oleh

Puasa dalam Berbagai Agama

POSKOTA.CO – Islam bukan satu satunya agama yang memerintahkan penganutnya berpuasa. Ajaran Hindu, Buddha, Konghuchu, Kristen, Yahudi dan Kejawen juga meminta umatnya berpuasa.

Bahkan sebutan “puasa” sendiri bukan dari Islam dan bahasa Arab – sebagai bahasa Alquran – melainkan dari Sansekerta yaitu ‘puvasa’ (baca: ‘puwasa’) yang terdiri dari kata ‘pu’ (membersihkan, memurnikan) dan ‘vasa’ (baca: wasa – berdiam, tinggal). Jadi, “Upawasa” atau puasa juga diartikan tinggal atau berdiam untuk memurnikan diri sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sebagai Muslim Jawa, selain menjalani puasa Ramadan, saya pernah melewati masa puasa ala Kejawen yakni menjalani puasa “mutih” dan “ngadem”.

Dalam agama Hindu, puasa tidak untuk menghapus dosa, dengan janji surga. Selain untuk menghayati penderitan orang miskin – merasai lapae dan haus – puasa dalam keyakinn Hindu bertujuan untuk mengendalikan napsu “Indria”, yakni mengendalikan keinginan. Jika “indria” kita terkendali, maka pikiran kita terkendali. Dengan begitu, maka kita akan dekat dengan kesucian, yang artinya dekat dengan Tuhan.

Puasa dalam agama Hindu umumnya merupakan sebuah praktik bagi para pertapa atau Brahmana yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu dengan tinggal atau berdiam di asrama mereka (“upavastha”).

Umat Hindu menjalani puasa “Siwaratri” yang jatuh setiap panglong ping 14 Tilem kapitu atau “Prawaning Tilem Kapitu”, yaitu sehari sebelum “tilem” (buln tidur) dengan puasa total, tidak makan dan minum apa pun dimulai sejak matahari terbit sampai dengan matahari terbenam.

Ada juga puasa “nyepi”, tidak makan dan minum apa pun dimulai ketika fajar hari itu, sampai fajar keesokan harinya (“ngembak gni”).

Bila umat Hindu menyebut ‘upavasatha’ – bagi para Brahmana berdiam diri dan berpuasa – maka umat Agama Buddha menamakannya sebagai ‘uposatha’ (bahasa Pali), yaitu praktik latihan pelaksanaan moralitas (sila) yang bertujuan untuk membersihkan pikiran yang ternoda.

Dalam penanggalan Buddhis, setiap bulannya terdapat empat hari ‘Uposatha’, yaitu tanggal 1, 8, 15, dan 22. Pada hari ‘Uposatha’ ini, umat Buddha tidak hanya melatih diri dengan berpuasa makan setelah tengah hari, tetapi ada tujuh peraturan lainnya yang disebut dengan ‘Atthasila’ (delapan aturan moralitas), diantaranya (1) tidak membunuh makhluk hidup, (2) tidak mencuri, (3) tidak melakukan hubungan seksual, (4) tidak bohong, (5) tidak minum-minuman keras maupun obat-obat yang dapat melemahkan kesadaran, (6) tidak makan setelah lewat tengah hari, (7) tidak menikmati hiburan (tarian, musik, pertunjukan, dan sejenisnya) dan memakai wangi-wangian maupun kosmetik untuk mempercantik diri, (8) menghindari penggunaan tempat duduk dan tempat tidur yang mewah. Jika dijumlahkan, dalam satu tahun terdapat 48 hari ‘Uposatha’.

Konghuchu juga punya ajaran puasa untuk umatnya. Mereka menyebutnya sebagai “Jin Shi”. Puasa ini ditujukan untuk membersihkan hati dari berbagai sifat negative yang ada di dalam diri seseorang. Puasa ini menuntut mereka untuk tidak memakan makanan yang disukai di hari biasa. Selain itu, menjelang perayaan imlek, Khonghuchu juga berpuasa dengan tidak memakan daging, minum minuman keras, dan bawang putih.

Sesungguhnya agama yang paling dekat dengan Islam adalah Yahudi. Bahkan para peneliti menyebut agama Islam banyak mengadopsi/ memcangkok dan meniru praktik ritual kaum Yahudi – sebagai pendahulunya. Kedua agama ini memiliki banyak kesamaan dalam ritualnya, khususnya sunat bagi anak anak, mengharamkan daging babi dan puasa. Di negara negara non muslim dan non Yahudi – dimana mereka menjadi warga minoritas – kedua umat agama ini kompak.

Penganut Yudaisme pun berpuasa. Puasa mereka ditentukan dalam kalender Ibrani.

Dalam kalender Ibrani, ada beberapa hari puasa yang dijalankan penganut Yudaisme, di antaranya memperingati malapetaka yang berkisar pada hancurnya ‘Bait Suci’ atau upaya penghancuran bangsa Yahudi.

Pada 10 Tishrei, umat Yahudi melakukan puasa ‘Yom Kippur’, sebuah hari paling kudus bagi umat Yahudi sepanjang tahun. ‘Yom Kippur’ adalah hari umat Yahudi mendekatkan diri pada tuhan dan menyucikan jiwa. Hari ini disebut pula “hari penebusan” atau “hari perdamaian”.

Puasa ini dilakukan selama hampir 25 jam, beberapa menit sebelum matahari terbenam pada 9 Tishrei sampai matahari terbenam pada 10 Tishrei.

Sebagaimana Yahudi dan Muslim, dalam keyakinan Kristen puasa juga bukan sekedar memenuhi hukum agama. Namun lebih dari itu, puasa adalah kesediaan untuk bertobat / merendahkan diri di hadapan Allah yang ditandai dengan mewujudkan keadilan, cinta kasih dan kepeduliaan terhadap sesama manusia.

Merujuk pada bacaan: Yesaya 58:3-12, dari Greja Jawi Wetan, puasa yang dikehendaki Allah adalah “merendahkan diri” dan “mewujudkan keadilan” kepada sesama” (ay.6), mewujudkan “cinta kasih” dan kepedulian kepada sesama, terutama kepada mereka yang menderita (ay.7). Bila hal itu dilakukan maka ada berkat Tuhan yang pasti diterima, yaitu: pengharapan di tengah kesesakan dan pergumulan (ay. 8, 10) Terjalinnya hubungan yang baik dengan Tuhan (ay. 9). Ada pengharapan di dalam Tuhan (ay. 10) pertolongan Tuhan (ay. 11) serta jaminan keberhasilan (ay. 12, 14) dan keselamatan.

Sebagai orang Jawa, sejak kecil saya dilatih untuk menjalani laku puasa ala Kejawen. Khususnya “mutih” (hanya makan nasi putih dan minum air tawar) dan “ngadem” (nasi putih dingin pakai rebusan daun bayam dingin atau sayur lainnya, tanpa bumbu sama sekali).

Sebelum tahun 1970-an, anak anak di Jawa dilatih puasa khusus bila sedang menghadapi suatu keperluan. Misalnya menjelang ujian sekolah. Selain giat belajar dan mengasah otak, juga berpuasa. Bukan puasa Ramadhan melainkan puasa ala Kejawen.

Para orangtua di Jawa Tengah juga menjalani puasa menjelang acara besar keluarga, misalnya akan memyunatkan anak, mantu, memgumpulkan banyak orang untuk suatu keperluan, dll. Mbah dan Pak De saya kerap melakukannya.

Selain “mutih” dan “ngadem” untuk anak anak dan remaja, bila sudah cukup kuat diajari puasa “ngepel” (hanya makan nasi putih sekepal) puasa “ngebleng” (puasa siang hingga malam hari) dan puasa “pati geni” (diam di kamar selama sehari, tiga hari, atau tujuh hari – bergantung pada kemampuan – mirip “nyepi” di Bali).

Pada masa remaja saya, puasa “patigeni” sering dikaitkan dengan upaya mendapatkan ilmu “kanuragan” atau ilmu kesaktian.

Bagi kaum muda-mudi masa itu, puasa juga dilakukan untuk mendekatkan diri (PDKT) pada gadis atau bujang pujaan, dengan menjalani puasa pada hari “weton” (hari kelahiran) yang dituju, dengan disertai doa doa tertentu (doa “pengasihan”).

Dalam kaitan itu, saya tidak menjalaninya karena waktu itu belum cukup umur. (supriyanto)

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *