oleh

Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi: Awas, Ada Upaya Kudeta Dengan Hoax

POSKOTA.CO – Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi, mantan Aster TNI-AD mengingatkan, beredarnya berita hoax, yang makin merajalela saat ini, terutama terkait kecurangan Pemilu, tak lain untuk mendiskreditkan KPU, harus diwaspadai.

Berita hoax yang memojokkan KPU dengan tudingan bahwa lembaga penyelenggara pemilu tersebut telah melakukan kecurangan yang Terstruktur, Sistematik dan Masif (TSM) tak lain sebagai upaya memprovokasi masyarakat untuk mendelegitimasi KPU.

Menurut Saurip Kadi, rangkaian penyikapan hasil penghitungan hasil suara Pemilu tersebut bisa jadi sebagai prolog dari rencana kudeta yang puncaknya menunggu terjadinya kerusuhan sosial atau kondisi “chaos”.

Namun, tambah Saurip Kadi yang dikenal sebagai jenderal yang kritis ini, ditilik dari tokoh yang tampil di permukaan, dipastikan mereka hanyalah “wayang” yang sedang dimainkan oleh sang Dalang yang merangkap Operator.

“Maka pertanyaan yang harus dijawab oleh kita bersama adalah ‘Siapa Pemangku Hajat Yang Berkepentingan Menanggap Wayang’,” katanya.

Dan sebetulnya untuk mengetahui siapa penanggap wayang yang sesungguhnya, menurut Saurip Kadi, bukanlah pekerjaan yang sulit sulit amat.

“Dengan meminjam istilah yg digunakan oleh PS, mereka adalah pihak-pihak bermasalah yang selama ini memperkosa Ibu Pertiwi, sehingga takut terhadap bayang-bayang dirinya sendiri,” tandasnya.

Dan bagi mereka, kemenangan Paslon-01 adalah saat datangnya “skaratul maut”. Sebagian dari mereka begitu serius, karena mengira bahwa untuk lepas dari “kematian” hanya ada satu cara yaitu ketika Pemilu 2019 gagal, sehingga muncul kesempatan untuk menampilkan tokoh dari lingkungan mereka sendiri sebagai penyelamat keadaan layaknya seorang pahlawan.

“Dan target minimal yang mereka kerjakan tak lebih hanya untuk membuat posisi tawar dengan harapan Pak JKW mau bagi-bagi kekuasaan dalam pemerintahan mendatang,” ungkapnya.

Di sisi lain, untuk membatalkan rencana digelarnya pertunjukan wayang, sesungguhnya juga pekerjaan yang sangat mudah. Karena jejak kejahatan yang mereka buat sudah lama diketahui publik. Dan untuk melumpuhkan penjahat, seorang Polisi tidak perlu menembak kepala penjahat, tapi cukup dengan menembak kaki bagian bawah seperti jari kelingking sekalipun.

Sedang pemantik yang bisa menyulut terjadinya kerusuhan sosial atau kondisi chaos dalam waktu dekat adalah bentrokan antar massa pendukung Paslon pada saat pengumuman Perolehan Suara oleh KPU tanggal 22 Mei 2019 mendatang.

“Untuk itu seruan pengerahan massa pendukung dari salah satu Paslon tidak perlu diimbangi oleh pendukung Paslon lainnya. Sing Waras Ngalah, begitu pesan leluhur kita dari Jawa,” katanya.

Diingatkannya pula, bahwa sejarah mencatat, dalam kaitan bernegara dimasa lalu, berulang kali sesama anak bangsa kita saling bunuh membunuh. Sudah barang tentu, dibarengi jatuhnya korban dengan jumlah yang tidak kecil. Belum lagi dampak ikutan berupa kehidupan sosial yang memprihatinkan yang diderita puluhan juta keturunan para korban.

Pengalaman tersebut semestinya dijadikan pelajaran berharga bagi kita semua, agar kedepan tidak terulang kembali. Apalagi kalau kita mau menggali apa sebenarnya yang diperebutkan oleh para pendahulu kita yang membuat mereka saling membunuh. Bukankah bangsa ini telah menjadi korban dari perebutan pengaruh kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk yang diatas-namakan persaingan ideologi yang tergelar saat itu.

“Bukankah semestinya elit negeri ini berkomitmen kuat untuk bersama-sama membangun demokrasi melanjutkan hasil reformasi, karena hanya dengan demokrasi kita dapat menihilkan atau setidaknya meminimalkan penistaan dan atau pendholiman kemanusiaan oleh sesama anak bangsa,” ujarnya.

Maka, sambungnya, tidak sepatutnya dalam rangka Pemilu bangsa ini menggunakan cara-cara propaganda, agitasi dan mobilisasi massa dengan issue yang bisa merusak sendi-sendi kebhinekaan, disamping penyebaran berita bohong, ujaran kebencian dan juga fitnah. Karena bukan demokrasi, kalau tidak didasarkan pada hukum dan fatsun politik yang berlaku.

Dikatakannya, untuk kepentingan Pemilu 2019, DPR RI yang anggotanya juga mewakili Partai masing-masing bersama Pemerintah telah menerbitkan UU Nomor: 7. Tahun 2017 Tentang Pemilu. DPRRI pulalah yang memilih komisioner KPU.

Sementara itu, aturan main yang sifatnya tehnis yang dibuat KPU juga telah terkonfirmasi oleh DPR dan Pemerintah selaku lembaga pembentuk UU. Adapun pelaksanaan Pencoblosan, TPS digelar sesuai wilayah RT/RW dan kepanityaan dimasing-masing TPS juga diawaki oleh penduduk setempat. Dan di tiap TPS, masing-masing Peserta Pemilu juga menempatkan Saksi yang ikut menandatangani dokumen C-1 tentang Rekap Penghitungan Suara di TPS.

Begitu pula untuk penghitung perolehan suara di tingkat nasional oleh KPU, diatur secara berjenjang dengan pleno dimasing-masing jenjang bahkan dengan durasi 35 hari juga atas kesepakatan para pembentuk UU. Sedang dukungan IT yang digunakan juga digelar secara terbuka untuk umum, sehingga publik bisa mengakses langsung untuk mengkonfirmasi validitas perolehan suara di TPS dan dibarengi dengan hak untuk klaim perubahan data.

Ditambahkan, memang mustahil KPU dapat memberi jaminan bahwa seluruh petugasnya dari pusat sampai dengan TPS tidak melakukan kecurangan. Namun bila ternyata terjadi kecurangan, dipastikan sebagai kasus. Karena dengan pengorganisasian dan mekanisme kerja KPU, KPU tidak mungkin bisa melakukan kecurangan secara TSM (Terstruktur, Sistemik dan Masif) sebagaimana yang dituduhkan sejumlah pihak belakangan ini.

“Persoalan yang mendasar, karena tuduhan KPU curang tidak dibarengi bukti pendukung yang valid. Begitu pula dalam hal penghitungan perolehan suara internal yang mereka lakukan juga tanpa pernah membuka hasil penghitungan untuk umum. Lantas bagaimana mungkin rakyat dengan akal sehat serta nuraninya bisa percaya atas kebenaran tuduhan dan hasil penghitungan perolehan suara yang mereka umumkan,” pungkasnya.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *