oleh

DATANGI KOMISI YUDISIAL, AHLI WARIS TANAH ADAT SORONG PAPUA MINTA PERLINDUNGAN HUKUM

POSKOTA.CO – Masyarakat Kabupaten Sorong, Papua Barat yang mengaku sebagai ahli waris tanah adat, pada Jumat (20/4) mendatangi kantor Komisi Yudisial (KY) di bilangan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat.

Kedatangan mereka dari dua marga berbeda yang diwakili yakni, Sulaiman Suu dan Abner Sawat Samanas, ke KY untuk meminta perlindungan hukum atas kasusnya yang kini sedang berjalan di Pengadilan Negeri Sorong.

Sulaiman Suu sebagai ahli waris marga Suu telah melaporkan atas kasus dugaan penggelapan dan penyerobatan ke Pengadilan Negeri Sorong dengan Nomor 16/PDT.G/2018/PN.SON.

Kronologis Gugatan
Kronologis terjadinya gugatan lahan seluas 3500 hektare yang ditempati oleh warga transmigrasi itu sudah sejak tahun 1978. Pemerintah Kabupaten Sorong menganggap bahwa tanah adat yang ditempati oleh warga transmigrasi telah dilepas kepada pihaknya.

Sulaiman Suu selaku ahli waris tanah adat membantah, bahwa lahan yang terletak di daerah petuanan adat suku Moi/marga (keret) Suu, Kelurahan Jamaimo, Distrik Mariyat, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat, tidak pernah memberikan pelepasan tanah adat kepada siapa pun termasuk pemerintah.

“Kami sebagai ahli waris tanah adat marga/keret Suu, membantah jika orang tua kami telah menandatangani maupun melepaskan tanah adat itu kepada siapa pun termasuk pemerintah. Dengan adanya pernyataan dari pemerintah kabupaten, pastinya kami merasa dirugikan, dan kami akan menuntut ganti rugi sebesar Rp35 triliun kepada pihak pemerintah,” tegas Sulaiman Suu didampingi Marcus Souissa SH selaku kuasa hukumnya, di Jakarta.

Sulaiman Suu meminta kepada Presiden Republik Indonesia Ir H Joko Widodo untuk dapat memperhatikan mereka. “Kami yakin, Bapak Presiden Jokowi adalah orang yang sangat dekat dengan rakyatnya, dan selalu mendengarkan aspirasi rakyatnya. Kami berharap kepada Bapak Presiden untuk memperhatikan kami sebagai rakyat jelata, atas kasus tanah adat yang kini sedang kami perjuangkan sebagai hak kami,” pinta Sulaiman Suu.

Sementara itu, Marcus Souissa SH kepada wartawan menjelaskan, terkait kasus yang sedang disidangkan, bahwa saat ini telah masuk pada tingkat replik proses jawab-menjawab sebagai bagian kami untuk membantah jawaban mereka dalam hal ini pihak pemerintah.

“Terkait dengan adanya salah satu marga Suu yang telah menyerahkan tanah adat kepada pemerintah itu tidak benar, realita yang terjadi baik bukti surat dan saksi kenyataannya tidak seperti itu. Jadi marga Suu tidak pernah memberikan tanah adat mereka dalam bentuk apa pun kepada pemerintah, terutama dalam kaitan transmigrasi pada tahun 1978 lalu. Terkecuali ada beberapa marga yang lain, sedangkan terkait dalam beberapa marga yang lain, itu pun juga akan menjadi satu paket akan kami ajukan gugatan kepada pemerintah daerah,” beber Marcus Souissa.

Perwakilan masyarakat Kabupaten Sorong, Papua Barat yang mengaku sebagai ahli waris tanah adat, Sulaiman Suu (kiri) dan Abner Sawat Samanas (kanan), didampingi kuasa hukumnya Marcus Souissa SH, ketika mendatangi Komisi Yudisial, Jumat (20/4), di bilangan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat, untuk minta perlindungan hukum atas kasusnya yang kini sedang berjalan di Pengadilan Negeri Sorong, Papua.

Sedangkan terkait adanya kuitansi pembayaran tanah adat marga Suu, Markus membantah, sekali lagi kami katakan tidak ada dari marga Suu, bahwa orang tua dari klien kami tidak pernah menjual atau menandatangani surat kepada siapa pun, itu kan hanya dalil mereka, dalam hal ini pemerintah.

“Katanya ada kuitansi nomor sekian, jika ada kuitansi maka harus pula disertai bukti penyerahan dan siapa yang menerima. Pertanyaan kami, tanah yang mana? Jadi bagi kami silakan saja itu kan dalil mereka, kami akan buktikan semuanya, baik surat-surat maupun saksi-saksi lainnya. Artinya, tanah adat tersebut tidak pernah dijual kepada siapa pun, dan itu akan kami perjuangkan sampai kapan pun,” papar Markus.

Perlindungan Hukum
Mengapa, lanjut Markus, pihaknya datang jauh-jauh dari Papua ke Komisi Yudisial di Jakarta, karena perkara ini harus berjalan seadil-adilnya tanpa ada intervensi dari pihak mana pun.

“Sehingga kami harus ajukan kasus ini kepada Komisi Yudisial untuk mohon perlindungan. Artinya, hakim yang menangani kasus perdata ini harus memutuskan secara jujur. Jika memang ini hak dari marga Suu harus segera dibayar, dan tidak ada alasan tidak dibayar,” tegasnya.

Sedangkan Abner Sawat Samanas dari marga Sawat ikut juga menjabarkan mengenai kasus tanah adat di mana marga (keret) Sawat Samanas juga telah melepaskan tanah adatnya kepada Pemerintah Kabupaten Sorong.

“Orang tua kami tidak pernah sekali pun melepaskan tanah adat kepada siapa pun termasuk Pemerintah Kabupaten Sorong. Karena sejak tahun 2015, kami telah melakukan upaya-upaya hukum terkait dengan perkara ini,” ujar Abner Sawat yang didampingi Markus Souissa SH selaku kuasa hukumnya.

Pembohongan Publik
Lebih lanjut Abner mengatakan, jadi apa yang dikatakan oleh Pemerintah Kabupaten Sorong tentang ada marga (keret) Sawat Samanas telah melepaskan tanah adatnya, itu tidak benar dan mereka telah melakukan pembohongan publik.

“Kehadiran kami datang jauh-jauh dari Papua ke Jakarta, agar Komisi Yudisial dapat mengawal jalannya sidang perkara ini, kasus ini dapat terang benderang. Diharapkan juga para hakim yang memimpin sidang ini mampu menjalankan fungsinya dengan baik dan benar tanpa adanya intervensi dari pihak manapun,” pintanya.

Gugatan perkara perdata Abner Sawat Samanas telah terdaftar di Pengadilan Negeri Sorong bernomor 42/PDT.G/2018/PN.SON, tanggal 13 April 2018. Atas sengketa sebidang tanah adat (hak ulayat) marga Sawat Samanas seluas 8000 hektare yang terletak di Distrik Salawati dan Distrik Moisigin yang terdiri dari empat SP (SP Klasari, SP Klasop, SP Klabdalin, dan SP Wanasobo) Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. (*/oko)

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *