku membenarkannya. Menik telah berubah.

Cara bicara, wawasan dan bahasa Inggrisnya maju pesat. Menik yang dihadapanku telah menjelma smart lady. Andrew adalah expatriat kaya-raya. Menurut Menik, cafe yang dia kelola saat ini dimodali Andrew sepenuhnya. Sekarang Menik tertular semangat pekerja keras Andrew. Aneka buah-buahan ludes selama kami mengobrol.

Kopi sudah berganti 3 kali dengan air putih. Cerita Menik terus mengalir. “Kamu hebat. “Aku memuji Menik, “cara berpikirmu banyak kemajuan, meski disisi lain aku tidak sepaham dengan gaya hidup dan sikapmu terhadap anak-anak.” “Aku tidak punya banyak pilihan dalam hidup ini,” kata Menik. “Antara cinta kepada laki-laki dengan anak-anak yang juga butuh kasih sayangku, aku belum menemukan solusinya. Aku hanya berusaha menjalani sebisaku.

Wita, rekreasi di pantai Selatan
Wita, rekreasi di pantai Selatan

Butuh SEX

Aku butuh pekerjaan, uang, kenyamanan, dan sex untuk bertahan hidup. Aku banyak berhutang budi pada Andrew.” Siang mulai panas saat Menik meminta ijin mandi. “Wit, aku pinjam handuk, ya. ” Aku meninggalkan teras belakang tempat kami sarapan menuju kamar. “Mau mandi air panas atau air dingin ?” Aku berteriak dari pintu kamar, “biar kusiapkan sekalian.” “Enakan air dingin, segar.” Sahut Menik.
Sambil membereskan bekas sarapan, aku memikirkan Menik. Entah kemana arah hidup yang dia tuju. Aku kehilangan Menik yang dulu polos ssaat masih menjadi simpanan lelaki tua selama 17 tahun. Setelah mandi, kami meneruskan obrolan di beranda.

“Ehhh…sampai dimana cerita kamu tadi ?” kataku memancing Menik kembali menyalakan sebatang rokok, “Wit, aku harus memikirkan baik-baik beberapa hal sebelum memutuskan keluar dari rumah Andrew.Memangnya kamu berencana keluar dari rumah Andrew dalam waktu dekat ini ?” “Aku sudah jenuh bicara kepada Andrew soal anak-anak dan keponakanku Wit.

“kata Menik. “Aku tidak bisa meninggalkan mereka hanya bersama pembantu. Dimana tanggung jawabku sebagai ibu ?” ” Bagus,”pujiku tulus. Menik tersenyum. “Pembicaraanku dengan Andrew soal anak-anak selalu berujung keributan.” Kata Menik,

“ Tapi persoalan menjadi tidak sederhana jika memang aku keluar dari rumahnya. Meski kami tidak terikat lembaga perkawinan, banyak keterkaitan yang perlu dituntaskan.” Menik menyebut café, account bersama dibeberapa bank, serta properti dan tanah diberbagai tempat yang semuanya atas nama Menik.

“Tidak sesederhana yang kamu bayangkan Wit” kata Menik. “Aku juga harus memikirkan pekerjaan dan tempat tinggal sebelum keluar. Semua itu butuh pertimbangan matang” Aku kasihan pada Menik. Baru setengah tahun memulai hidup barunya, sekarang dia harus menyiapkan diri menghadapi situasi yang hampir sama. Tapi aku optimis kali ini.

Menik yang sekarang beda. Aku yakin saat dia mengatakan butuh pertimbangan matang sebelum mengambil keputusan keluar dari rumah Andrew, dia tampak sangat percaya diri. Kali ini dia punya rencana. Aku tidak sabar menunggu cerita apa lagi yang akan dibawa Menik dihari-hari mendatang.

Perubahan Menik dan Andrew masih seatap-seranjang. Tapi Menik mengaku lebih banyak menghabiskan waktunya di klub malam selepas kerja. “Kadang aku mengakhirinya diranjang dengan pria berbeda.” Menik mengaku. Suasana di Kemang relatif sepi malam ini.

Menik sengaja memlih sebuah café yang tenang untuk mengobrol ditemani segelas besar bir. “Masalahmu akan bertambah ribet jika Andrew tahu.” Menik tertawa. “Selama ini hidup mengajarkan kita banyak cara berbohong tapi tidak ketahuan. Artinya, berbohong itu boleh asal tidak ketahuan. Betul gak, Wit?” Aku terpana.

“Wit, bohong itu menjadi masalah kalau ketahuan. Aku menemukan kenikmatan tatkala kebohongan demi kebohongan itu berhasil. Sekarang aku tahu hidup bukan hanya hitam dan putih.” Menik menyesap bir sebelum melanjutkan ucapannya, “Aku sudah siap dengan resiko jika ketahuan. Semua sudah aku persiapkan, hahaha..” Menik banyak tertawa sepanjang malam hingga kami meninggalkan Kemang pukul 1 dinihari.

Sampai di rumah aku bergegas minum air putih sebelum ke kamar mandi. Ada rasa haus yang disisakan oleh bir membuat tenggorokanku mendesak dibasahi. Sekarang aku tahu, bir hanya menghasilkan kencing. Aku kembali berjalan ke dapur mengambil dua gelas air putih, satu untukku, satu untuk Menik. Aku yakin dia juga haus karena sejak tadi bercerita dan merokok. “Thank you,” kata Menik yang lansung menenggak habis isi gelasnya.

Kami duduk beberapa saat di beranda belakang. “Kamu bahagia dengan hidupmu sekarang ?” tanyaku. Keceriaan diwajah Menik mendadak menguap. Menik terdiam. Tangannya meraih gelas punyaku, meneguk setengah isinya. lalu menyalakan sebatang rokok menthol.

Dia mengisap rokoknya dalam dalam dan menghembuskan asapnya ke udara membentuk bulatan bulatan. “Aku ingin menikmati hidup,” kata Menik. “Jika aku melakukan sesuatu yang jadi mauku, apakah itu termasuk bahagia dalam kamusmu ?” Aku diam. “Wit, 17 tahun aku mematuhi kemauan orang lain. Aku bahkan tidak punya „mau? untuk diriku sendiri.

Pikikan hal itu saat menetapkan kriteria bahagia menurut kamu.” Pandanganku tentang Menik yang baru dalam setahun ini tidak salah lagi. Ada kecerdasan dan kekuatan terpancar dari sorot matanya. “Jika bahagia menurut kamu sekarang adalah terbebas dari kungkungan suami, Oh….mungkin kamu sudah bahagia.” Kataku.

Sekitar pukul 3 dini hari kami beranjak ke kamar tidur. Aku melihat Menik belum mengantuk sementara aku sudah menguap berulang kali. Selesai berdoa aku mengucapkan selamat tidur kepadanya, Aku bangun pukul 9 pagi dan segera membuat nasi goreng untuk sarapan Menik dan anak anakku. Sehabis sarapan Menik bergegas mandi dan minta ijin pulang.

Katanya ada meeting. Aku tidak bertanya mengapa dihari minggu dia ada business meeting. “ Wit, thank you for everything, ya. Senin sore aku ingin bermain tenis. Sudah lama sekali aku tidak berolah-raga. Aku kangen juga dengan teman teman. So, see You tomorrow evening.” Menik berpamitan setelah mencium kedua pipiku.

Senin sore adalah jadwal bermain club tennis-ku. Sejak siang tadi Menik sibuk mengabarkan melalui sms padaku dan juga teman teman club kalau sore ini dia akan datang bermain. “Tolong datang lebih awal dong, biar aku bisa pemanasan dan mengembalikan pukulan.” Begitu salah satu isi pesan singkatnya.
Aku mengamati kegembiraan Menik meluap di lapangan tenis. Seingatku Menik sudah lebih setahun menggantung raketnya. Walhasil pukulan Menik yang dulu bagus, hari ini terbang kesana-kemari, atau jika tidak, menyangkut di net.

Di-set kedua Menik mulai menemukan permainannya. Dia bersemangat mengejar bola. Keringat membasahi tubuhnya dari ujung rambut hingga kaki. Dia mengakhiri permainannya sore itu dengan wajah puas. “Menik, sopirku buru-buru pulang karena harus menjemput anak bungsuku. Aku nebeng mobilmu ke depan, ya ?” . Menik menoleh sebentar kearahku, lalu kembali sibuk mencari sesuatu dari dalam tas-nya. “Aku akan pulang lewat jalan belakang. Kita berlawanan arah, Wit. “Kata Menik ringan.

Aku seperti tersengat lebah mendengar ucapan Menik. Dia bahkan tidak menatap wajahku saat bicara. “Ok, deh, gak apa-apa. Aku bisa naik ojek atau numpang yang lain.bye.” Aku berjalan cepat menjauhi Menik dan rasanya ingin cepat sampai dirumah. Pagi-pagi Menik menelponku. Aku mengabaikannya karena lelah dan mengantuk.

AKU HARUS MENEBUSNYA

Telepon terus berdering. Bukan kebiasaan Menik nge-bel hingga berulang kali. Pasti ada hal penting. “Good morning Wita, so sorry aku membangunkanmu sepagi ini”. “Morning.” Kataku sembari mengeraskan suara saat menguap. “Ada apa menelepon sepagi ini ?” “Wit, maafin sikapku kemarin sore. Aku baru menyadarinya setelah kamu pergi.” “Sepertiknya kamu tidak melakukan kesalahan deh Menik” “Wit, Aku merasa sangat bersalah.
Katakan, aku harus melakukan apa untuk menebusnya, please let me know.” “I am ok. aku selamat sampai di rumah. Tidak ada yang salah dengan dirimu. Masuk akal kamu tidak memberi tumpangan. Arah kita berlawanan.” Menik mengucap minta maaf untuk kedua kalinya. Kali ini dia memohon hukuman atas perbuatan yang tidak elok sebagai sahabat.

“Wita….kesalahan yang sangat besar aku membiarkanmu pulang sendiri dengan public transportation. Aku yakin kamu tidak tahu harus bayar ongkos berapa, turun dimana…” “Menik….aku memang sebel sama kamu, tapi aku memaafkanmu. Sangat masuk akal bagi orang barat tidak memberi tumpangan karena berbeda arah.

Hanya orang timur atau orang baik yang melakukannya.” Lama baru terdengar suara dari ujung sana. Aku yakin dia menangkap penekananku pada kata Orang Timur . “ Wita…” Aku tidak ingin Menik terus tertekan oleh rasa bersalahnya. “Bagaimana jika saya mendendamu membawa makanan hasil masakanmu sendiri ke lapangan tenis ?” Aku dapat merasakan keceriaan Menik diujung sana.

“Wit….Rabu sore kita ketemu di lapangan tenis. Kabarkan kepada teman teman agar membawa perut kosong. Sampai bertemu Rabu sore. dan sekali lagi, maafin aku ya. Aku sayang kamu.” Kata Menik menutup pembicaraan segera, seolah takut aku akan berubah pikiran. Cipika-cipiki mendarat dipipiku begitu Menik sampai di lapangan tenis.

Sekali lagi dia meminta maaf kepadaku. Sore ini kami berpesta dilapangan tenis. Menik membawa setumpuk makanan yang dimasaknya sendiri. Dia juga spesial membawa aneka buah kegemaranku. Hari ini aku menyadari satu hal. Bukan hanya aku sebagai orang luar yang tidak siap menghadapi perubahan Menik.

Sepertinya Menik jauh lebih tidak siap beradaptasi dengan perubahan pada dirinya. Atau mungkin dia tidak menyadarinya ? Atau mungkin dia hanya perlu perubahan itu saat berhadapan dengan Andrew atau pria-pria bule lainnya ? Aku penasaran ingin tahu.

Rumah Baru Warna langit merah tembaga. Senja gerah ketika Menik meneleponku dan bercerita tentang penjalanannya ke Jogjakarta. Sudah cukup lama kami tidak bertemu, sejak kami berpesta ria makanan berlimpah di lapangan tenis. Aku tahu, aku tidak perlu mencarinya jika Menik tidak memberi kabar.

Puluhan tahun bersahabat, keadaan kami seperti itu. Menik menghilang biasanya berarti dia sedang sibuk dengan urusan pekerjaan atau sibuk dengan masalah pribadi. Pernah sekali-dua aku SMS menanyakan kabar darinya, Menik menjawab singkat mengabarkan dirinya baik-baik saja. Hingga sore ini. “Wita….” Nada suara Menik terdengar sumringah, “apa kabar ?” “Menik, kamu seperti uka-uka,” kataku. “ Kabarku baik-baik saja. Kamu ?” “Aku sedang ada bisnis di Jogja.

Eh, tahu tidak Wit, aku ketemu bule di pesawat… dan lagi-lagi bule Jerman yang sangat baik.” Kata Menik, “kami mengobrol panjang lebar & bertukar nomer HP. Kamu tahu dong budaya bule kalau sudah bertukar nomer itu punya arti khusus ?” Aku bisa menebak arti khusus yang dimaksud Menik. Pertemuan Menik dengan bule Jerman di pesawat itu berujung pada kencan berkelanjutan.

Kencan yang dimulai di kota gudeg berlanjut hingga mereka kembali ke Jakarta. Hati Menik yang mekar bak bunga tampak jelas dari nada suaranya. Melalui SMS Menik mengabarkan dia sedang bersama bule barunya tersebut: “somewhere in the nice place.” “Wit….nanti aku ceritain kalau kita ketemu.” Begitu isi pesan singkat berikutnya.

Disusul kemudian, “ada cerita bahagia, tetapi aku juga ingin cerita bagaimana hatiku terpatah-patah oleh si ganteng Roland.” Aku jarang bertanya siapa saja nama pria-pria bule yang dikencani Menik, atau berapa umurnya. Seperti biasa, Menik akan memceritakan hingga detail. Menik mengundangku ke rumahnya. Dia ingin ngobrol sambil minum wine dan berjanji akan memasak spagetti serta bikin salad untukku.

“Wit… gantian kamu yang ke rumah yaaa, menginap juga boleh kalau kamu mau.” Begitu bunyi sms Menik. Kami sepakat bertemu Sabtu malam. Aku agak bingung sewaktu Menik memberiku sebuah alamat. Alamat ini bukan di BSD tempat tinggalnya bersama Andrew, tapi juga bukan alamat rumah lamanya. Diantar sopir, aku mencari alamat Menik.

Tidak begitu susah karena letaknya di perumahan. Sebuah rumah yang sederhana namun asri Ukuran rumahnya sedang-sedang saja tetapi memiliki halaman depan dan belakang. Ternyata sudah ada 2 orang tamu lain, Aryani dan Nining. Aku mengenal baik keduanya walau tidak dekat.

Pantas Menik mengajak minum wine malam ini. Ternyata kami akan ngerumpi bersama para nyonya. “Meniiiik…” Aku langsung nyelonong masuk rumahnya karena pintu dibiarkan terbuka. “Kita mau pesta, ya ?” Menik memanggilku dari arah dapur. Setelah cipika-cipiki dengan Menik, kami duduk di meja makan yang sengaja dipindahkan Menik ke beranda belakang. Aku yakin bakal mendengar cerita luar biasa malam ini.

Salad, spaghetti, red wine, menjadi pengiring orkestra para nyonya dalam simfoni bertajuk ngrumpies malam ini. Beranda belakang rumah Menik yang terbuka mirip rumahku. Kelip bintang serta pendaran cahaya bulan tampak jelas dari sini.

Dan dibawah langit malam, pelan tapi pasti efek red wine mulai menguasai para nyonya. Alkohol melepas tawa berderai dan menghalau pergi rasa sungkan, saat tamu & tuan rumah menceritakan kehidupan pribadi masing-masing. Aryani membuka album kenangan perjumpaan dengan suami keduanya. Dia juga mengungkapkan suaminya sekarang, yang umurnya 5 tahun lebih muda, telah menjadi Bang Toyib.

Suaminya yang berprofesi kontraktor kerap berdalih harus menunggui para tukangnya bekerja. Cerita Nining tidak kalah seru. Mantan suaminya kukuh melarang, bahkan mencuci otak anak anaknya supaya tidak bertemu Nining. “Well….Nining,” begitu Menik coba menghibur, “setidaknya kamu sekarang wanita karir yang sukses.

Kamu mondar-mandir ke luar negeri. Just enjoy.” “Betul Ning. Suatu hari nanti, anak-anak sendiri akan mencarimu.” Kataku menenangkan, “tak seorangpun dapat memisahkan ikatan batin anak dari ibunya. Lebih baik sekarang fokus kerja, biar tambah sukses, makin banyak duit, dan…. semakin rajin traktir kita-kita.” Semua tertawa.

“Lagi pula kamu cantik, Ning.” Timpal Aryani, “patah satu tumbuh seribu. Cari pengganti. Jangan biarkan lelaki leluasa menyakitimu.” Sebagai bentuk persetujuan atas ucapan Aryani, kami bersamaan mengangkat gelas wine keatas dan bersulang demi kebahagiaan para wanita diseluruh dunia. Malam pukul 2 pagi penuh bintang. Pengaruh wine memicu Menik membongkar kehidupan sex-nya bersama pacar-pacar bulenya.

“Arrgghh…..bule-bule itu termehek-mehek kalau kita memberikannya blow job.” Kata Menik, “bule aku sebelumnya, si Roland yang muda & tampan itu dalam sekali main bisa sampai tiga set. Kami sadar sedang bermain-main dalam hidup….tapi unfortunately aku jatuh cinta seperti anak SMA.” Aryani dan Nining menyoraki Menik. Akibatnya fatal.

Tuan rumah kami bertambah semangat. “Roland itu tipe orang gila sex. Kalian tahu, dia pernah memintaku melayaninya anal sex.” Kata Menik. “Oh, tidak !? “ Aryani menjerit seolah itu terjadi padanya. “Jadi kalian melakukannya ?” Menik tertawa.
“Jujur, ini pengalaman sex tergila yang pernah kualami.” “Bagaimana rasanya ?” kata Nining. Sepertinya dia memandang anal sex berbeda dengan Aryani. “Oh, tidak Ning.” Aku menarik badan Nining menjauh saat Menik berusaha membisikkan sesuatu ketelinganya. Menik dan Ninig tertawa bersama.

Mungkin hanya aku yang menangkap makna berbeda dari tawa Menik. Aku tahu ini bukan soal anal sex belaka. Ini tentang cinta. Menik jatuh cinta pada Roland. Dugaanku benar. “Aku bisa melakukan lebih banyak lagi kegilaan jika Roland memintanya.” Kata Menik, “aku menangis minggu lalu sewaktu dia harus balik ke Jerman, meski sejak awal aku tahu hubungan ini pasti berakhir.” Nining dan Aryani pulang setelah adzan subuh.

Aku tinggal di rumah Menik, mendengarkan kicauannya. Efek alkohol mulai turun. Menik beberapa kali buang air kecil. Celotehnya mulai tidak vulgar. Tentang kebingungan karena harus memboyong anak-anaknya serta satu keponakan ke rumah kontrakan. Ternyata rumah lamanya sudah terjual.

“Untuk menghadapi pria bule, aku harus bersikap seperti mereka, Wit,” kata Menik. “Aku akhirnya terbiasa juga dengan pola pikir mereka. Jika mereka menganut free sex, mengapa aku harus setia ?“ “Aku paham.” Kataku. “Cara mereka hitung-hitungan soal uang tidak mungkin aku balas dengan kemurahan hati. Memberikan kelebihan uang pada saudara & keluarga tidak ada dalam kamus mereka.

” Inti persoalan Menik dengan Andrew tipikal masalah yang banyak dialami wanita Indonesia yang berhubungan dengan pria bule. Andrew hanya ingin Menik, bukan keluarga Menik. “Tapi sebenarnya Andrew mencintaiku, Wit.” kata Menik saat kami sudah di tempat tidur.
Kokok ayam entah dimana mulai terdengar. Mataku sudah redup dan akhirnya aku tidak tahu lagi cerita Menik selanjutnya. Saat sadar, matahari pukul 11 telah menyambutku. Menik bangun dan bergabung denganku di meja makan. Tidak butuh waktu lama bagi dia untuk kembali menumpahkan isi hatinya. “Wit….Andrew mencium lututku meminta kembali. Dia mengajak menikah,” kata Menik.

“Setelah keluar dari rumahnya, setelah sekian lama kami adu mulut, memberinya pengertian tentang arti keluarga dalam budaya timur, mengapa baru sekarang dia ingin memperbaikinya ?“ “Kamu masih berhubungan dengan Andrew ?”

“Andrew masih sering menjemputku setiap Sabtu jika dia butuh sex. Aku selalu mengiyakan sebab aku juga butuh. Menurutmu ?” “ Itu normal. Lagipula siapa yang tidak,” kataku sembari merebahkan punggung di kursi panjang. “Tetapi aku lebih senang jika melakukannya karena cinta.” “Paling tidak Andrew tahu kalau aku melakukannya karena aku sekedar butuh sex.”
Setelah keluar dari rumah Andrew dan memutuskan mengontrak rumah, Menik lansung bekerja di sebuah perusahaan asing –lagi-lagi milik orang Jerman- yang bergerak di bidang pembangunan rel keteta api. Bos Menik hanya sesekali ke Indonesia.

Sekarang Menik yang mengoperasikannya, “Aku memutuskan menolak bantuan finansial dari Andrew, Wit. Aku tidak mau ketergantungan finansial membuka jalan dia mengatur hidupku. Yah….sesekali berlibur memakai uangnya tidak apa-apa.” “Kalian masih sering liburan bersama ?” “Ada kebiasaan yang tetap kami lakukan meski tidak tinggal bersama lagi,” kata Menik.

“Setiap ulang tahunku, kami selalu berlibur sebulan penuh ke rumah orang tua Andrew. Dua minggu aku bersama Andrew dan orang tuanya. dua minggu sisanya aku jalan bersama pacar baruku di Jerman.” “Kamu serius ?” aku tidak bisa membayangkan perilaku Menik sejauh itu. “Bagaimana caramu meminta ijin Andrew ?” “Walah, itu mah perkara mudah.

Aku bilang saja mau ketemu teman kantor.” Kata Menik. “Biasanya aku bikin deal sebelumnya sebagai syarat ikut ke Jerman.” “Andrew tidak bertanya dengan siapa kamu pergi ?” Menik tersenyum seolah aku mahluk asing dimatanya.

“Hello,.Wit. Bule itu kalau sudah deal, tidak mengenal lagi istilah bertanya. Aku manfaatkan saja budaya mereka itu untuk mengambil keuntungan.” “ Enak banget.” “Hehehe….” Menik nyengir sambil mempermainkan rokok mentholnya.

“Hmmm. bagaimana rasanya habis tidur dengan Andrew , terus kamu tidur lagi dengan pacarmu itu ?” “Serius mau tahu ?” Menik melirikku nakal. Aku mengangguk. Malu. Penasaran. Menikmati Hidup Menik minum air putih dan kembali membakar sebatang rokok. BERSAMBUNG

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *